Pengadaan Barang Pilkada akan Dilakukan tanpa Tender

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nazaruddin Syamsuddin menegaskan pengadaan barang untuk keperluan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung akan dilakukan tanpa melalui tender, namun melalui penunjukan langsung karena keterbatasan waktu.

Tender perlu waktu 46 hari. Karena itu tidak mungkin dilakukan karena waktu pilkada sudah dekat. Kami minta tolong Kapolda dan Kejati memerhatikan hal ini, kata Nazaruddin kepada pers di Surabaya, kemarin.

Nazarudin mengemukakan hal itu ketika membuka rapat kerja daerah (rakerda) gubernur dan muspida dengan bupati dan wali kota dalam rangka sosialisasi UU Nomor 32/2004 dan PP Nomor 6/2005 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara Langsung.

Anggota KPU di daerah dipilih melalui seleksi yang ketat, karena itu saya percaya mereka tidak akan melakukan pelanggaran. Di Jakarta banyak sekali pengadaan barang yang tidak dilakukan melalui tender namun penunjukan langsung, katanya.

Nazaruddin mengatakan ada pengadaan barang yang semestinya diberikan kepada KPUD, namun karena waktunya yang sangat singkat sehingga tidak mungkin dilakukan dengan sistem tender karena tender itu memerlukan waktu yang sangat panjang.

Kalau waktu pilkada yang tinggal sisa tiga bulan kemudian dikurangi 45 hari, berarti tinggal satu setengah bulan persiapan-persiapan yang

dilakukan. Jadi, kalau dilakukan secara tender, nanti terjadi penundaan pilkada. Karena itu, kawan-kawan di KPUD terpaksa melakukan pengadaan barang dengan penunjukan, katanya.

Kendati dilakukan melalui penunjukan langsung, ujar Nazaruddin, namun ada rambu-rambu yang perlu diperhatikan dalam pengadaan barang, seperti mencari harga termurah dengan kualitas yang sama. Untuk mencegah terjadinya kolusi dalam penunjukan langsung, dia mengatakan kelak harga barang akan dicek, demikian pula kualitasnya. Namanya penunjukan langsung, siapa saja bisa ditunjuk, kalau terjadi KKN masyarakat juga akan tahu. Karena itu, kami minta polisi dan jaksa memerhatikan hal ini, kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Nazaruddin mengatakan pihaknya maupun KPUD menyayangkan rencana Depdagri membuat kartu pemilih baru untuk pilkada karena kartu pemilih Pemilu 2004 masih bisa digunakan.

Dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 disebutkan, pemerintah mau mencetak kartu pemilih baru. Kami menyayangkan hal itu karena kami sudah memrogramkan dalam Pemilu 2004 bahwa salah satu barang yang tidak habis sekali pakai adalah kartu pemilih, kata Nazaruddin.

Ia menambahkan, kartu pemilih, kotak suara, dan bilik suara bisa dipakai berkali-kali sampai sekian puluh tahun. Jadi, kalau mencetak kartu pemilih lagi, paling-paling itu hanya untuk pemilih baru atau untuk pemilih yang kartunya rusak atau hilang, sehingga perlu dibuatkan kartu pengganti. Jadi, bukan dibuat semuanya, katanya.

Nazaruddin mengatakan ada sekitar 150 juta pemilih di seluruh Indonesia. Kalau nanti dibuat kartu pemilih baru, ada berapa miliar uang rakyat yang terhamburkan, katanya.

Ketika ditanya kemungkinan pilkada berlangsung dalam dua putaran, Nazaruddin mengatakan itu tergantung jumlah calon. Karena, ada daerah yang memiliki calon lebih dari sepuluh orang atau bahkan lebih. Kalau jumlah suara belum memenuhi 25 persen sesuai undang-undang, maka harus diulang, katanya.

Mundur
Pada bagian lain, Ketua Umum Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri) Progo Nurdjaman mengatakan pegawai negeri sipil (PNS) yang mencalonkan diri dalam pilkada langsung harus mengundurkan diri. PNS termasuk Polri juga dilarang menjadi tim sukses atau dilibatkan dalam kampanye pilkada.

Progo mengungkapkan hal itu kepada wartawan di Kantor Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (Menpan) Jakarta, kemarin.

Dalam UU No 32/2004 dan juga yang diatur dalam peraturan pemerintah No 6 Tahun 2005, di situ jelas dinyatakan bahwa PNS dilarang terlibat dalam pilkada dan harus mundur dari jabatan jika maju sebagai calon pilkada, kata Progo yang juga Dirjen Otonomi Daerah Depdagri.

Sanksi bagi PNS yang melanggar, kata Progo, sudah jelas aturan mainnya. Sementara, jika PNS yang mencalonkan diri dalam pilkada tidak terpilih, maka dia tidak berhak lagi atas jabatan semula yang ditinggalkan.

Mereka yang telah mengundurkan diri kemudian tidak terpilih, maka tidak bisa meminta jabatannya lagi. Namun, status PNS-nya tetap, kata Progo. Saat kampanye pilkada, jelas Progo, PNS yang bersangkutan harus cuti. Cutinya harus diketahui dan disetujui atasannya. Hal tersebut untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. (Faw/FL/Ant/P-5)

Sumber: Media Indonesia, 3 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan