Pengadilan Korupsi yang Tersandera

Dalam kunjungannya ke Indonesia, Ketua Komisi Antikorupsi Malaysia (Malaysian Anti-Corruption Commission--MACC) mengatakan mereka ingin memiliki pengadilan khusus tindak pidana korupsi (pengadilan tipikor) seperti yang ada di Indonesia, yang khusus menangani kasus-kasus rasuah atau korupsi (Koran Tempo, 4 Februari 2009).

Ironisnya, di Indonesia sendiri keberadaan pengadilan ini justru terancam bubar bila Dewan Perwakilan Rakyat belum juga menyetujui Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tipikor (RUU Pengadilan Tipikor). Keterlibatan DPR dalam menentukan masa depan Pengadilan Tipikor bukan tanpa sebab. Tiga tahun lalu, Mahkamah Konstitusi melalui sebuah putusan pada 2006 memutuskan bahwa Pengadilan Tipikor sebagaimana dibentuk melalui Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah atau inkonstitusional.

MK selanjutnya meminta pembuat undang-undang membentuk UU tentang Pengadilan Tipikor dalam jangka tiga tahun setelah putusan. Sesuai dengan tenggat yang diberikan MK, maka UU Pengadilan Tipikor ini harus selesai paling lambat 19 Desember 2009. Artinya waktu tersisa untuk membentuk Pengadilan Tipikor hanya tinggal 10 bulan.

Meski pimpinan DPR menyatakan bahwa RUU Pengadilan Tipikor menjadi prioritas bahkan ditargetkan akan selesai sebelum Pemilihan Umum 2009, faktanya proses pembahasan masih jauh dari yang diharapkan. Dapat dikatakan Pengadilan Tipikor telah disandera oleh DPR. Hidup-matinya tergantung wakil rakyat di Senayan.

Ironisnya, alih-alih serius membahas RUU, DPR justru menyalahkan pemerintah sebagai penyebab tidak selesainya RUU Pengadilan Tipikor tersebut. Keterlambatan penyerahan RUU oleh pemerintah memang satu persoalan, tapi berlarut-larutnya proses pembentukan undang-undang di DPR merupakan faktor paling mendasar yang berpotensi menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor.

Belum tuntasnya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor saat ini tidak semata karena persoalan tak adanya komitmen DPR secara institusi, namun secara lebih luas kondisi ini harus dimaknai bahwa semua partai politik yang ada di DPR tidak punya komitmen dalam pemberantasan korupsi, termasuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.

"Memasrahkan" pembahasan RUU Pengadilan Tipikor kepada DPR jelas bukanlah posisi yang menguntungkan. Tidak dapat dimungkiri masih ada anggota DPR tidak menyukai keberadaan KPK dan Pengadilan Tipikor. Hal ini mengingat sudah ada delapan anggota DPR yang dijerat oleh KPK. Hamka Yandhu dan Al Amin Nur Nasution bahkan telah divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Tipikor dan telah mendekam di bui.

Muncul kekhawatiran ada upaya "pembusukan" KPK dan Pengadilan Tipikor melalui proses penyusunan RUU Pengadilan Tipikor ini, yaitu dengan melemahkan substansi penting dalam RUU tersebut atau membiarkan RUU tidak dibahas hingga jangka waktu berakhir.

Sejauh ini ada tiga isu krusial dalam substansi RUU yang menentukan hidup-matinya Pengadilan Tipikor. Pertama, mengenai tempat kedudukan. Dalam RUU ditegaskan kedudukan Pengadilan Tipikor berada di setiap kabupaten. Kondisi ini berimplikasi pada sulitnya mencari hakim karier dan hakim ad hoc Pengadilan Tipikor yang memenuhi syarat, berkualitas, dan berintegritas. Dengan memperhatikan jumlah kabupaten di Indonesia yang mencapai 434 kabupaten, dengan asumsi satu majelis terdiri atas lima orang, maka dibutuhkan 2.170 hakim. Untuk mendapatkan orang jujur, berintegritas, berkualitas, dan punya komitmen dalam pemberantasan korupsi sebagai hakim Pengadilan Tipikor, jumlah sebanyak itu sulit terpenuhi.

Kedua, komposisi hakim ad hoc dan karier. RUU tidak memberikan kejelasan mengenai komposisi hakim ad hoc dan karier yang akan memeriksa dan mengadili perkara korupsi di persidangan. Hal ini dapat berimplikasi jumlah hakim karier akan lebih besar ketimbang hakim ad hoc (bandingkan dengan UU KPK yang menyebutkan secara tegas komposisi majelis hakim terdiri atas tiga hakim ad hoc dan dua hakim karier). Padahal sejauh ini publik lebih percaya kepada hakim ad hoc daripada hakim karier.

Ketiga, kewenangan pimpinan pengadilan dan Mahkamah Agung dalam penentuan jumlah dan komposisi hakim. RUU Pengadilan Tipikor memberikan kewenangan kepada ketua pengadilan dan ketua MA untuk menentukan jumlah dan komposisi hakim. Hal ini membuka peluang intervensi dari pimpinan untuk memilih orang-orang sesuai dengan keinginan atau pesanan dan berdampak pada vonis yang ringan atau bahkan membebaskan terdakwa korupsi.

Jika RUU Pengadilan Tipikor dibiarkan tidak diselesaikan oleh DPR hingga batas waktu yang ditentukan, konsekuensinya tidak hanya membubarkan Pengadilan Tipikor, namun juga berakibat pada semua kasus korupsi yang ditangani oleh KPK akan diadili di pengadilan umum. Untuk kondisi saat ini, pengadilan umum dinilai tidak mendukung semangat pemberantasan korupsi. Fakta yang terjadi, tren vonis bebas justru meningkat dari tahun ke tahun.

Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch pada 2005-2008, dari 1.421 terdakwa perkara korupsi, sedikitnya ada 659 terdakwa korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan umum. Rata-rata vonis yang diberikan pun hanya 5,82 bulan penjara. Kondisi tersebut sangat kontras dengan Pengadilan Tipikor. Sejak 2005 hingga 2008, Pengadilan Tipikor setidaknya telah mengadili 92 terdakwa perkara korupsi. Tiada satu pun yang divonis bebas. Vonis yang diberikan pun cukup memberikan efek jera bagi pelaku, yaitu rata-rata selama 4 tahun 2 bulan penjara.

Kondisi pengadilan umum di Indonesia yang masih buruk rupa karena maraknya praktek jual-beli keadilan menjadi alasan bagi masyarakat menolak kasus-kasus korupsi diadili oleh pengadilan umum. Dengan kondisi Pengadilan Tipikor yang terancam bubar, maka tidak berlebihan jika dikatakan pemberantasan korupsi di Indonesia masuk pada tahap kegentingan yang memaksa. Jika DPR tidak bisa diharapkan menuntaskan RUU Pengadilan Tipikor, satu-satunya harapan untuk mempertahankan pengadilan yang paling dibenci koruptor adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberi kewenangan tersebut. Tindakan konkret Presiden dalam bentuk perpu ini sekaligus menyelamatkan Pengadilan Tipikor dari kepunahan. Agar tidak menjadi kenangan dan jadi bagian sejarah.

Emerson Yuntho; WAKIL KOORDINATOR BADAN PEKERJA INDONESIA CORRUPTION WATCH

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 11 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan