Pengadilan Tipikor di Titik Nadir

AWALNYA Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) lahir sebagai konsekuensi pembentukkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melalui Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK untuk menyidangkan perkara yang ditangani oleh KPK.

Pada tahun 2004, Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mulai menerima pelimpahan kasus yang ditangani oleh KPK. Di antaranya mantan gubernur Aceh Abdullah Puteh yang divonis 10 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dalam pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia.

Setelah Puteh, menyusul nama-nama tersohor yang dijebloskan dalam penjara. Pada September 2005, majelis hakim memvonis mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana W Kusumah 2 tahun dan 7 bulan penjara karena bersalah telah menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Khairiansyah Salman. Setahun kemudian Mulayana  kembali divonis hakim terkait kasus pengadaan kotak suara Pemilu 2004.

Pada akhir tahun 2005 juga menjatuhkan hukuman kepada mantan ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin 7 tahun penjara karena bersalah dalam pengelolaan dana rekanan KPU. Pertengahan tahun 2006, ada Theo F Toemion, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang terjerat dalam kasus korupsi proyek Investasi Indonesia (IIY), divonis hukuman 7 tahun.

Pada tahun berikutnya, kasus yang ditangani bertambah. Ada mantan Kapolri Jenderal (Purnawirawan) Rusdihardjo, mantan Menteri Perikanan dan Kelautan Rohmin Dahuri, sejumlah anggota DPR RI Hamka Yandhu dan Antony Zeidra Abidin, Al Amin Nur Nasution, mantan suami  penyanyi dangdut Kristina.

Pengadilan Umum
Sementara itu sejumlah mantan kepala daerah yang diadili di Pengadilan Tipikor di antaranya mantan bupati Kutai Kartanegara Syaukani Hassan Rais, bupati Kendal Hendy Boedoro, mantan gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Darham. Juga mantan bupati Garut Letkol (Purn) Agus Supriadi, bupati Agus. Sejauh ini, Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis paling berat terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam kasus suap  penanganan kasus BLBI dengan vonis 20 tahun penjara.

Pengadilan Tipikor saat itu tidak pernah membebaskan terdakwa dari kasus yang ditangani oleh KPK. Berbeda dengan Peradilan Umum yang menangani kasus korupsi. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebutkan, selama tahun 2009 saja pengadilan telah membebaskan lebih dari separo terdakwa kasus korupsi. Menurut datanya, selama tahun itu terdapat 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa telah diadili dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 1,772 triliun.  Dari 378 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, sebanyak 224 terdakwa atau 59,26 persen divonis bebas oleh pengadilan. Hanya 154 terdakwa atau 40,74 persen yang divonis bersalah.

Parahnya lagi, yang telah diputus bersalah tersebut masih ada hakim yang menjatuhkan hukuman kurang dari satu tahun meski dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengatur hukuman minimal tidak kurang dari satu tahun. Bahkan sebanyak 16 terdakwa perkara korupsi divonis percobaan atau 4,23 persen. Terdakwa yang divonis kurang dari 1 tahun penjara sebanyak 82 orang atau 21,43 persen. Adapun yang dihukum antara 1 tahun hingga 2 tahun sebanyak 23 terdakwa atau 6,87 persen, divonis 2 hingga 5 tahun 26 terdakwa atau 6,87 persen, dan divonis 5 hingga 10 tahun 6 terdakwa atau 1,58 persen. Pada tahun 2009, hanya seorang terdakwa yang divonis lebih dari 10 tahun atau 0,26 persen.

Jika dicermati dari tahun ke tahun jumlah terdakwa korupsi yang dibebaskan oleh pengadilan terus meningkat.  Selama tahun 2005 dari 243 yang bebas 54 atau 22,2 persen, kemudian pada tahun 2006, dari 361 terdakwa yang bebas 116 atau 31 persen. Tahun 2007 dari 373 terdakwa yang bebas 212 atau 56 persen. Kemudian terus meningkat pada tahun 2008, dari 444 terdakwa yang bebas 277 atau 62 persen. Berarti, selama 2005 hingga 2009,  dari 1.799 terpidana yang dibebaskan sebanyak 883 orang, atau 49 persen.

Tipikor di Daerah
Pada tahun 2006, Mulyana W Kusuma mengajukan Uji Materi UU KPK ke Mahmakah Konstitusi. Salah satu pasal yang diuji adalah aturan soal Pengadilan Tipikor, yang seharusnya diatur dalam UU tersendiri bukan diatur dalam UU KPK. Kemudian, MK mengabulkan uji materi yang diajukan pada 19 Desember 2006. Namun, MK memberikan waktu tiga tahun kepada pemerintah dan DPR untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor.

Pemerintah dan DPR mengesahkan UU Nomor 46 tahun 2010 tentang Pengadilan Tipikor. Dalam UU tersebut juga diamanatkan, Pengadilan Tipikor tidak hanya ada di Jakarta, tetapi juga di 33 provinsi yang akan dibentuk secara bertahap. Saat itu selain banyak harapan terhadap pembentukan Pengadilan Tipikor di daerah, tetapi banyak juga yang meragukan dengan alasan kesiapan infrastruktur, kapasitas dan integritas hakim.

Ternyata, kekhawatiran itu terbukti. Pengadilan Tipikor tidak ubahnya dengan peradilan umum yang sebelumnya banyak membebaskan terdakwa koruptor. Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kurang dari dua tahun ada sekitar 40 terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor pasca lahirnya UU Pengadilan Tipikor tahun 2009.

Anggota Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho mengatakan, sebanyak 40 terdakwa korupsi yang divonis bebas atau lepas tersebut terdiri dari 1 orang di Pengadilan Tipikor Jakarta, 1 orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor Surabaya, 3 orang di Pengadilan Tipikor Bandung, dan 14 di Pengadilan Tipikor Samarinda.

Apalagi, tambah Emerson, Mahkamah Agung akan membentuk Pengadilan Tipikor di 33 Provinsi. Oleh karena penguatan fungsi pengawasan dari semua pihak dalam proses seleksi hakim secara ketat dengan memprioritaskan kualitas dan integritas mutlak dilakukan.

”Jika tidak maka penyakit bawaan berupa vonis bebas bagi koruptor dan mafia peradilan akan menyebar menjadi malapetaka bagi Pengadilan Tipikor yang semula dipandang sebagai ”kuburan bagi koruptor”,  cepat atau lambat akan berubah menjadi ”surga” bagi koruptor,íí kata Emerson.

Karena itu dia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar indikasi ”mafia hukum” dibalik sejumlah vonis bebas terdakwa korupsi oleh Pengadilan Tipikor di daerah. Komisi Yudisial (KY) diminta juga melakukan pemeriksaan terhadap hakim yang dinilai kontroversial karena membebaskan terdakwa korupsi, selain melakukan audit (eksaminasi) semua putusan Pengadilan Tipikor yang membebaskan terdakwa korupsi.

”Rekam jejak hakim tipikor harus kembali dilakukan, yang bermasalah harus dicopot,íí kata Emerson. Dia mencontohkan, hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Bandung Ramlan Comel yang menjadi salah satu majelis yang membebaskan Walikota Bekasi Mochtar Muhammad, ternyata pernah menjadi terdakwa kasus korupsi dana overhead di perusahaan PT Bumi Siak Pusako. Pihak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga perlu melakukan penelusuran harta kekayaan para hakim Pengadilan Tipikor di daerah. (Mahendra Bungalan-80)
Sumber: Suara Merdeka, 14 November 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan