Penegakan Hukum Masih Belum Menjanjikan...

Hukum kini adalah pepohonan kering meranggas,
dahan-dahan tanpa daun, mengelupas, tanpa buah.
Taufan telah mengguncang-guncang batang dan akar-akarnya
Orang-orang yang berteduh di bawahnya
telah lari mencari bayang-bayang yang hilang....
(M Husseyn Umar, 2000)

M Husseyn Umar, Ketua Dewan Pengurus Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin dan konsultan hukum, memang menuliskan puisi berjudul ”The Law” itu tahun 2000. Namun, puisi yang terangkum dalam antologi berjudul Pro Justitia, Wajah Hukum dalam Puisi (2009) itu masih terasa pas untuk menggambarkan kondisi hukum dan penegakan hukum di negeri ini, saat ini maupun tahun depan. Penegakan hukum, terutama untuk kasus yang terkait politik dan kekuasaan, masih saja sulit diwujudkan. Meranggas, seperti tidak mudahnya menegakkan benang basah.

Jauh hari sebelum Husseyn   Umar menuliskan puisinya itu, advokat, yang kini menjadi Ketua Komisi III (Bidang Hukum) DPR, Benny K Harman, menulis catatan hukum berjudul ”Bisik-bisik tentang Lembaga Pengadilan Kita”, yang dimuat di harian ini (Kompas, 23 Oktober 1993). Ia menuliskan: ”Seorang advokat senior pernah bercerita. Dulu, ketika dia akan bersidang, dia berpikir keras mencari pasal-pasal yang bisa mematahkan dakwaan yang diajukan jaksa. Tapi sekarang, katanya, dia berpikir keras untuk mencari siapa orang yang tepat untuk diberi upeti, agar perkaranya bisa menang”.

Seperti puisi Husseyn Umar, tulisan Benny K Harman, yang juga dimuat dalam buku berjudul Gagal Membangun, Masalah Sospol dalam Pembangunan (MJ Kasiyanto, 1999), itu seperti tak lekang oleh waktu. Kondisi pengadilan, sebagai benteng terakhir dari penegakan hukum, masih tidak banyak berubah dibandingkan tahun 1993 atau 2000.

Mungkin sudah banyak yang dilakukan pemangku kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di negeri ini untuk memperbaiki kondisi hukum dan penegakan hukum nasional, termasuk dengan pencanangan reformasi birokrasi. Namun, cerita tentang bekas pegawai pajak Gayus HP Tambunan, misalnya, beserta dengan polisi, jaksa, hakim, dan advokat yang menangani perkaranya ketika disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang, membuat segala perbaikan yang telah dilakukan untuk mewujudkan penegakan hukum yang berpihak pada rasa keadilan menjadi porak poranda. Kepercayaan masyarakat kepada institusi penegak hukum di negeri ini tak juga terbangun, meninggi.

Hukum Tak Membeda-bedakan
Gerakan reformasi tahun 1998, yang berujung pada turunnya Soeharto dan kekuasaan Orde Baru, memang sempat memunculkan harapan akan terwujudnya kondisi yang lebih baik di negeri ini, termasuk dalam hal penegakan hukum. Penegak hukum menjadi lebih mendengar hati nuraninya sehingga tidak ada lagi advokat, jaksa, polisi, hakim, atau penyelenggara negara yang digelandang ke pengadilan karena melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Apalagi, MPR sebagai pemegang mandat rakyat, kala itu, sudah mengeluarkan Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.

Namun, harapan itu tinggal harapan. Meskipun penyelenggara negara silih berganti muncul sejak Soeharto lengser, hukum masih menjadi persoalan yang belum tersentuh menjadi lebih baik di negeri ini. Terlebih tahun 2010, berbagai perkara hukum bernuansa KKN bermunculan, terutama terkait kasus Gayus Tambunan. Kasus dugaan mafia hukum dan mafia perpajakan yang melibatkan bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak bergolongan IIIA ini, seperti diungkapkan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji, menyeret banyak penegak hukum lain ke meja hijau.

Bukan hanya banyaknya polisi, jaksa, hakim, advokat, dan pegawai pajak lain yang terseret kasus Gayus, yang membuat publik terperangah. Cerita Gayus, yang pernah keluar dari Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok, tempatnya selama ini ditahan, bahkan berjalan-jalan di Bali, membuat publik semakin shock. Apalagi, ia mengakui pernah puluhan kali keluar dari rumah tahanan itu untuk berbagai keperluan.

Nasib Gayus terasa kontras dengan perlakuan yang dialami tahanan atau narapidana lain di penjara. Bahkan, terpidana perkara korupsi dalam pengadaan mobil pemadam kebakaran di sejumlah daerah, pengusaha Hengky Samuel Daud, meninggal karena sakit. Ia diduga terlambat dibawa ke rumah sakit karena tidak mudah meminta izin keluar dari lembaga pemasyarakatan, dengan berbagai alasan. Masih banyak lagi kisah mereka yang terpaksa tinggal di penjara, dan tak bisa menikmati ”kemewahan” seperti yang dirasakan Gayus.

Padahal, jelas konstitusi menyatakan, setiap orang sama di muka hukum. Asas hukum universal pun mengakuinya. Lex non distinguitur nos non distinguere debemus (hukum itu tak membeda-bedakan, karena itu kita tidak boleh membeda-bedakan). Namun, kenyataan memang terkadang tidak sama dengan harapan. Bahkan, ketika muncul penilaian Polri gagal menangani kasus Gayus, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menggunakan kewenangannya untuk mengambil alih penanganan kasus itu, harapan ini pun tak terwujud.

Sampai dengan akhir tahun 2010, berbagai kasus yang terkait dengan Gayus tampaknya masih akan menghiasi gelapnya langit hukum di negeri ini. Penanganan perkara itu akan terus berlanjut sampai tahun depan. Meski samar, ada harapan penegakan hukum di tahun 2011 lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Namun, harapan akan adanya penegakan hukum yang lebih tegas, mencerminkan rasa keadilan rakyat, memang tidak bisa jelas, samar, karena masa lalu memberikan pelajaran bahwa asa itu sulit terwujud. Apalagi, peneliti senior Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, mengingatkan, kasus terkait Gayus bisa dipakai untuk mengunci Partai Golkar sehingga tersedot energinya dan tidak fokus (Kompas, 14/12). Padahal, Golkar adalah partai politik pemenang kedua Pemilu 2009.

Tak hanya Golkar yang terkunci, Sukardi menyebutkan pula, partai lain juga terganggu dengan kasus hukum yang menyeret kadernya atau dikaitkan dengan partai itu. Energi Partai Demokrat bisa tersedot untuk ”menangkal” serangan terkait kasus pemberian dana talangan senilai Rp 6,7 triliun kepada Bank Century, yang sampai saat ini masih belum paripurna. Partai Demokrat adalah pemenang Pemilu 2009.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang selama ini menempatkan diri sebagai oposisi pemerintah, juga akan terus diganggu dengan kasus pemberian cek perjalanan, terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004. Perkara ini, yang juga belum tuntas, pun mungkin saja mengganggu Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP juga masih akan terbebani dengan dugaan korupsi yang mengenai mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) akan terbebani kasus pidana yang menimpa kadernya, M Misbakhun. Kader partai lain pun kini ada pula yang mulai terbelit perkara, atau mulai dibidik, terutama terkait kasus korupsi.

Penanganan kasus-kasus itu sampai sekarang belum selesai, dan dipastikan akan berlanjut tahun 2011. Masyarakat pasti akan terus menuntut agar kasus-kasus itu dituntaskan. Namun, dengan peringatan dari Sukardi, yang menyebutkan tahun 2010 adalah tahun yang saling mengunci, memang terasa sulit untuk meyakinkan diri bahwa harapan akan terwujudnya penegakan hukum yang adil di negeri ini akan terwujud. Parpol diyakini masih akan memperjuangkan kepentingan sesaatnya dengan memainkan ”kartu truf” yang bisa mematikan lawan politiknya sehingga bisa bernegosiasi. Kartu truf itu paling gampang adalah kasus-kasus hukum.

Harapan untuk bisa menegakkan hukum di negeri ini, untuk tahun depan, memang tetap harus digantungkan pada pundak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apalagi, untuk menuntaskan kasus korupsi, yang dalam banyak kasus mengakibatkan penderitaan pada rakyat kecil terus berlanjut. Apalagi, Presiden dalam berbagai kesempatan sudah menegaskan diri akan berdiri paling depan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Meskipun ada nada pesimisme, kerinduan akan hukum yang berkeadilan, penegakan hukum yang sesuai dengan nurani dan rasa keadilan, serta penuntasan berbagai kasus di negeri ini, tetap harus dipelihara. Paling tidak untuk sepanjang tahun 2011. Karena, hidup adalah pengembaraan untuk mencari kebenaran dan keadilan (ad veritatem et justitia). [OLEH TRI AGUNG KRISTANTO]

Sumber: Kompas, 20 Desember 2010

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan