Penerimaan Siswa Baru 2007 Diskriminatif

Tahun ajaran baru adalah saat paling membahagiakan bagi anak sekolah di Indonesia. Mereka memasuki masa dimana ia merasakan suasana sekolah baru di jenjang di atasnya. Namun bayangan indah itu bisa jadi tak semua anak sekolah merasakannya. Sekolah kini telah menjadi ajang mencari keuntungan oleh banyak pihak.

UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 telah dengan jelas menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan pelayanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Namun hasil monitoring di lapangan berkata lain.

Posko pengaduan yang dibuat bersama oleh Auditan, ICW, YLKI, Seknas FITRA, Suara Ibu Peduli, Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marjinal, serta beberapa lembaga di 10 titik di Tangerang, Garut, Makassar, Banjarmasin, Lombok Tengah, Buton, Mando, Sumba, Medan, Brebes, Padang, Bogor, dan Sukabumi menemukan banyaknya diskriminasi terhadap anak-anak yang masuk sekolah ke jenjang berikutnya.

Dalam pemaparan hasil monitoring di kantor ICW Selasa 19 Juni 2007 umumnya sekolah-sekolah mempersulit masuknya calon siswa di dalam proses pendaftaran siswa baru. Misalnya syarat administrasi yang dipersulit dengan dikatakan tidak sah. Akta lahir yang dibawa siswa atau orang tua pendaftar dianggap tidak sah karena tanggal pembuatannya tidak sama dengan tanggal lahir siswa yang bersangkutan. Juga ada sekolah yang cara pendaftarannya online, sementara tidak semua anak dapat mengakses pendaftaran sekolah tersebut.

Ade Irawan dari ICW mengingatkan bahwa selain temuan di lapangan tersebut, penerimaan siswa baru rawan penyimpangan. Sinyalemen ini diperkuat dari survey ICW yang mengatakan bahwa banyak sekali orang tua yang mengakui ada pungutan di SD. Ada tiga titik yang rawan penyimpangan. Yakni sebelum penerimaan (proses seleksi), setelah siswa diterima, dan setelah kegiatan belajar mengajar sudah berlangung kira-kira 2 bulan.

Masalah-masalah yang muncul dalam proses penerimaan siswa baru tahunan ini dikarenakan tiadanya aturan dari depdiknas, terjadinya tumpang tindih aturan, sosialisasi PSB yang buruk, dan posisi orang tua murid yang lemah ketika berhadapan dengan sekolah barunya.

Terhadap semua temuan dan survey ini, maka akan dilakukan pertemuan pelapor dengan DPR/D, depdiknas, dan dinas pendidikan. Kemudian ada pelaporan sekolah dan melakukan gugatan pada pembuat kebijakan.

Dalam rekomendasinya gabungan lembaga monitoring ini meminta pemerintah pusat memastikan setiap warga tidak dihambat dalam mengakses pelayanan pendidikan dengan cara menerbitkan aturan PSB. Meminta pemerintah pusat dan daerah membuka complain center, memberikan sanksi yang tegas kepada sekolah atau dinas pendidikan yang melakukan penyimpangan dalam proses PSB. Serta menghilangkan perlakuan diskriminatif dalam proses PSB baik kepada sekolah maupun calon murid baru. (Abid)
--------
bahan presentasi dalam format pdf.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan