Pengadilan Antikorupsi di Ibu Kota Provinsi

Kewenangan penuntutan KPK tak diatur.

Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah kemarin sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pengesahan dalam sidang paripurna tersebut menyepakati, kedudukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ada di setiap ibu kota kabupaten/kota.

”Untuk pertama kali pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan di setiap ibu kota provinsi,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata, saat pandangan akhir pemerintah dalam rapat sidang paripurna di gedung MPR/DPR, kemarin. ”Tapi, khusus untuk DKI Jakarta, pengadilan antikorupsi berkedudukan di setiap kota madya.” Kedudukan pengadilan antikorupsi diatur dalam pasal 3 rancangan tersebut.

Menteri Andi mengatakan, pengesahan rancangan yang disepakati secara aklamasi ini merupakan landasan hukum untuk pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Sebelumnya, ada kekhawatiran RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi batal disahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009. Hal ini akibat alotnya perdebatan sejumlah materi krusial dalam rancangan tersebut. Yakni, kedudukan pengadilan, komposisi hakim karier dan hakim ad hoc, serta kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyadapan dan penuntutan. Namun, RUU tersebut akhirnya disahkan.

Komposisi hakim diatur dalam pasal 26 rancangan tersebut. Hakim pengadilan antikorupsi paling banyak lima orang dan sedikitnya tiga hakim. Jika lima orang, komposisinya tiga hakim dari jalur karier dan dua hakim ad hoc, atau sebaliknya. Begitu juga jika majelis hakim terdiri atas tiga orang, komposisinya bisa dua dari karier dan satu hakim ad hoc, atau sebaliknya. Komposisi hakim ditentukan oleh ketua pengadilan setempat.

Perihal penyadapan diatur dalam pasal 28. Pasal tersebut menyebutkan, semua alat bukti yang diajukan ke persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku. Dalam penjelasannya disebutkan, penyadapan dapat dilakukan apabila ada dugaan atau akan terjadi tindak pidana korupsi.

Adapun kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penuntutan tak diatur secara khusus dalam RUU tersebut. Penuntutan hanya disebutkan dalam pasal 1 ayat 4, yang menyebutkan bahwa penuntut umum adalah penuntut umum sebagaimana diatur dalam undang-undang. ”Jika ada keinginan untuk mengubah kewenangan penuntutan, hal tersebut seyogianya diubah dalam undang-undang yang mengatur instansi yang terkait,” kata Andi.

Di tempat terpisah, Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan mendukung keberadaan pengadilan antikorupsi di tiap kota. ”Itulah yang saya dukung. Tak masalah,” ujarnya. Perihal penuntutan, Hendarman juga menilai bukan masalah jika KPK juga ikut menuntut. Sebab, kata dia, dalam Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi disebutkan, penuntutan dilakukan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Dwi Riyanto Agustiar | Anton Septian

Sumber: Koran Tempo, 30 September 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan