Penerbitan SP3 Kasus KBRI Thailand Bisa Rusak Kepercayaan Masyarakat
Ganggu Program 100 Hari Pidsus Kejaksaan
Tiga belas kasus korupsi yang menjadi prioritas bidang pidana khusus (pidsus) kejaksaan dalam program 100 hari telah diselesaikan. Namun, kalangan penggiat antikorupsi menilai hal itu terganggu rencana penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus dugaan korupsi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Bangkok, Thailand.
"Virus SP3 ternyata masih ada di dalam tubuh kejaksaan," kritik peneliti hukum ICW Febri Diansyah kepada koran ini kemarin (23/1). Diprediksi, rencana penghentian kasus KBRI Thailand bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap korps Adhyaksa itu.
Febri mengungkapkan, kebijakan menerbitkan SP3 dimungkinkan karena tidak cukupnya alat bukti. "Kalau tidak cukup alat bukti, kenapa dulu naik ke tahap penyidikan? Kan itu butuh minimal dua alat bukti (untuk naik penyidikan)," terangnya.
Sebelumnya, JAM Pidsus Marwan Effendy mengungkapkan 13 kasus korupsi prioritas yang diselesaikan dalam program 100 hari. Selain kasus KBRI Thailand, kasus yang menonjol adalah dugaan korupsi Bank Century dengan tersangka Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Rizvi. Kasus lain adalah kasus-kasus di daerah yang ditangani Kejati DKI Jakarta, Jateng, dan Jatim.
ICW mempertanyakan alasan rencana penghentian kasus KBRI Thailand. Jika yang menjadi alasan adalah telah dikembalikannya kerugian negara, UU Pemberantasan Tipikor justru mengatur sebaliknya. Menurut pasal 4 undang-undang tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.
Kemudian, jika memakai alasan uang digunakan untuk kepentingan umum, hasil investigasi ICW plus dokumen yang dimiliki menyebutkan, penggunaan dana yang diduga diselewengkan adalah untuk kepentingan pribadi duta besar. Itu juga sesuai dengan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Kalau kejaksaan tidak mampu menyelesaikan, serahkan saja kasusnya ke KPK," tegas Febri.
Ditengarai, rencana penghentian kasus tersebut disebabkan adanya intervensi politik. Itu ditunjukkan ketika kejaksaan mengarahkan perkara ke persoalan administrasi saja. "KPK harus melakukan supervisi atas kasus itu," katanya.
Namun, dugaan adanya intervensi tersebut sudah dibantah JAM Pidsus Marwan Effendy Jumat lalu (22/1). "Tidak ada. Siapa yang mengintervensi jaksa," tegas Marwan. Kala itu, mantan Kajati Jatim tersebut mengungkapkan adanya usul penghentian kasus KBRI Thailand.
Sebagaimana diketahui, dalam kasus itu, sudah ditetapkan tiga tersangka. Mereka adalah Dubes RI untuk Thailand Muhammad Hatta, Wakil Dubes Djumantoro Purbo, dan Bendahara KBRI Suhaeni. Audit BPKP juga menemukan adanya kerugian negara Rp 2,49 miliar. Temuan tersebut berasal dari penggunaan dana DIPA tahun anggaran 2008 sebesar USD 2.485 dan THB 5,24 juta. Selain itu, dari sisa penyelenggaraan KTT Ke-14 ASEAN di Hua Hin dan KTT ASEAN di Pattaya sebesar THB 921,1 ribu. (fal/iro)
Sumber: Jawa Pos, 24 januari 2010