Pengadilan Tipikor di Provinsi Belum Pasti

Pembentukan pengadilan tipikor di lima daerah (regional) lebih masuk akal.

SETELAH tiga hari menggelar rapat tertutup, Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) belum mencapai kata mufakat perihal penempatan pengadilan. Panja masih terjebak di antara tiga opsi yakni pembentukan pengadilan di setiap kabupaten, di 33 provinsi atau cukup di 5 regional saja.

Arbab Paproeka selaku Ketua Panja RUU Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa keputusan tempat Pengadilan Tipikor belum final, namun ia memprediksi pengadilan akan dibentuk di seluruh kabupaten atau provinsi. Hal ini, kata Arbab, merupakan konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan status pengadilan Tipikor berada di lingkup peradilan umum.

"Lingkupnya sebagai peradilan umum maka harus ada di setiap kabupaten," kata Arbab ketika dihubungi Jurnal Nasional, Minggu (30/8).

Legislator asal fraksi PAN itu khawatir jika upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak akan berjalan maksimal apabila pengadilannya sulit dijangkau karena pembatasan wilayah.

"Saya ragu kalau di 5 wilayah upaya pemberantasan korupsi tidak akan efektif. Bahkan pembentukan di 33 ibu kota provinsi seperti yang diusulkan oleh pemerintah saja belum efektif," terang Arbab.                      

Pembentukan Regional

Sementara itu, Koalisi Penyelamat Pemberantasan Korupsi menepis keraguan Panja DPR. Menurut koalisi, salah satu tujuan pembentukan pengadilan tipikor yang hanya dibatasi pada wilayah atau regional agar tidak terjadi upaya untuk melokalisasi penanganan kasus korupsi. Hal ini didasari oleh realitas kedekatan antara pelaku tindak pidana korupsi dengan penguasa yang dapat mengancam independensi hakim.

"Alasan pemerintah yang menyatakan besarnya jumlah hakim ad hoc yang mesti disediakan apabila komposisi hakim mayoritas adalah ad hoc bisa dibantah, bilamana pembentukan pengadilan tipikor cukup di 5 wilayah," kata Peneliti Peradilan dan Konstitusi dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) Wahyudi Djafar.

Koalisi mengusulkan agar pengadilan tipikor hanya dibentuk di lima daerah saja yakni Medan, Makassar, Balikpapan, Surabaya dan Jakarta. Koalisi juga mengimbau agar Panja mempertimbangkan mahalnya pembiayaan gaji hakim untuk pengadilan tipikor di seluruh kabupaten, dalam rangka efisiensi anggaran negara.

Berdasarkan perhitungan koalisi, total pembiayaan gaji hakim untuk pengadilan tipikor di setiap kabupaten mencapai Rp 553,440 miliar setiap tahunnya. Perhitungan tersebut terdiri atas 10 hakim untuk pengadilan tingkat pertama, 5 di tingkat banding dan 15 di tingkat kasasi. Sedangkan kisaran gajinya antara Rp 10 juta hingga Rp 14 juta.Dengan komposisi hakim yang sama namun hanya untuk 5 regional, anggaran gaji hanya berkisar Rp 12,120 miliar.

Sementara itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga mendesak Panja untuk menerima usul pembentukan pengadilan Tipikor di lima regional dengan komposisi hakim ad hoc 3:2. Menurut Peneliti Hukum ICW Febri Diansyah, hal tersebut untuk mencegah ruang bagi mafia peradilan.

Untuk memastikan kepentingan publik bisa terakomodir, ICW meminta Panja untuk melakukan pembahasan RUU secara terbuka. "Dari proses harus terbuka, tidak boleh lari dari pengawasan publik," ujar Febri. [by : Melati Hasanah Elandis]

Sumber: Jurnal nasional, 31 Agustus 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan