Pengadilan Tipikor Bisa Jadi ”Surga” bagi Koruptor

Bebasnya terdakwa korupsi Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Muhammad di Pengadilan Tipikor di Bandung menambah daftar kasus korupsi yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor di daerah.

Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), kurang dari dua tahun sudah 26 terdakwa kasus korupsi yang divonis dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor setelah lahirnya UU Pengadilan Tipikor pada 2008.

Menurut anggota Badan Pekerja ICW, Emerson Yuntho, ke-26 terdakwa korupsi yang divonis bebas atau lepas tersebut, terdiri atas satu orang di Pengadilan Tipikor Jakarta, satu orang di Pengadilan Tipikor Semarang, 21 orang di Pengadilan Tipikor Surabaya, dan tiga orang di Pengadilan Tipikor Bandung.

”Vonis bebas terdakwa korupsi dan mafia peradilan dikhawatirkan menjadi wabah ‘penyakit’ yang akan menyebar ke Pengadilan Tipikor daerah lainnya, termasuk di luar Jawa,” kata Emerson, Rabu (12/10).

Apalagi, tambah Emerson, Mahkamah Agung menargetkan akan membentuk Pengadilan Tipikor di 33 provinsi. Untuk itu, mutlak dilakukan penguatan fungsi pengawasan dari semua pihak dan melakukan proses seleksi hakim tipikor secara ketat dengan memprioritaskan kualitas dan integritas.

”Jika tidak maka penyakit bawaan berupa vonis bebas bagi koruptor dan mafia peradilan akan menyebar akan menjadi malapetaka bagi Pengadilan Tipikor yang pada awal berdirinya dipandang sebagai ‘kuburan bagi koruptor’. Cepat atau lambat akan berubah menjadi surga bagi koruptor,” kata Emerson.

Dengan demikian, dia meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar indikasi mafia hukum di balik sejumlah vonis bebas terdakwa korupsi oleh Pengadilan Tipikor di daerah.

ICW juga meminta Komisi Yudisial (KY) melakukan pemeriksaan terhadap hakim tipikor yang dinilai kontroversial karena membebaskan terdakwa korupsi. KY juga harus melakukan audit (eksaminasi) semua putusan Pengadilan Tipikor yang membebaskan terdakwa korupsi.

”KY harus memberikan prioritas dalam mengawasi etik dan perilaku hakim tipikor, baik karier dan adhoc, baik dalam kedinasan maupun di luar kedinasan,” ujar Emerson.

Keganjilan

Sementara itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku menemukan kejanggalan sejak awal dalam sidang Wali Kota Bekasi nonaktif Mochtar Muhammad.

Hal ini ditunjukan dengan dikabulkannya permohonan penangguhan penahanan oleh wali kota dari PDIP itu dengan alasan sakit. ”Saya lihat ada keganjilan,” kata Ketua JPU I Ketut Sumadana.

Seperti diketahui, selama ini Pengadilan Tipikor tidak pernah mengabulkan penangguhan penahanan terdakwa. Jika terdakwa kasus korupsi sakit biasanya hakim Pengadilan Tipikor hanya memberi izin berobat atau dibantarkan jika harus dirawat di rumah sakit.

Atas pengabulan permohonan penangguhan penahanan itu, kata Ketut, pihaknya telah mengajukan keberatan. Terkait kasasi yang akan diajukan KPK, Ketut tetap optimistis. 

” Kami dari jaksa penuntut umum tetap yakin,”kata Ketut.

Ketut dan rekannya, Hadiyanto memiliki waktu 14 hari untuk menyusun memori kasasi. Memori kasasi akan memaparkan kesalahan penafsiran atas dakwaan jaksa penuntut umum.

”Ini kan perbuatannya empat, tiga lapis dakwaan. Saya kira wartawan bisa menilai sendirilah seperti apa. Masa dari empat perbuatan nggak ada yang bisa dipertimbangkan,” katanya.

Politikus PDIP itu dituntut hukuman 12 tahun penjara, denda Rp300 juta serta uang pengganti Rp 639 juta oleh jaksa.  Namun Mochtar divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Bandung.(J13-71)
Sumber: Suara Merdeka, 13 Oktober 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan