Penegakan Hukum Model Progress Reports

Tekad melaksanakan hukum secara murni dan konsekuen, telah dimulai sejak Negara Republik Indonesia merdeka, hanya corak dan bentuk penegakannya yang berbeda tergantung dari rezim pemerintahan yang berkuasa. Sejak Indonesia merdeka telah mengalami tiga kali rezim. Orde Baru lahir karena adanya reaksi dan koreksi terhadap praktik pemerintahan Orde Lama yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita kehidupan bangsa dan negara serta masyarakat.

Dalam perjalanannya setelah berkuasa lebih dari 30 tahun, pemerintahan Orde Baru dianggap otoriter, korupsi merajalela, KKN, demokrasi dikebiri, maka rezim tersebut digantikan dengan Orde Reformasi. Dalam orde ini diharapkan keinginan rakyat terhadap tegaknya hukum, demokrasi, dan hak-hak asasi manusia dapat diwujudkan. Hal yang menonjol dalam penegakan hukum Orde Baru adalah penegakan yang diskriminatif sehingga tidak mengungkap akar permasalahan sebenarnya.

Kasus-kasus pelanggaran berat seperti korupsi, penyelundupan, pembobolan bank, judi, penggusuran tanah tidak muncul ke permukaan, dan kalaupun muncul penegakan hukumnya tidak sampai pada auctor intelectual, hanya pelaku materialnya yang dijadikan korban. Kondisi ini tentu menyebabkan masyarakat kecewa dan frustasi kalau harus berurusan dengan hukum.

Keadaan inilah yang kadang menjadi salah satu faktor pemicu main hakim sendiri. Tidak mengherankan ketika reformasi bergulir, kebebasan mengutarakan pendapat dijamin, banyak kecaman-kecaman terhadap pelaksanaan hukum terdahulu dan mendambakan pelaksanaan penegakan hukum yang konsekuen dan tidak diskriminatif.

Persoalan yang timbul dari manakah kita mulai kalau banyak sekali praktik pelanggaran hukum yang terjadi. Dari korupsi saja dapat dibedakan korupsi klas kakap, klas teri, maupun klas louhan, siapa pelakunya? Belum lagi kasus-kasus perambahan hutan (illegal logging) yang merugikan keuangan dan perekonomian negara triliunan rupiah, pembobolan bank, penyelundupan, pelanggaran HAM berat dan masih banyak deretan pelanggaran hukum yang sangat panjang.

Dalam pemerintahan SBY, penegakan hukum sudah ada kemajuan, dan cukup responsif untuk merespons keinginan masyarakat dalam hal penegakan hukum. Banyak kasus muncul ke permukaan, kasus dugaan korupsi lama dan berskala kakap yang telah dihentikan (SP3) dibuka kembali setelah ada bukti baru. Auctor intelectual atau otak kejahatan sudah disentuh oleh hukum.

Pejabat-pejabat publik yang diduga terlibat korupsi diberikan izin diperiksa. SBY telah menandatangani 37 surat izin pemeriksaan bagi pejabat negara, terdiri atas 4 gubernur, 22 bupati, 3 walikota, 1 orang wakil bupati, serta 7 anggota DPRD (KR, 26 Februari 2005). Akibatnya deretan nama pejabat negara yang dulu hampir tidak tersentuh hukum, sekarang ditetapkan sebagai tersangka dan terdakwa, bahkan di antara mereka ada juga yang ditahan. Setelah dilaluinya program 100 hari, ternyata tindakan yang telah dilakukan pemerintah belum bisa mengobati rasa kecewa masyarakat terhadap kinerja dan pelaksanaan penegakan hukum. Penegakan hukum dianggap berjalan lambat bahkan berjalan di tempat.

Rasa kecewa diwujudkan bermacam-macam aksi mulai aksi akademis dengan menyelenggarakan seminar, diskusi, ceramah maupun aksi turun ke jalan dalam bentuk demo dan adakalanya massa melakukan pendudukan dengan menggelar kemah keprihatinan di halaman kantor kejaksaan. Kita akui bahwa partisipasi masyarakat dalam hal pemberantasan korupsi cukup besar, mereka melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat di daerah dan pusat, dan diakui juga bahwa pemerintah tanggap terhadap laporan-laporan dari masyarakat tersebut. Antisipasi kasus korupsi jikalau dilihat dari perangkat hukum telah disiapkan perangkat hukum yang dianggap paling efektif, UU Korupsi telah diubah sampai tiga kali, didirikan KPK dengan UU No 30 /2002, dikeluarkan Inpres No 5 /2004 tentang percepatan penanganan korupsi, berbagai instruksi dan surat edaran, Perpu dan lain sebagainya. Sudahkah semua perangkat hukum itu dapat memadai dalam arti menangani kasus korupsi dan mampu melakukan pencegahan terhadap perilaku korup dari pejabat negara?

Kenyataan membuktikan tidak banyak produk hukum yang dikeluarkan malahan menjadikan penegak hukum dan masyarakat menjadi bingung. Korupsi tidak bisa semata-mata diberantas dengan sederetan peraturan perundangan yang selalu bertambah seperti deret hitung, namun perbuatan korupsi bisa diberantas dengan efektif kalau kita dapat mengungkap akar permasalahannya serta adanya tekad di antara semua aparat penegak hukum yang mempunyai visi dan misi sama untuk memberantas korupsi, restrukturisasi birokrasi penegak hukum baik yang internal maupun eksternal, dengan didukung sistem sederhana, transparan, konsisten, dan tersedianya biaya perkara yang memadai. Solusi paradigmatik yang perlu diubah dalam hal penegakan hukum untuk memenuhi tuntutan reformasi adalah melakukan progress reports kepada masyarakat terhadap kasus-kasus korupsi yang ditangani.

Masyarakat diberi informasi secara berkala dan langsung terhadap perjalanan kasus korupsi yang telah dilaporkan. Sejak dilaporkan apa saja yang telah dilakukan oleh penyidik baik jaksa maupun Polisi, KPK, bagaimana proses penyelidikannya, penyidikannya, pemeriksaan barang-barang bukti, saksi-saksi, serta penentuan tersangka atau terdakwa. Progress reports dapat dilakukan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan. Periode waktu untuk melakukan progress reports dapat mengacu KUHAP. Sebagai misal, untuk masa penahanan di tingkat penyidikan adalah 20 hari, apabila belum selesai bisa diperpanjang oleh Jaksa Penuntut Umum 40 hari, jadi waktu yang digunakan dalam tingkat penyidikan adalah 60 hari atau dua bulan. Dalam periode waktu tersebut bisa dilakukan progress reports terhadap kemajuan penanganan kasus, dan karena sifatnya terbuka masyarakat diberi kesempatan untuk mengritisi maupun memberikan informasi-informasi terhadap penanganan kasus tersebut, barang-barang bukti, maupun saksi-saksi yang perlu diajukan lagi dalam mengungkap kasus korupsi.

Dengan cara seperti ini masyarakat dilibatkan secara aktif dalam sistem peradilan pidana, dan dengan cara ini dapat dihindari praktik KKN dalam penanganan perkara. Paradigma ini akan membukakan mata kita semua, bahwa masalah penegakan hukum tidaklah masalah yang mudah dan sederhana, dan juga tidak sesederhana seperti yang kita impikan. Masalah penegakan hukum tidak hanya tergantung penegak hukum, melainkan merupakan tanggung jawab kita semua. Hanya menyerahkan masalah penegakan hukum kepada aparat penegak hukum, kita akan frustasi karena tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan tuntas.

Kehati-hatian aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi yang dilaporkan kepadanya harus disikapi dengan hati-hati, karena dalam penanganan kasus tersebut tentunya yang dicari adalah bukti-bukti, saksi-saksi yang mempunyai nilai hukum, dan tersangka atau terdakwa harus dilindungi hak-haknya. Asas praduga tidak bersalah merupakan salah satu asas yang harus dijunjung tinggi. Adanya progress reports masyarakat yang tidak puas terhadap kinerja penegak hukum dapat melakukan dialog langsung dengan penyidik yang menangani perkara. Instansi penegak hukum yang dapat melakukan progress reports dapat dimulai dari tingkat penyidikan dari Polres, Polda sampai Mabes. Juga dapat dimulai dari tingkat penyidikan tingkat Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Agung, KPK pun dapat melakukan progress reports terhadap kasus yang ditanganinya tentunya sesuai dengan ruang lingkup tugas dan wewenangnya.

Meskipun masyarakat dilibatkan secara aktif dalam partisipasi penegakan hukum, bukan berarti kekuasaan instansi penegak hukum di bawah tekanan masyarakat. Instansi penegak hukum tetap mandiri. Peran masyarakat hanya sebagai informasi tambahan dan proses pembelajaran agar memperoleh pemahaman yang sebenar-benarnya terhadap proses penegakan hukum yang ternyata tidak gampang. Dengan dilibatkannya masyarakat dalam hal penegakan hukum diharapkan kesadaran hukum masyarakat bertambah dan petugas penegak hukum akan bekerja secara lebih optimal. (Teguh Prasetyo SH MSi, Dekan FH Unisri dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum UII)

Tulisan ini diambil dari Kedaulatan Rakyat, 14 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan