Pengadilan Harus "Bersih-bersih" dari Korupsi

Pengadilan harus berbenah besar-besaran. Pengadilan harus “bersih-bersih” sebelum hancur dimakan ketidakpercayaan publik dan gontokan koruptor yang tak segan menyuap para hakim dengan kendali diri menyedihkan.

Tren vonis korupsi 2013 yang telah dirilis ICW minggu lalu mengungkap fakta penting bahwa pengadilan harus turut berbenah. Secara umum, putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih mengkhawatirkan. Rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor pada tahun 2013 yaitu 2 tahun 11 bulan.

Menurut peneliti ICW Emerson Yuntho, vonis rendah belum bisa membuat jera koruptor dan belum mencerminkan semangat pemberantasan korupsi yang berupaya menghukum koruptor seberat-beratnya.

Rata-rata putusan penjara 2 tahun 11 bulan masih masuk kategori ringan (0 – 4 tahun). Menurut Emerson, vonis rendah tidak akan bikin kapok terdakwa dengan maksimal, karena masih terbuka kemungkinan napi mendapat remisi (pengurangan masa tahanan) atau pembebasan bersayarat di masa mendatang.

Institusi pengadilan di tahun 2013 juga belum steril dari korupsi. Sejak 2011 hingga 2013, tercatat lima hakim tipikor diproses dalam kasus korupsi, yaitu: Kartini Marpaung (Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Semarang), Asmadinata (Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Palu), Heru Kisbandono (Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Pontianak), Pragsono (Hakim Pengadilan Tipikor Semarang), Setyabudi Tejocahyo (Hakim Pengadilan Tipikor Bandung)

Ramlan Comel juga masih dipertahankan sebagai Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Bandung meski pernah menjadi terdakwa kasus korupsi sebelum mendaftar hakim ad hoc. Ramlan juga ticurigai terlibat beberapa kasus korupsi yang ditanganinya.

Selain itu muncul dugaan pelanggaran kode etik/korupsi yang melibatkan hakim agung dalam kasus korupsi PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) yang membebaskan terdakwa Sudjiono Timan dan kasus suap dengan terdakwa Mario, seorang pengacara. Putusan bebas ini kontroversial karena Sudjiono berstatus buron di luar negeri.

Padahal sebelumnya, Majelis Kasasi Mahkamah Agung yang diketuai Bagir Manan telah memvonis Sudjiono 15 tahun penjara, denda Rp 50 juta, dan wajib membayar uang pengganti Rp 369 miliar.

Jangan hanya andalkan “Faktor Artidjo”

Tahun 2013 juga ditandai dengan munculnya fenomena pemberatan terhadap pelaku korupsi. Beberapa kasus korupsi dijatuhi hukuman lebih berat saat naik ke tingkat banding maupun kasasi. Berikut beberapa putusannya.

Perkara/ Terdakwa Korupsi

Pengadilan Negeri

Pengadilan Tinggi

Mahkamah Agung

Djoko Susilo (Simulator SIM)

10 Tahun

18 Tahun

Angelina Sondakh (Kemenpora/ Kemendiknas)

4 tahun 6 bulan

4 tahun 6 bulan

12 tahun

Tommy Hindratno (Pajak)

3 tahun 6 bulan

3 tahun 6 bulan

10 tahun

Umar Zen (Korupsi Askrindo)

5 tahun

11 tahun

15 tahun

Faisal (Korupsi Dinas PU Deli Serdang)

1 tahun 6 bulan

12 tahun

Tabel 1. Pemberatan hukuman kasus korupsi tahun 2013 

Perlu dicermati, tiga dari lima pemberatan pidana di atas diputus di tingkat Mahkamah Agung oleh Panel Hakim yang terdiri dari Artidjo Alkostar, M.S. Lumme, dan Muh. Asikin. Diduga ini adalah “Faktor Artidjo”. Sebab, ada beberapa putusan di Mahkamah Agung yang tidak memberi pemberatan yang signifikan, bahkan meringankan.

ICW mencatat empat perkara korupsi di Mahkamah Agung yang diputus lebih ringan dibandingkan putusan pengadilan tingkat banding dan pertama, yaitu:

1.      Kasus Al-Amin Nasution yang divonis 8 tahun penjara pada Pengadilan Tipikor tingkat pertama dalam kasus suap alih fungsi hutan

2.      Tengku Azmun Jaafar yang divonis 11 tahun penjara atau lebih rendah 5 tahun penjara dari vonis di tingkat pertama.

3.      Kasus Rokhimin Danuri mantan menteri kelautan dan perikanan yang korupsi dana non budgeter dan divonis 7 tahun penjara di tingkat pertama, tapi diringankan menjadi 4 tahun 6 bulan pada Peninjauan Kembali di MA.

4.      Kasus korupsi Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang memutus Burhanuddin Abdullah selama 5 tahun penjara di tingkat pertama, menjadi 3 tahun setelah kasasi di MA.

Dari keempat putusan tersebut, Artidjo tidak pernah menjadi anggota panel hakim pemutus vonis yang meringankan di tingkat kasasi ataupun Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.

“Inilah yang perlu didorong untuk menjadi pemahaman semua hakim yang menangani perkara tipikor, sehingga pemberatan hukuman penjara bukan merupakan faktor Hakim Artidjo seorang,” ujar Emerson.

Walau “Faktor Artidjo” boleh jadi adalah “berkah” bagi penjatuhan vonis bagi koruptor, tapi semua hakim yang memeriksa dan mengadili perkara korupsi harus punya kesamaan pandangan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan hukuman terhadap koruptor juga harus luar biasa (jera, miskin, malu, dan batasi hak-haknya).

Bila semua hakim punya kesamaan pandangan itu, menurut Emerson, penjeraan koruptor sudah dapat dimulai sejak pemidanaan, dan diperberat dengan pemiskinan.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan