Pengadilan Korupsi di Setiap Provinsi; Usul Amandemen UU KPK

Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang hanya satu di Jakarta dinilai sangat kurang untuk mengadili kasus-kasus korupsi yang dilaporkan ke KPK yang mencapai 7.000 kasus. Karena itu, rancangan amandemen UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK yang disusun KPK mengusulkan agar Pengadilan Tipikor bisa segera dibentuk di setiap provinsi.

Pengadilan Tipikor harus dibentuk di setiap provinsi, tidak hanya di Jakarta, tegas Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Menurut dia, Pengadilan Tipikor yang ada saat ini sudah cukup kepayahan karena banyak kasus yang ditangani KPK yang mulai masuk sidang. Dan, jumlah hakimnya sangat terbatas.

Pengadilan ad hoc kita ini sudah sempoyongan. Bayangkan, majelisnya hanya satu. Mereka sehari bisa menyidangkan tiga perkara dan bisa mulai pukul 9.00 sampai 20.00, jelas lulusan Akpol 1971 tersebut. Karena itu, Ruki berharap hakim Pengadilan Tipikor bisa ditambah secepatnya.

Sebenarnya, MA sudah menyeleksi hakim Pengadilan Tipikor dan mengajukan nama-namanya ke presiden sejak tiga bulan lalu. Sebab, hakim Pengadilan Tipikor dilantik presiden. Namun, menurut Ketua MA Bagir Manan saat ditemui di ruangannya pada Kamis lalu, presiden belum memberikan jawaban. Sampai hari ini (Kamis, Red) belum ada surat dari presiden, katanya.

Selain berharap agar Pengadilan Tipikor dibentuk di setiap provinsi dan segera ada penambahan hakim, KPK mengusulkan perubahan sistem penanganan perkara. Dalam amandemen ini, kami juga berharap nanti perkara yang masuk di Pengadilan Tipikor bukan hanya dari KPK, tapi juga semua perkara korupsi yang dituntut kejaksaan, tegas Ruki.

Menurut dia, pemikiran tersebut didasari asas equality before the law (adanya kesamaan perlakuan di hadapan hukum). Equality before the law harus ditegakkan. Sekarang ini ada banyak pertanyaan, kalau disidik KPK, mengapa kasusnya diadili Pengadilan Tipikor, sedangkan kalau dituntut jaksa, kok di pengadilan negeri? Padahal, sama-sama korupsi. Jadi, seolah-olah ada perbedaan, ujar bapak dua anak tersebut. Dia menyatakan, ada beberapa materi penanganan kasus korupsi yang harus diluruskan.

Dalam rancangan amandemen tersebut, KPK juga mengusulkan agar lembaga superbodi itu bisa merekrut dan mengangkat penyidik sendiri di luar kepolisian serta kejaksaan. Saat ini, dalam UU KPK tidak ada ketegasan mengenai hal itu. Jika mengacu pada KUHAP, penyidik adalah jaksa dan polisi.

Kami tidak bisa terus mengandalkan penyidik dari polisi dan jaksa. Kami tahu, penyidik polisi dan jaksa juga kurang. Akibatnya, kami kesulitan meminta tambahan personel. Karena itu, kami mengusulkan kepada pemerintah agar KPK diberi wewenang untuk mengangkat penyidik sendiri di luar kepolisian dan kejaksaan, ungkap Ruki.

Selain itu, KPK mengamandemen soal birokrasi perizinan. Saya berharap, khusus untuk tindak pidana korupsi, tidak perlu lagi ada izin menteri dalam negeri atau presiden untuk memeriksa para pejabat yang korup, tegasnya.

Begitu juga dengan birokrasi perbankan. Menurut dia, KPK sudah tidak mempunyai masalah dalam menembus kerahasiaan bank menyangkut rekening tersangka. Namun, kemudahan itu tidak dimiliki kejaksaan serta kepolisian.

Kami mengerti bahwa bank harus bisa menjamin kerahasiaan. Tapi, begitu menyangkut korupsi, seharusnya itu hilang. Jadi, kemudahan tersebut juga harus diberikan kepada kepolisian dan kejaksaan agar bisa memberantas korupsi, kata pria kelahiran Rangkasbitung, Banten, tersebut.

Ruki menambahkan, pembahasan rancangan amandemen yang sudah sekitar setahun dilakukan di lingkungan intern KPK itu sudah selesai. Namun, masih butuh penajaman akhir sebelum diajukan. Rancangan tersebut akan kami serahkan kepada pemerintah secepatnya, ujarnya. Apakah tahun ini? Pokoknya secepatnya lah, tegasnya sambil tersenyum. (lin)

Sumber: Jawa Pos, 14 November 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan