Penerima Uang Korupsi Jangan Cuma Jadi Saksi
Para penerima uang korupsi, baik dalam kasus aliran dana Bank Indonesia maupun dana APBD, jangan cuma menjadi saksi dalam perkara korupsi. Para penerima uang korupsi itu seharusnya juga menjadi tersangka karena mereka merupakan pihak yang turut serta (medepleger) tindak pidana korupsi.
Hal itu disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Rudy Satryo Mukantardjo, dalam acara diskusi panel yang diselenggarakan Lembaga Advokasi Kepala Daerah Seluruh Indonesia dengan tema ”Pemberantasan Korupsi dan Percepatan Pembangunan di Daerah Sebuah Dilema dalam Perspektif Penegakan Hukum” di Jakarta, Senin (4/8).
Menurut Rudy, hal yang menjadi kurang lengkap dalam upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi maupun kejaksaan adalah para penerima uang selama ini hanya dijadikan saksi.
Padahal, lanjutnya, para penerima uang ini justru kadang yang memicu munculnya praktik korupsi, seperti mereka mengajukan proposal permohonan dana.
”Ini tidak menjadi perhatian yang baik dari penegak hukum. Seharusnya pihak yang menerima uang, terlebih kalau mereka yang meminta dana, harus diminta pertanggungjawabannya, tidak semata-mata dihadirkan sebagai saksi di pengadilan saja. Pihak yang meminta ini adalah pihak yang turut serta melakukan tindak pidana. Mereka memiliki peranan,” kata Rudy.
Rudy malah mengatakan, pihak-pihak yang menerima uang ini, apalagi jika mereka mengajukan proposal, merupakan biang kerok penyalahgunaan uang negara, baik uang di pemerintah pusat maupun dana APBD.
”Mereka biang-biang kerok penyalahgunaan uang negara. Sebab, kepala daerah khawatir, kalau permintaan mereka tidak dipenuhi, kepala daerah akan diganggu kerjanya,” ujar Rudy.
Pengadaan barang
Ketua Board of Trustee Kongres Advokat Indonesia Teguh Samudera mengatakan, untuk menghindari terjadi kasus hukum dalam pengadaan barang dan jasa di daerah, para kepala daerah ataupun pimpinan unit sebaiknya mengajak aparat penegak hukum untuk terlibat dalam proses pengadaan barang dan jasa. ”Pimpinan daerah dan pimpro selalu mendalami dan membuat check list apa saja unsur-unsur tindak pidana korupsi,” kata Teguh.
Sedangkan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Suwardi mengatakan, apabila seorang pejabat publik dalam membuat keputusan secara fretes ermessen (diskresi), ada kemungkinan bisa melanggar produk-produk hukum yang ada.
Namun, kata Suwardi, para hakim mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut, yaitu bilamana dapat dibuktikan bahwa dalam proses pembuatan keputusan tersebut terdapat unsur pengutamaan penyelenggaraan kepentingan publik dan negara tidak dirugikan, maka dia dapat dibebaskan.(VIN)
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2008