Pengacara Anggoro Beber Dua Peminta Rp 5,1 M
Serangan terhadap integritas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum berhenti. Kemarin Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo buka suara soal aliran dana suap dalam penanganan kasus dugaan korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) yang merugikan negara Rp 180 miliar.
Pengacara Anggoro, Bonaran Situmeang, menuturkan bahwa aliran suap itu bermula dari penggeledahan ke kantor PT Masaro pada Juni tahun lalu. Kala itu, tutur dia, Anggoro takut. Bahkan, saat penggeledahan itu, juga berkembang informasi bahwa Anggoro bakal diringkus hari itu.
Nah, saat itulah muncul dua orang bernama Ary Muladi dan Edy Soemarsono yang mengaku sebagai utusan KPK. Kepada Anggoro, Ary dan Edy mengatakan, persoalan bakal rampung kalau dia menyetorkan sejumlah dana kepada pimpinan KPK.
Bos PT Masaro itu kemudian menyerahkan Rp 5,1 miliar kepada dua orang tersebut. ''Bukti dan uraian penyerahan dana tersebut telah kami serahkan kepada polisi,'' ujar Bonaran kemarin (10/8).
Penyerahan dana itu pula yang ditulis dalam testimoni Antasari kepada polisi. Antasari menyatakan pernah bertemu Ary di sebuah hotel di Malang. Menurut Antasari, uang tersebut telah diserahkan kepada pimpinan KPK. Beberapa nama disebut. Di antaranya, Wakil Ketua KPK M. Jasin, Deputi Penindakan Ade Rahardja, dan sejumlah penyidik KPK.
Setelah penyerahan dana itu, Agustus tahun lalu KPK mencekal Anggoro. Selain itu, penyidik KPK mencekal tiga direktur lain PT Masaro. Yakni, Anggono Widjojo, David Angka Widjaya, dan Putranefo.
Bonaran mengungkapkan, pemberian uang itu menguntungkan Anggoro. ''Ternyata benar, setelah penyerahan dana, persoalan PT Masaro mereda,'' ungkapnya. Menurut dia, selama Oktober 2008 hingga Juni 2009, Anggoro tidak pernah dipanggil KPK sebagai saksi ketika penyelidikan berlangsung.
Tetapi, pernyataan itu dibantah keras oleh pimpinan KPK. Mereka menegaskan, penyelidikan kasus jalan terus. Dalam aturan dan tradisi penyelidikan KPK, sebelum memanggil tersangka, penyidik biasanya memeriksa saksi-saksi terlebih dulu. Setelah bukti terkumpul, barulah penyidik menetapkan tersangka.
Bahkan, pada Oktober 2008, Juru Bicara KPK Johan Budi S.P. kerap mengingatkan soal bergulirnya kasus SKRT. Dia mengibaratkan kasus SKRT seperti pohon kasus. ''Kasus ini banyak cabangnya. Kami selidiki semua,'' tutur Johan saat itu.
Sembilan bulan kemudian, Ary kembali menemui Anggoro. Saat itu, dia menyerahkan surat pencabutan pencekalan dirinya dengan mengatasnamakan KPK. ''Janjinya, pencabutan pencekalan dilakukan KPK sepuluh hari setelah surat tersebut keluar,'' terang Bonaran.
Tetapi, belakangan KPK menyebut bahwa surat cekal tersebut palsu. ''Kepalsuan surat ini perlu dipertanyakan. Saya menduga ada dua tanda tangan yang dikeluarkan oleh Chandra (Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah). Kalau kop surat (gambar Garuda harus di tengah), buktinya penetapan Anggoro sebagai tersangka, kop surat juga di pinggir seperti surat ini,'' jelas Bonaran.
Nah, saat itulah muncul pengakuan Antasari yang menyebut bahwa para pimpinan KPK telah menerima suap dari Anggoro. Pengakuan tersebut selanjutnya membuat hubungan KPK dengan polisi memanas.
Terkait hal tersebut, Anggoro kemarin melaporkan Ary dan Edy ke Mabes Polri. ''Laporan itu sudah diterima polisi,'' ungkap Bonaran.
Selain melapor ke polisi, kata Bonaran, pihaknya juga mengirimkan surat ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). ''Anggoro mau balik ke Indonesia setelah ada jaminan perlindungan dari lembaga itu,'' ucapnya.
Bonaran menambahkan, Anggoro saat ini berada di sebuah negara. Minggu malam lalu (9/8), Bonaran mengaku mengontak Anggoro. ''Dia beberapa saat ngomong dengan saya,'' katanya. Tapi, Bonaran mengaku tidak tahu di negara mana Anggoro saat ini tinggal.
Dia menerangkan, selama ini Anggoro memang terbiasa hidup di luar negeri. Sejak dicekal, dia tidak pernah kembali lagi ke Indonesia.
Juni lalu, Bonaran menerima surat kuasa dari Anggoro melalui keluarganya. ''Dia menunjuk saya sebagai pengacara,'' jelasnya. Keluarga mengetahui keberadaan Anggoro saat ini.
Saat dikonfirmasi, Sekjen KPK Bambang Sapto Pratomo Sunu mengatakan, tidak ada pegawai bernama Ary Muladi dan Edy Soemarsono. ''Kami telah mengecek ke semua lini pekerjaan. Tidak ada dua nama itu sebagai pegawai KPK,'' katanya. (git/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 11 Agustus 2009