Pengadilan Korupsi Harus Kembali
Pada 19 Desember 2006, banyak pihak merasa kecewa karena putusan Mahkamah Konstitusi (MK) membubarkan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). Tapi MK meminta pemerintah dan DPR menyusun UU Pengadilan Tipikor dalam tiga tahun untuk mencegah dualisme antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kejaksaan, kelak diadili hanya di Pengadilan Tipikor.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Khusus Tipikor disusun oleh Bappenas. Agustus ini diharapkan selesai yang kemudian diserahkan kepada Dephuk dan HAM. Selain putusan dan permintaan MK, penyusunan ini juga tak lepas dari permintaan atau desakan KPK agar dipercepat.
Untuk mengatasi kekosongan hukum -meskipun KPK diberi kesempatan menangani kasus dalam tiga tahun- RUU harus segera diajukan ke DPR agar menjadi UU untuk kemudian dibentuk kembali pengadilan khusus yang berwenang menangani perkara tipikor.
Dukungan
Sebelum putusan MK keluar, Presiden Yudhoyono juga telah memprioritaskan dan mengagendakan pemberantasan korupsi ketika melantik penasihat dan anggota Timtas Tipikor pada Mei 2005. Dalam kaitan ini pun telah dikeluarkan instruksinya untuk percepatan pemberantasan tipikor.
Pada dasarnya, agenda pemberantasan korupsi adalah amanat reformasi. Banyak kalangan masyarakat yang mendukung. Bahkan amanat ini tersosialisasi dalam berbagai kampanye pemerintahan yang baik (good governance) atau pemerintahan yang bersih (clean government) maupun penyelenggaraan negara yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Beberapa UU dihasilkan, dengan tujuan untuk memperkuat penegakan hukum. Salah satunya adalah UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dan dibentuknya pengadilan tipikor. Kehadiran KPK didasarkan pada realitas bahwa institusi yang menangani untuk pemberantasan tipikor belum berfungsi efektif dan efisien.
Sejumlah LSM yang prihatin atas berbagai kasus korupsi juga telah menunjukkan dukungan mereka dalam pemberantasan korupsi dengan mengungkap banyak kasus. Mereka termasuk yang mendukung penguatan KPK dan Komisi Yudisial (KY).
Tentu saja, selain berbagai dukungan juga ada pihak-pihak yang berseberangan. Sejumlah tokoh, hakim, dan pengacara keberatan dengan adanya pengadilan tipikor. Bisa jadi mereka ingin melindungi para pelaku tipikor dari hukuman.
Mengenai pengadilan itu, pada Maret 2006, Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan menyatakan keberatan penanganan kasus korupsi berkaitan dengan mandat UU. Keberatan itu bisa dimaklumi sehubungan dengan semakin berkurangnya wilayah pengadilan di bawah kewenangan MA.
Tindakan KPK pada 27 Oktober 2005 yang menggeledah ruang kerja Bagir Manan dan dua hakim agung lainnya -Parman Soeparman dan Usman Karim, termasuk pula ruang Sekretariat Ketua MA, ruang Asisten Koordinasi Tim A, dan ruang Direktur Pidana- adalah kenangan buruk sebagai sasaran penyidikan atas dugaan tipikor.
Mereka yang duduk dalam Tim Pembahas RUU Tipikor diketahui hendak menghapus pengadilan tipikor dan hakim ad hoc. Mereka lantas dituding sebagai bagian dari serangan balik yang digulirkan para koruptor. Dengan keluarnya perwakilan Indonesian Corruption Watch (ICW), tim pembahas itu dipandang sudah tak legitimate.
Pengadilan Tipikor
Meskipun bersifat ad hoc -khusus dan sementara- pembentukan kembali pengadilan khusus tipikor dan peran KPK sangatlah penting dalam memberantas korupsi sebagai bagian dari penegakan hukum.
Pertama, pemberantasan korupsi adalah bagian dari amanat dan agenda reformasi yang didambakan banyak kalangan masyarakat. Pemerintah terus didesak untuk menyeret orang-orang yang diduga melakukan korupsi ke muka pengadilan tanpa tebang pilih. Melalui legislasi di DPR, diharapkan sebuah pengadilan tipikor menjadi legal dan sah.
Kedua, dalam konteks lembaga peradilan yang ditengarai marak dengan mafia peradilan memang sedang mengalami reformasi. Salah satu yang telah dijalankan adalah pengadilan tipikor yang dipercaya untuk mengurangi dugaan mafia tersebut. Beberapa lembaga peradilan baru juga telah dibentuk.
Ketiga, kiprah KPK telah ditunjukkan dengan serangkaian tindakan dalam menyeret para pelaku korupsi serta dengan hasil-hasil di mana tak seorang yang bebas dari hukuman. Sangat disayangkan, dengan diperbaruinya mandat KPK -melalui pemilihan pimpinannya- justru terpaksa harus berhenti dalam tiga tahun jika tanpa UU menyusul putusan MK.
Keempat, wilayah keberadaan pengadilan tipikor haruslah diperluas, sekurang-kurangnya dibentuk di empat daerah selain di pusat (Jakarta), yaitu Medan, Denpasar, Balikpapan, dan Makassar. Keberadaan pengadilan di beberapa wilayah ini diharapkan dapat menjangkau kasus-kasus yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Bali dan Nusa Tenggara, serta Indonesia Timur.
Kelima, seperti selama ini, partisipasi masyarakat yang berkaitan dengan peran KPK, tetap sebagai sarana yang penting dalam memberantas korupsi. Sebaiknya, RUU Pengadilan Tipikor harus mengakomodasi partisipasi masyarakat. Laporan masyarakat ini memang perlu diseleksi dengan ketat oleh KPK.
Benny K Harman, anggota Komisi III DPR RI
Tulisan ini disalin dari Suara Pembaruan, 29/8/07