Penertiban Bisnis TNI; Upaya Hapus Tentara Nyambi

Prajurit Satu Badu (bukan nama sebenarnya) belum terlalu pusing soal pendapatannya. Maklum, walau hanya prajurit Tentara Nasional Indonesia berpangkat rendah, dia masih bujang sehingga tidak pusing soal belanja rumah tangga seperti rekannya yang sudah berkeluarga.

Sejak hampir empat tahun bertugas di kesatuannya, ribuan kilometer dari tanah kelahirannya, Badu merasa hidup cukup. Ia malah bisa menyisihkan uang untuk orangtua di kampung halaman. Dengan pendapatan Rp 600.000-an per bulan, Badu mengaku senang. Tambah lagi dia tidak perlu keluar uang untuk menyewa tempat tinggal karena dia tinggal di asrama prajurit.

Walau gajinya cukup, Badu serta rekan-rekan lain sesama tamtama punya penghasilan tambahan, dengan bekerja sebagai tenaga pengamanan di sejumlah perusahaan, tempat hiburan, atau perkebunan, yang memang banyak di sana.

Pendapatan dari pekerjaan ekstra itu lumayan. Dari aktivitas nge-pam, istilah Badu untuk kerja sambilannya, dia bisa mengantongi Rp 700.000 per bulan. Tidak semuanya masuk ke kantong Badu karena sekitar Rp 200.000 untuk setoran kepada sang komandan.

Sang komandan berperan mengoordinasi dia dan rekan lain sesama anak buah. Biasanya order datang rutin. Badu dan teman-temannya bisa berpindah lokasi kerja dalam sebulan. Soal pengaturan jadwal di markas atau penugasan lain dengan jadwal nge-pam, itu tugas komandan. Pokoknya kami dapat giliran secara adil, ujar Badu.

Fenomena nge-pam yang dikerjakan Badu hanya satu contoh dari bentuk aktivitas bisnis tidak resmi yang dilakukan personel TNI sekadar mencari tambahan penghasilan. Besaran penghasilan ekstra itu sangat bervariasi, biasanya bergantung pangkat atau jabatan. Untuk yang berpangkat rendah, tambahan itu bisa untuk menambah belanja sehari-hari. Untuk yang berpangkat tinggi, penghasilan tambahan bahkan bisa untuk membeli rumah atau kendaraan mewah miliaran rupiah.

Apa itu bisnis TNI

Walau begitu, fenomena prajurit TNI nyambi itu sering kali dianggap sebagai sesuatu hal yang ada dan tiada. Masyarakat bisa melihat dengan kasatmata. Namun, pemerintah maupun TNI sering menyangkal dan berjanji menindak tegas jika terbukti ada prajurit nyambi.

Kalaupun ada sedikit pengakuan, penyimpangan fungsi pertahanan negara tadi masih dijadikan polemik, terutama jika dikaitkan dengan bisnis yang diharamkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Tim Supervisi Transformasi Bisnis (TSTB) TNI, tim antardepartemen yang dibentuk pemerintah dan ditugasi menertibkan praktik bisnis di kalangan militer, juga membatasi kategorinya menjadi sekadar unit-unit usaha dengan aset negara di dalamnya. Di luar kategori itu, bisnis lainnya tak masuk hitungan sehingga tak wajib dihilangkan.

Dari konteks tadi lalu muncul kerancuan di dalam UU TNI sendiri. Pasal 39 UU TNI menyebut gamblang bahwa prajurit TNI dilarang terlibat bisnis. Pasal 49 mengatur kewajiban negara memenuhi hak prajurit TNI memperoleh penghasilan layak dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini pun sulit dipenuhi. Dari permintaan Rp 56,9 triliun untuk APBN 2006, misalnya, yang dikabulkan hanya Rp 28,2 triliun.

Pasal 76 memuat aturan tentang kewajiban pemerintah menertibkan sekaligus menghapus praktik bisnis TNI. Namun, tak ada definisi yang jelas, apa itu yang disebut bisnis TNI. Pasal 76 hanya menyebut, pemerintah harus mengambil alih semua aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola TNI dalam waktu tidak lebih dari lima tahun setelah UU TNI disahkan. Panglima TNI saat itu, Endriartono Sutarto, malah menjanjikan proses itu selesai dua tahun.

Ketidakjelasan aturan itu berdampak terhadap kemampuan pemerintah mengakselerasi pemenuhan kewajibannya menghapus bisnis TNI. Kondisi itu diakui pemerintah lewat Ketua TSTB Said Didu, yang membenarkan ketidakjelasan definisi bisnis militer/TNI tadi.

Pemerintah sendiri sering melontarkan pertanyaan, yang justru menguatkan keraguan itu. Apakah koperasi dan yayasan di lingkungan TNI, yang berkontribusi pada kesejahteraan prajurit, masuk kategori bisnis yang harus ditertibkan? Apakah jika seorang istri prajurit membuka warung rokok juga masuk kategori bisnis? Bagaimana pula koperasi di satu kesatuan yang membuat bisnis fotokopi dengan modal iuran anggota? Masih ada wilayah abu-abu yang harus dipertegas dulu, ujar Said.

Sementara itu, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM), seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) atau Human Rights Watch (HRW), mengategorikan semua kegiatan mencari untung di luar fungsi TNI sebagai alat pertahanan sebagai bisnis militer.

HRW mengategorikan praktik-praktik bisnis kaum loreng itu dalam empat anatomi: bisnis yang dimiliki militer, bisnis hasil kolaborasi militer dengan swasta, keterlibatan militer dalam aktivitas kriminal, dan korupsi.

ICW dalam hasil penelitiannya, mengutip klasifikasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), memasukkan praktik itu ke dalam tiga kategori: bisnis formal (institusional), informal (non-institusional), dan criminal economy.

Secara gampang, bisnis formal melibatkan TNI sebagai institusi berbentuk yayasan atau koperasi, tetapi struktur pengurusnya mengikuti struktur komando. Ini bisa dilihat di markas besar sampai di daerah.

Kategori lain, bisnis informal, biasanya tak melibatkan TNI sebagai institusi, tetapi melibatkan pensiunan TNI maupun anggota yang tidak aktif lagi, misalnya dengan dikaryakan ke perusahaan swasta atau BUMN.

Kategori ketiga, criminal economy, biasanya terkait praktik-praktik ilegal, seperti kegiatan penyedia jasa pengamanan (nge-pam), praktik perbekingan, pembalakan liar, yang biasanya tumbuh subur di wilayah rawan konflik. Dengan kategori itulah, LSM menyebut bisnis TNI sangat banyak dan menggurita.

Namun, hal itu dibantah Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR minggu lalu. Juwono membantah tuduhan bisnis yang dilakukan tentara masih kuat dan bahkan menggurita. Apa yang mereka (LSM) sebut bisnis TNI itu sekarang hanya tersisa 6-7 perusahaan saja. Tidak ada lagi gurita bisnis TNI seperti kurun

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan