Pengadilan Tipikor di Provinsi; Korupsi di Daerah Semakin Banyak
Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di tingkat provinsi. Hal ini untuk menghemat anggaran negara. Nantinya semua perkara korupsi, baik yang ditangani kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, akan dibawa ke Pengadilan Khusus Tipikor ini.
Hal itu dijelaskan oleh Ketua Tim Perumus Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Romli Atmasasmita di Jakarta, Kamis (6/9).
Tim perumus mengagendakan, pada 21-26 September akan dilakukan konsinyering atas pembahasan draf RUU Pengadilan Khusus Tipikor ini.
Romli memperkirakan, draf RUU Pengadilan Tipikor dari tim perumus selesai November 2007 dan kemungkinan draf akan selesai di DPR pada Mei atau Juni 2008.
Kemungkinan keberadaan Pengadilan Khusus Tipikor yang tersebar di provinsi-provinsi akan dilakukan pada 2009, ungkap Romli.
Menurut dia, pembentukannya diputuskan di tingkat provinsi dan dilakukan secara bertahap. Sempat ada usulan kalau di DKI Jakarta, di setiap wilayah dibentuk Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, tidak hanya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Namun, akhirnya kami sepakat kalau di DKI, Pengadilan Khusus Tipikor yang sudah ada, ujarnya.
Perlu administrasi khusus
Selain membahas soal lokasi keberadaan Pengadilan Khusus Tipikor, lanjut Romli, tim perumus juga membahas mengenai organisasi Pengadilan Khusus Tipikor.
Kami membahas siapa pimpinan Pengadilan Khusus Tipikor, disepakati ketua pengadilan negeri sesuai dengan undang-undang karena Pengadilan Khusus Tipikor berada di bawah peradilan umum sehingga ketua PN menjadi ex officio, ujarnya.
Sementara itu, perlu ada pimpinan yang bertugas teknis. Maka, wakil ketua pengadilan negeri diberikan tugas mengurusi administrasi khusus Pengadilan Khusus Tipikor, kata Romli.
Pakar hukum pidana Universitas Padjadjaran ini berpendapat, tim perumus menilai perlu ada administrasi khusus bagi Pengadilan Khusus Tipikor demi kecepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi di Pengadilan Khusus Tipikor.
Administrasi khusus ini perlu dan tidak digabung dengan pengadilan negeri. Juga dibicarakan panitera khusus Pengadilan Tipikor sehingga panitera itu tidak perlu mondar-mandir sehingga dia bisa fokus mengurusi perkara-perkara korupsi Pengadilan Tipikor, katanya.
Dukungan MA
Romli menyambut gembira rencana Mahkamah Agung (MA) yang melatih 100 hakim karier yang akan menangani perkara tindak pidana korupsi.
Ini menunjukkan MA mendukung keberadaan Pengadilan Tipikor dengan mempersiapkan para hakim itu. Sementara persiapan hakim ad hoc tipikor harus kita adakan juga, kata Romli.
Sementara itu, dari Nusa Dua, Bali, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Taufiequrachman Ruki mengatakan, korupsi di daerah saat ini semakin banyak jumlahnya. Bagi KPK, korupsi di daerah ini menjadi primadona perkara korupsi yang ditangani lembaga tersebut.
Kondisi seperti itu menjadi salah satu alasan KPK untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor di daerah.
Tak usah membentuk KPK di daerah. Bentuk saja Pengadilan Tipikor di daerah, kata Ruki, Rabu lalu.
Menurut Ruki, kondisi yang ideal adalah Pengadilan Tipikor dibentuk di setiap pengadilan negeri yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Pengadilan Tipikor semacam ini berwenang mengadili perkara di tingkat pertama.
Usulan ini sudah disampaikan. Sekarang sedang disandingkan dengan usulan dari pemerintah dan masyarakat, kata Ruki.
Korupsi tambah banyak
Romli Atmasasmita di Nusa Dua, Bali, membenarkan, saat ini rancangan yang diajukan KPK, pemerintah, dan masyarakat itu sedang berada di tangan pemerintah.
Anggota Tim Perumus RUU Pengadilan Khusus Tipikor, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, saat ini RUU usulan masyarakat sedang dalam tahap pembahasan.
Kedudukan Pengadilan Tipikor di tiap kabupaten melekat pada pengadilan negeri, menjadi sistem bikamer. Hal ini untuk menghindari dualisme kepemimpinan dalam manajemen administrasi, kata Indriyanto melalui telepon.
Taufiequrachman Ruki menambahkan, saat ini makin banyak saja korupsi di daerah yang ditangani KPK. Salah satu konsekuensinya, KPK harus mendatangkan saksi-saksi perkara tersebut dari daerah, yang menyita biaya cukup besar.
Selain itu, saat ini beban majelis hakim Pengadilan Tipikor di Jakarta juga semakin berat. Alasan inilah yang membuat KPK, tambah Ruki, tidak memacu kecepatan penanganan korupsi. Ruki juga membantah KPK lambat menangani perkara.
Kalau KPK percepat penanganan korupsi, lalu perkara yang diserahkan ke pengadilan banyak, sedangkan hakimnya terbatas, perkara itu bisa macet di pengadilan, ungkap Ruki. (vin/IDR)
Sumber: Kompas, 7 September 2007