Penegakan Hukum Pasca Program Seratus Hari Pemerintah SBY

Program seratus hari pemerintahan SBY, telah berlalu. Berbagai aksi, reaksi dalam berbagai bentuk bermunculan. Istana banyak menuai kritik, demo dari berbagai elemen masyarakat, LSM dan mahasiswa. Para mantan kandidat presiden juga angkat bicara. Muara dari semua aksi adalah ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam hal ini aparat penegak hukum. Apakah pemerintahan SBY gagal khususnya dalam penegakan hukum?

Presiden SBY mengaku tidak puas dengan kinerja aparat penegak hukum selama seratus hari pertama pemerintahannya khususnya dalam pelaksanaan program pemberantasan tindak pidana korupsi. Padahal sejauh ini berbagai langkah politik dan hukum oleh pemerintah telah diambil untuk menyukseskan salah satu misi utama Kabinet Indonesia Bersatu. Presiden belum puas karena kasusnya demikian banyak, dan baru beberapa kasus saja yang ditangani. Dalam kondisi yang masih prihatin ini, presiden minta agar lebih dipacu lagi, sehingga mencapai sasaran seperti yang diinginkan (KR, 28 Januari 2005).

Penegakan hukum tidak bisa semata-mata hanya diukur dengan dimensi waktu seratus hari, atau melihat kuantitas jumlah perkara yang dapat ditangani. Kalau penegakan hukum hanya mendasarkan pada jumlah kuantitas perkara yang masuk akan banyak berdampak negatif bagi proses penegakan hukum itu sendiri, sehingga dikhawatirkan tujuan penegakan hukum itu sendiri tidak tercapai. Juga penegakan hukum tidak dapat dinilai dari program-program yang dikemukakan oleh petinggi-petinggi hukum kita saja, tanpa menguji konsistensi program penegakan hukum dengan pelaksanaan hukum di lapangan. Kalau demikian persoalannya, bagaimanakah agar program para petinggi hukum kita mulai Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Kehakiman dan HAM, Mahkamah Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dapat betul-betul dilaksanakan dengan tekad mewujudkan tegaknya hukum?

Seharusnya para petinggi hukum kita menyadari bahwa program-program penegakan hukum yang telah dicanangkan tidak serta merta langsung dapat dimengerti, dipahami dan dihayati atau dijiwai dan dapat dilaksanakan aparat birokrasi penegak hukum yang ada di bawahnya. Ibaratnya program yang akan dibuat para petinggi hukum kita akan diletakkan dalam pondasi atau struktur birokrasi aparat penegakan hukum di bawahnya. Kalau fondasi birokrasi aparat penegak hukum, yang secara de fakto mereka yang akan melaksanakan hukum masih berpola pikir lama dan kental dengan pola-pola KKN, dikhawatirkan program-program petinggi hukum kita yang reformis, akan menjadi mentah dengan pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum kita yang masih belum berjiwa reformis. Sebagai misal Jaksa Agung merasa dipermalukan anak buahnya karena menyebarkan disposisi lelang gula ilegal yang merupakan barang bukti kasus Nurdih Halid.

Dengan demikian diperlukan restrukturisasi birokrasi, pemahaman terhadap program penegakan hukum secara lebih mendalam, dihidupkan komunikasi yang dinamis, dibentuk tim yang bertugas melakukan sosialisasi dan monitoring internal terhadap program penegakan hukum, diagendakan laporan bulanan terhadap kemajuan penegakan hukum tidak hanya kepada presiden tetapi diinformasikan secara langsung kepada masyarakat, dengan demikian masyarakat dapat menilai dan mengritisi kinerja aparat penegak hukum dan dapat memberikan umpan balik berupa masukan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Dengan pola yang dikembangkan ini akan kelihatan para pejabat penegak hukum yang tidak mampu bekerja dan dengan demikian mereka harus siap diganti.

Restrukturisasi birokrasi meliputi juga penyederhanaan dan menumbuhkembangkan kemandirian para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya. Pola lama untuk selalu tergantung pada pimpinan dan petunjuk pimpinan sudah mulai perlu ditata ulang dengan menumbuhkan sikap yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan penegakan hukum dengan dikembangkan sistem reward and punishment. Reward diberikan baik untuk kariel maupun promosi juga perlu dipikirkan memberikan fee berapa persen bagi penegak hukum yang berhasil menangani kasus korupsi, hal ini untuk menghindarkan mereka dari godaan suap dari kasus yang ditangani. Punishment diberikan kepada mereka yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana diatur undang-undang. Wujudnya bisa penurunan pangkat, mutasi maupun pemecatan. Kemandirian aparat penegak hukum lebih dikembangkan, sehingga dalam membuat surat dakwaan maupun rencana tuntutan yang selama ini harus selalu dikonsultasikan oleh piminan perlu dikaji ulang kemanfaatannya, karena akan berpengaruh terhadap pelaksanaan tugasnya, akan menimbulkan sikap ketergantungan dan tidak ada kemandirian, serta menimbulkan citra negatif di masyarakat.

Pembenahan internal birokrasi dan aparat penegak hukum perlu lebih ditekankan dan ditingkatkan karena pada level inilah wujud penegakan hukum akan tampak. Apakah wujud penegakan hukumnya betul-betul berintikan keadilan, atau otoriter. Biar bagaimanapun baiknya suatu undang-undang, namun kalau pelaksanaannya tidak baik, penegakan hukumnya tidak baik juga. Demikian sebaliknya.

Belajar pada suatu pengalaman bahwa penanganan korupsi tidak pernah tuntas, dan juga tidak bisa dengan hanya mengandalkan Instruksi Presiden penegakan hukum pasca seratus hari pemerintahan SBY tiap-tiap petinggi hukum beserta jajaran departemennya perlu membuat Rencana Kinerja Anggaran Kementerian dan Lembaga dan diwujudkan dalam rencana kerja (bahwa pemberantasan korupsi perlu didukung oleh anggaran dan dimasukkan dalam program kegiatan yang nyata dalam setiap instansi penegak hukum dalam tahun 2005.

Bagaimana penanganan korupsi dari penyidik baik penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa berjalan secara maksimal apabila tidak didukung sarana dan prasarana serta anggaran yang cukup? Sebagai misal, untuk penanganan kasus berat termasuk korupsi, biaya penyidikan di Kepolisian Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Sedangkan untuk menangani kasus berat anggarannya harus fleksibel dan berdasarkan penelitian alokasi anggaran minimal untuk penyidikan, sebesar Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). (IGM Nurdjana, Korupsi dalam Praktik Bisnis, 2004).

Program konkret penegakan hukum korupsi ini meliputi perbuatan pencegahan dan penindakan akan memberikan kemampuan yang cukup bagi penegak hukum dari segi risiko politik dan ekonomi seperti dilakukan penegak hukum anti korupsi di Singapura dan Hongkong yang berhasil memberantas korupsi. Politic risk merupakan sarana prasarana dan dukungan anggaran untuk bertugas supaya citranya baik dan berhasil dan tidak terlibat korup terhadap kasus yang ditangani. Economy risk, merupakan sistem kesejahteraan bagi penegak hukum, sehingga mereka dapat fokus dalam pelaksanaan tugas dan tidak terlibat korupsi terhadap kasus yang ditanganinya. Tanpa dukungan politic risk dan economy risk yang nyata, penegakan hukum akan sulit dilaksanakan secara optimal. Seperti penanganan kasus korupsi berat yang melibatkan tersangka Andrian Woworuntu, Edy Tanzil, Sujono Timan, menjadi tersendat karena disinyalir petugas yang menangani terlibat korupsi. Serta putusan pengadilan gampang dipengaruhi oleh mafia koruptor sehingga putusannya bisa bebas, atau dihukum ringan daripada penjatuhan pidana berat.

Mendasarkan pada pemikiran itu, dalam rangka penegakan hukum ke depan perlu program aksi yang jelas, pembenahan internal instansi, restrukturisasi birokrasi, sosialisasi dan monitoring program, diperbaikinya risiko politik ekonomi serta integritas moral penegak hukum. Selama ini polisi, jaksa, hakim bekerja secara parsial tidak ada integritas penanganan korupsi, padahal korupsi sebagai extra ordinary crime. Seharusnya polisi, jaksa, hakim, KPK membawa satu visi dan misi untuk memberantas korupsi.

Sebagai misal, polisi menangani kasus korupsi. Jaksa membantu secara teknis dan analisis yuridis tanpa perlu berkas perkara korupsi bolak balik. KPK membantu polisi membuka akses rekening bank koruptor dan hakim tanpa mengurangi kebebasannya lebih mengutamakan visi dan misi setiap kasus korupsi dihukum seberat-beratnya dan uang yang dikorup harus dikembalikan kepada negara. Proses integritas moral penegak hukum ini dapat dimulai melalui forum gelar perkara yang selama ini terjadi disintegrasi dalam penegakan hukum korupsi. Belajar dari pengalaman, serta tekad pemerintahan SBY memberantas korupsi yang sudah akut di bumi Indonesia ini dan dengan memperhatikan pola-pola penanganan korupsi dengan berbagai pendekatan tersebut, saya yakin korupsi dapat diberantas. Namun kita perlu kerja keras tanpa mengenal lelah.(Teguh Prasetyo SH MSi, Dekan FH Unisri Surakarta dan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UII)

Tulisan ini diambil dari Kedaulatan Rakyat, 24 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan