Pengadilan Indonesia Harus Merevolusi Lembaga

Pengadilan Indonesia Harus Merevolusi Lembaga


Pengadilan di Indonesia harus melakukan pembenahan terhadap fungsinya. Hal ini jika coba dilihat dari catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang vonis kasus korupsi. Dimana pengembalian kerugian negara dari korupsi  tidak maksimal. Pengembalian kerugian negara hanya Rp 1,4 triliun, sedangkan kerugian negara yang diakibatkan dari tindak pidana korupsi sebesar Rp 10,68 triliun.

Hal ini disampaikan oleh Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Aradila Caesar Ifmaini Idris. Menurut dia, tidak optimalnya pengembalian uang negara atas pembebanan uang pengganti bisa dilihat dari kerugian Rp 10,68 triliun. Hanya sepertujuh atau 13% yang tergantikan.

"Tercatat di 2014 hanya 274 terdakwa hanya dikenakan denda ringan kisaran Rp 25-50 juta," kata Arad.

Pasalnya, meskipun UU tipikor pasal 2 yang menyebutkan denda minimal Rp 200 juta maksimal Rp 1 miliar dan Pasal 3 denda minimal Tp 50 juta sampai Rp 1 miliar. Namun, kecendrungan hakim hanya menjatuhkan denda ringan yaitu Rp 50 juta.

Selain minimnya pergantian denda pidana yang tidak menutup kerugian negara, masalah disparitas putusan juga menjadi masalah yang sangat serius. Dalam upaya menghukum kejahatan korupsi yang luar biasa, pengadilan memberikan hukuman tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan para koruptor.

"Ini memberikan rasa yang tidak adil bagi terdakwa dan korban dari yang dikorupsi." ujar Arad.

Pada data tren vonis korupsi, permasalahan disparitas banyak terjadi dalam perkara. Contoh kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sangat besar, namun hanya diputus hukuman 1 tahun. Sedangkan korupsi yang mengakibatkan kerugian negaranya sedikit namun diputus dengan hukuman lebih berat.

Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Lalola Easter menyatakan belum terjadi kesamaan pandangan diantara penegak hukum (Pengadilan). Hal ini mengakibatkan permasalahan hukum yang dapat mempengaruhi keadilan dalam putusan-putusan yang dilakukan.

Selain itu, pengadilan harus memberlakukan denda sesuai UU tipikor pada setiap terdakwa. Bukan mengacu pada denda ringan yang jumlahnya tidak sesuai.

"Hukuman pidana harus 'galak' diterpakan oleh hakim. Selain sanksi sosial, pencabutan hak politik juga bisa menjadi pilihan penegak hukum," tegas Lola.
 

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan