Pengadaan TI KPU Terindikasi Korupsi

Dibandingkan harga pasar terdapat selisih sebesar 63 persen atau Rp36,5 miliar.

PENGADAAN logistik pemilu legislatif lalu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) diindikasikan terjadi korupsi. Anggaran pengadaan peralatan Teknologi Informasi (TI) sebesar Rp69,98 miliar diduga telah di-mark up. Dibandingkan harga pasar, terdapat selisih sebesar 63 persen atau Rp36,5 miliar.

Khusus dalam pengadaan Intelligent Character Recognition (ICR) diperkirakan terjadinya potensi pemborosan Rp8,88 miliar atau 38 persen dari pagu anggaran Rp23,18 miliar. Indikasi  tindak korupsi tersebut dilaporkan oleh Tim Independent Monitoring Organization (IMO) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa, 12/5.

"Berdasarkan penelusuran  aset dan logistik, pengadaan formulir C1 yang mestinya 80 gram, ternyata hanya memakai kertas 60 gram. Sedangkan peralatan ICR berupa scanner (pemindai) diindikasi diarahkan pada merek dan perusahaan tertentu tanpa tender, baik di pusat maupun di daerah," kata Arief Nur Alam, Direktur Eksekutif Indonesian Budget Center (IBC), salah satu LSM yang tergabung dalam IMO.

Dengan memakai kertas 60 gram dan pemindai yang kualitasnya belum teruji, berdampak pada tidak sinkronnya data-data angka yang dicatat petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan input yang diperoleh hasil pemindaian. "Contohnya, berdasarkan catatan KPPS, perolehan suara suatu partai politik 201 suara. Setelah dilakukan pemindaian, ternyata hanya terbaca 20 suara," kata Arief.

Akibatnya Tabulasi Nasional KPU cuma mampu menghitung 7,6 persen suara dalam 12 hari, jauh dari target awal yang direncanakan dapat menghitung 80 persen suara. Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesian Corruption Watch (ICW) Fahmi Badoh mengatakan mark up peralatan pemindai sangat terlihat.

"KPU melaporkan, ICRnya dibeli dengan harga Rp25 juta per unit. Padahal berdasarkan survei pasar hanya berharga Rp14,9 juta. Sehingga total kerugian nasional Rp8,88 miliar," kata Fahmi.

Sempitnya waktu proses pengadaan logistik TI KPU ddiuga menjadi alasan KPU melakukan penunjukkan langsung rekanan. Temuan di berbagai daerah, KPU pusat telah menunjuk satu merek dan spesifikasi pemindai tertentu untuk dipergunakan di KPUD-KPUD.

Padahal pemindai tersebut belum teruji secara teknis. "Hal ini dibuktikan dari pengakuan  Ketua Tim Ahli Teknologi Informasi KPU yang akhirnya mengundurkan diri," kata Fahmi. Roy Salam, peneliti dari IBC menilai, KPU telah melanggar Pasal 3 dan Pasal 13 Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kedua pasal tersebut memuat prinsip efisien, efektif, transparan, dan akuntabel dan ketentuan penerapan  Harga Perkiraan Sendiri (HPS). "Dalam hal ini, KPU telah  melakukan ketidakhati-hatian, tidak melakukan kajian risiko, dan tidak memerhatikan perundang-undangan yang berlaku," katanya.[by : Yanuar Jatnika]

Sumber: Jurnal Nasional, 13 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan