Pengadilan, Kuburan bagi Pencari Keadilan

Mafia peradilan. istilah itu, belakangan ini demikian santer terdengar. Terungkapnya sejumlah kasus, terakhir kasus suap di Mahkamah Agung (MA), membuktikan bahwa mafia itu masih ada.

Lembaga-lembaga yang sejatinya ditugasi mengawal peradilan, justru payah dan terkapar bujuk rayu, seperti MA. Dalam konteks itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) muncul dan berperan penting saat kepercayaan publik menurun pada Kejaksaan Agung, MA, dan kepolisian. Untuk melacak langkah-langkah yang dilakukan KPK mengikis mafia peradilan yang mengakar di institusi penegakan hukum kita, berikut wawancara Media dengan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki, di Jakarta, pekan lalu.

Apa yang harus dilakukan terkait dengan mencuatnya kasus dugaan maraknya mafia peradilan?

Selain hakim, maka aparat peradilan lainnya seperti penyidik, penuntut umum, panitera, dan advokat atau pengacara, dan juga lembaga kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dan organisasi advokat harus diberdayakan sehingga mampu berperan secara benar dan optimal dalam penegakan hukum.

Pemberdayaannya harus diawali dengan menemukan dan mengenali masalah yang ada, dan yang memberi kontribusi besar bagi keterpurukan aparat peradilan. Maraknya penyalahgunaan wewenang di tubuh aparatur peradilan menjadi salah satu perhatian KPK, dan KPK berupaya mempelajari penyebab yang membuat mereka berperilaku koruptif sehingga dapat ditemukan upaya-upaya yang efektif untuk mengatasinya.

Apa kendala untuk menciptakan lembaga peradilan yang bersih?

Secara garis besar terdapat beberapa kendala yang dihadapi bagi terciptanya aparatur peradilan yang bersih dan berwibawa. Antara lain, diperlukannya izin untuk melakukan pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat tertentu dan diperlukannya izin dari Gubernur Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan terhadap rekening tersangka, merupakan dua contoh yang sangat relevan untuk dikemukakan.

Selain menyimpang dari prinsip equality before the law (persamaan di mata hukum) yang dianut oleh semua sistem hukum, perizinan khusus tersebut menyebabkan panjangnya birokrasi, yang pada akhirnya memberikan peluang pada pihak yang beperkara untuk 'bermain' dengan aparat penegak hukum yang bermoral buruk guna mendistorsi izin pemeriksaan.

Apa yang perlu diubah?

Perlu dilakukan reformasi terhadap hukum acara pidana yang saat ini berlaku, antara lain menyangkut penghapusan izin bagi aparatur penegak hukum, meningkatkan fungsi koordinasi antara penyidik Kepolisian dan JPU, auditor negara (BPK/BPKP). Sering kali instansi-instansi tersebut mengedepankan egoisme sektoral yang berakibat pada buruknya koordinasi di antara ketiga lembaga tersebut, yang berakibat pada terhambatnya kecepatan dan ketepatan upaya pemberantasan korupsi.

Salah satu prinsip utama dalam KUHAP adalah terjadinya koordinasi yang harmonis dan intensif antara penyidik dan jaksa penuntut umum (JPU) dalam melakukan penyidikan dan penuntutan. Penyidikan dan penuntutan merupakan sebuah rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, dan saling mendukung satu sama lain guna keberhasilan penghukuman terhadap pelaku tindak pidana. Namun, koordinasi tersebut sering kali tidak berjalan dan menyebabkan terjadinya bolak-balik berkas perkara dari Penyidik Kepolisian ke JPU dan sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan tersangka.

Tingkat kesejahteraan sering jadi alasan rendahnya moral hakim?

Saat ini besarnya gaji tidak sepadan dengan kebutuhan hidup yang riil. Beban pekerjaan serta godaan yang tinggi menjadi hambatan tersendiri. Hambatan ini klasik, tetapi tetap tidak pernah disentuh sehingga tetap menjadi alasan.

Pemberdayaan aparatur peradilan menjadi dambaan masyarakat Indonesia. Bila reformasi di bidang ini dilakukan dengan cara-cara yang tepat dan efektif, saya yakin akan sanggup mengembalikan kredibilitas semua aparatur peradilan. Kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan meningkat. Pengadilan tidak lagi menjadi kuburan bagi keadilan, tetapi akan menjadi tempat persemaian benih-benih kebenaran dan supremasi hukum.

Aparat peradilan harus diberdayakan menjadi tenaga-tenaga yang profesional, dan untuk menjadi tenaga profesional harus dipenuhi dengan memiliki keahlian yang baik, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang terstruktur dan berkesinambungan, penataan organisasi yang baik, yang dilengkapi dengan penetapan tujuan dan dasar penghitungan prestasi yang jelas. Sehingga penilaian terhadap kinerja, prestasi, dan akuntabilitas institusi maupun personal aparat penegak hukum dapat dilakukan secara terukur. Gaji yang memadai merupakan masalah klasik yang harus segera dituntaskan. Perlu dipikirkan sistem penggajian yang berbeda bagi penyidik, jaksa, dan hakim, serta pemberian perlengkapan yang memadai sehingga dapat optimal mengimbangi teknologi kejahatan.

Saat ini masyarakat mulai sinis terhadap para penegak hukum dan lembaganya. Apa yang perlu dibenahi sesegera mungkin?

Kiranya perlu dikembangkan upaya pemuliaan kembali hakim di Indonesia. Sejalan itu, para hakim wajib menjaga integritasnya dirinya. Seorang hakim melaksanakan tugasnya sebagai pengadil, hendaklah tidak dianggap sebagai suatu proses biasa dalam pengambilan keputusan. Mengadili bukanlah sebuah pekerjaan. Karena itu menjadi hakim bukanlah pekerjaan. Hakim hendaknya jangan dianggap sebagai jabatan, hakim adalah pengabdian. Penegak hukum, termasuk advokat, harus mengedepankan profesionalisme dan kode etik profesi. Bila terdapat pelanggaran etika, organisasi dan asosiasi profesi harus berani memberikan sanksi yang keras dan tegas.KL/Hnr/P-3).

Media Indonesia, 17 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan