Penegakan Hukum Lemah, SDA Dikuras

Indonesia adalah negara yang memiliki sumberdaya alam (sda) dengan berbagai macam keanekaragaman. Hutan, tambang, minyak, batu bara, ikan, dan lainya menjadi sumber devisa negara yang cukup besar nilainya. Banyak manfaat yang diterima dari manfaat sda, baik secara langsung maupun berjangka panjang. Misalnya hutan memiliki fungsi selain menjadi paru-paru dunia, di sana juga tinggal berbagai jenis satwa liar dan langka. Laut yang berisi berbagai jenis batu karang dan ikan yang bisa dinikmati untuk seluruh rakyat Indonesia. Namun sayang, negara tidak memberikan jaminan dalam menjaga dan mengelola sda yang telah diberikan.

Dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan ‘bumi, air, dan kekayaan alam yang terkanadung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat’. Tercantum jelas, bagaimana seharusnya negara memelihara kekayaan sumberdaya alam yang dimaksimalkan untuk rakyat. Akibat dari eksploitasi sda yang berlebihan dan tidak berkeadilan, maka masyarakat sekitar kehilangan akses terhadap sumberdaya alam itu.

secara besar-besaran dan terus-menerus masyarakat sekitar kehilangan mata pencaharianya dan Indonesia kehilangan sda serta kerugian negara yang sangat besar. Namun pemerintah dan aparat penegak hukum masih menutup mata bahkan memilah-milah kasus korupsi sda yang harus ditangani. Padahal, semua kasus kerusakan sda dipastikan merugikan masyarakat Indonesia.


Penyebab dan Dampak kerusakan SDA

Staf Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Riset R. Mouna Wasef mengatakan akibat ekspolitasi sda secara masal berdampak pada kerusakan lingkungan seperti hutan dan lahan. Penyebab kerusakan hutan dan lahan dikarenakan pertama, tingginya kebutuhan industri yang menggunakan kayu sebagai bahan baku. Hal ini berkesinambungan dengan praktek pembakalan liar, karena setiap tahunnya diperkirakan antara 50%-70% pasokan kayu untuk industri diperoleh dari kayu yang ditebang secara ilegal.

Dari data yang dimiliki, penebangan liar terbesar terjadi di kawasan hutan produksi sebesar 60%, hutan lindung 30%, dan hutan konversi 10%. Menurut rencanan strategis Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) ketergantungan suplai kayu dari hutan alam diperkirakan masih akan tinggi dan meningkat di masa depan. Pada tahun 2020, bahan baku kayu dari hutan alam diperkirakan meningkat sampai 15,23 juta m3.  

Kedua, alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Data Kementerian Pertanian (Kementan ) (2014) 12.2 juta Ha hutan dan lahan di Indonesia yang telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit, mencapai 120 kali lipat dibanding awal tahun 1967 yang sebesar sekitar 105.000 Ha.

Ketiga, pembukaan kawasan hutan untuk pertambangan. Jumlah IUP yang berada di kawasan hutan menggambarkan bagaimana kritisnya permasalahan kehutanan. Di Kalimantan tercatat setidaknya lebih dari 6 juta ha kawasan hutan yang diokupasi oleh usaha tambang dengan potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak ( PNBP) tidak terpungut hingga 15,9 triliyun.

"Tingginya resiko korupsi dalam pemanfaatan sumberdaya alam bermula dari kebijakan yang dibuat saling tumpang tindih dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan," jelas Mouna kepada antikorupsi.org

Menurutnya, sempitnya akses informasi juga memperburuk situasi. Karena bukan rahasia umum lagi bahwa negara telah dirugikan triliunan dari sektor kehutanan. Penyebab lainya adalah politik dan tata pemerintahan di tingkat lokal terutama pemilukada, dapat menjadi penyebab rusaknya hutan dan lahan.

"Modus yang muncul biasanya (calon) kepala daerah mengeksploitasi hutan untuk mendapatkan dana kampanye, dengan memberi izin atau konsesi melalui alih fungsi atau perubahan peruntukan," ujarnya.

Mouna menjelaskan, eskploitasi masif sangat berkontribusi terhadap rusaknya ekosistem hutan, degredasi lahan gambut, punahnya keanekaragamana hayati dan bermunculannya berbagai macam masalah sosial dengan jumlah tidak terhitung. Terutama pada daerah yang kaya akan sda dan memiliki kawasan hutan yang luas, meskipun secara kuantitas belum banyak kasus yang ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.

Dari segi kerugian negara, bukan hanya berasal dari penerimaan negara bukan pajak seperti royalty dari pertambangan, PSDH dan DR dari kehutanan. Korupsi dan kejahatan sda juga berdampak pada hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak seperti pajak penghasilan badan (PPPH Badan) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Terkait dengan hal ini, Koalisi Anti Mafia Hutan pernah melaporkan potensi kerugian negara sebesar Rp 203.74 triliyun pada periode 2012-2014 akibat kerusakan sda.

Di lain pihak, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan mengatakan, kehancuran lingkungan disebabkan kesalahan mengurus sda diiringi dengan lahirnya regulasi sektoral yang mengakibatkan eksploitasi sda seperti kayu, mineral, batu bara, minyak hingga perkebunan.

Dalam hal ini, contoh regulasi yang dimaksud misalnya UU No 1 Tahun 1967 tentang penanaman modal asing yang cenderung lebih mendukung para pemilik modal untuk 'menggeser' rakyat dan negara dari pemilik menjadi pemberi izin.

"Saat ini sumberdaya alam yang dimiliki tidak menjadi modal dasar negara untuk menghidupi masyarakatnya. Sebaliknya sda cenderung dijadikan peningkatan pendapatan hasil misalnya melalui pajak atau pungutan dari proses transaksi," jelasnya.

Akibat dari eksploitasi sda, lanjut Abet, negara kehilangan sda nya serta peralihan kendali dalam bidang ekonomi dan politik  yang jatuh ke tangan sindikasi sumberdaya alam. Dalam hal ini, dampak jangka pendek eksploitasi sda mengakibatkan masyarakat kehilangan berbagai sumber kehidupanya. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan pangan masyarakat yang akan menjadi beban negara. Sedangkan jangka panjang Indonesia akan mengalami krisis sda karena kekayaan alamnya telah habis dieksploitasi.

“Negara bisa menjadi tergantung kepada suplai dari negara lain seperti beras dan daging yang seharusnya bisa kita kelola sendiri sebagai kebutuhan pokok rakyat,” ujarnya.

Berdasarkan data Walhi Kalimantan Barat selama 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana ekologi dan 664 konflik antara masyarakat dengan perusahaan kelapa sawit diantaranya karena perusahaan tidak membayar ganti rugi kepada masyarakat yang lahanya diambil. Perusahaan juga ditengarai tidak memberikan kontribusi kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD), sementara jalan negara rusak akibat pengangkutan ratusan ton kelapa sawit.

Bukan hanya itu, negara juga dirugikan dari praktek buruk yang dilakukan oleh perusahaan seperti hilangnya sumber penerimaan negara dari pajak yang tidak dibayarkan oleh perusahaan dan biaya yang ditanggung oleh negara akibat kerusakan lingkungan.

--------------------

Kerugian Negara Atas Eksploitasi SDA


Lembaga

Kerugian (Triliun)

Penyebab

Koalisi Anti Mafia Kehutanan (2014)

201

Tujuh kasus dugaan korupsi di sektor kehutanan,       perkebunan dan pertambangan

Koalisi Anti Mafia Kehutanan (2013)

1.92

Lima kasus dugaan korupsi: 1 dugaan suap penerbitan izin pertambangan, 3 dugaan korupsi pada sektor perkebunan dan 1 dugaan korupsi pada sektor kehutanan.

Kementrian Kehutanan (2011)

273

Pembukaan 727 unit perkebunan dan 1722 unit pertambangan yang dinilai bermasalah di 7 Provinsi di Indonesia

Kementrian Kehutanan (2003)

7.2

Praktek illegal logging, penyelundupan kayu dan peredaran kayu illegal di Papua, Kaltim, Kalbar, Kalteng, Sulteng, Riau, NAD, Sumut, dan Jambi

Komisi Pemberantasan Korupsi (2010)

15.9

Tidak segera ditertibkannya penambangan tanpa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan di 4 provinsi di Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim

Badan Pemeriksa Keuangan (2013)

0.1

Menambang dan eksplorasi sampai eksploitasi di                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              kawasan hutan tanpa izin dan tidak ada izin pinjam  pakai kawasan hutan.

Human Rights Watch (2013)

75.28

Kejahatan di sektor kehutanan

Human Rights Watch (2009)v

20

Kejahatan di sektor kehutanan

Indonesia Corruption Watch (2009)

20

Potensi kerugian keuangan negara dari PNBP sektor kehutanan yang tidak disetor (Dana Reboisasi dan Provisi Sumber Daya Hutan) selama 2004-2007

Satuan Tugas Mafia Hukum

1.9

Akibat beroperasinya 14 perusahaan kehutanan yang dinilai bermasalah di Provinsi Riau

Total

616.3

 

Koordinator Divisi Penelitian ICW Firdaus Ilyas mengatakan, jika dilihat dari sisi kontribusi penerimaan negara yang terbesar dari sda adalah berupa minyak dan gas (migas), mineral dan batubara (pertambangan). Terkait dengan kerugian negara besarnya penerimaan negara itu sejalan dengan 'nilai bisnis' sda itu sendiri seperti aspek Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), royalti, iuran tetap, pajak penghasilan badan, dan pajak pertambahan nilai.

"Bisnis terbesar dalam sda selama ini terdapat pada pertambangan umum. Namun orang belum banyak melihat potensinya kerugian negaranya terutama tambang umum (ilegal maining)," ujar Firdaus.

ICW sebagai watch dog antikorupsi, telah memonitoring beberapa permasalahan di sda seperti keuangan negara di pertambangan dan migas, kehutanan, perkebunan. Terutama dari sisi PNBP, kewajiban royalti, maupun perpajakanya.

Firdaus menegaskan, kondisi relasi politik masih sangat kental di daerah. Hal tersebut yang menyebabkan korupsi di sektor sda di daerah masih sangat tinggi. “Kongkalingkong pemberian perijinan banyak terjadi pada sektor sda. Setiap pergantian rezim di daerah (pemilukada) berimplikasi pada dugaan penyimpangan atau pemberian ijin terutama sektor pertambangan,” tegasnya.


Lemahnya Aparat Penegak Hukum

Firdaus membenarkan bahwa sekalipun banyak penyimpangan di sektor sda, namun masih lemahnya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum level daerah baik kepolisian dan kejaksaan juga memperumit persoalan. Dalam konteks penegakan hukum, ada banyak hal yang membuat lemahnya penegakan hukum di Indonesia.

Misalnya, dalam sektor sda pertambangan dan migas memiliki dua regulasi yang berbeda (lex specialis). Sekalipun ada penyimpangan, maka aparat penegak hukum langsung mengedepankan hukum perdata bukan pidananya. Hal ini mengakibatkan banyaknya kasus pelanggaran yang kemudian hanya diselesaikan dengan acara administrasi.

Sektor sda juga rawan menjadi ladang putaran uang yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah pertahunnya. Dengan kondisi demikian, maka menjadi sangat lumrah dalam proses penegakan hukumnya rawan terjadi gratifikasi. "Sda menjadi sektor dimana penegakkan hukumnya masih jauh tertinggal dibandingkan sektor lainya," tegas Firdaus.

Lanjutnya, pembenahan regulasi menjadi jalan terbaik dalam menertibkan perbaikan tata kelola sda di Indonesia. Karena selama ini baik pusat maupun daerah terjadi ketidaksingkronan regulasi yang menjadi celah besar dalam proses penegakan hukum.

Sda menjadi menjadi sektor yang sangat strategis karena menjadi sumber penerimaan negara yang berdampak langsung kepada masyarakat. Oleh karena itu, mengajak dan melibatkan peran masyarakat untuk mengawasi menjadi bagian aktor kunci dalam pengelolaan sda. "Pengawasan adalah hal tepat dilakukan agar sda dapat memberikan nilai manfaat yang jauh lebih baik dan berkesinambungan," paparnya.

Pemerintah baik pusat dan daerah harus dapat memperkuat sektor sda dari segi transparasi dan akuntabilitas. Karenanya, publik harus dengan mudah mengakses dan mendapatkan informasi terkait yang dibutuhkan. Misalnya,siapa pemilik usahanya, berapa produksi yang dihasilkan, berapa kewajiban negara yang dibayarkan.  "Jika transparasi tidak dilakukan maka sektor sda tetap akan gelap gulita dalam hal regulasi dan kebijakannya dan selanjutnya pengelolaan sda hanya akan menghabiskan sda tanpa ada control dari publik," tegasnya.


Gerakan Penyelematan SDA

Di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), pemerintah bertekad memperbaiki pengelolaan sumberdaya alam. Tekad ini tercermin dari gerakan yang diinisiasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) rencana aksi bersama gerakan penyelematan sda Indonesia oleh 20 kementerian dan 7 lembaga.

MoU tersebut berisikan tentang komitmen melaksanakan rencana aksi sebanyak 58 program. Untuk kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meliputi penyelesaian status kawasan hutan, penyelesaian konflik, perluasan wilayah kelola untuk masyarakat, optimalisasi pendapatan negara, dan upaya pencegahan korupsi. Dalam hal ini Presiden Jokowi yakin, bahwa Indonesia gelisah dan prihatin dengan kondisi sda di tanah air. Terlebih Indonesia sebagai negara yang kaya sda, namun belum mampu menjadi negara maju dari hasil pemanfaatan sda.

Menurut Presiden Jokowi, tiga momentum kekeliruan dalam pengelolaan sda. Pertama, saat booming mintak tahun 1970-an, Indonesia justru gagal memanfaatkannya dengan membuat fondasi pembangunan berkelanjutan. Kedua, booming kayu hasil hutan 1980-an dan Indonesia kembali gagal memanfaatkan kesempatan. Ketiga, dekade 1990-2000-an, saat eksplorasi pertambangan luar biasa besar dengan hasil miliaran dollar AS, dan Indonesia lagi-lagi memetik kegagalan.

Ironisnya, hasil tambang seperti batubara yang diekspor besar-besaran itu justru mendukung industrialisasi negara lain. “Mereka berproduksi dan yang lebih memprihatinkan, barang yang masuk ke Indonesia kita beli dengan rasa suka. Kekeliruan ini harus berhenti,” katanya.

Pemanfaatan sda, menurut Jokowi, harus benar-benar memberikan manfaat bagi rakyat. Sementara plt pimpinan KPK, Taufiequrachman Ruki menyatakan, Indonesia sebagai negara kaya sumber daya alam mengalami paradoks akibat buruknya pengelolaan SDA. Kajian KPK di sektor mineral dan batubara, tak semua eksportir batubara melaporkan hasil ekspornya atau pajaknya.

Ruki melanjutkan, potensi kehilangan penerimaan pajak dari sektor minerba tahun 2012 mencapai Rp 28,5 triliun, sedangkan potensi kerugian negara di sektor minerba Rp 10 triliun per tahun. Di sektor kelautan, kontribusi penerimaan negara bukan pajak masih rendah, sekitar 0,3 persen dari nilai produksi perikanan laut per tahun. Kontribusi penerimaan negara bukan pajak sektor perikanan hanya 0,2 persen dari total penerimaan pajak nasional.

Kepala Litbang KPK Dian Patria mengatakan, KPK sebagai pelopor gerakan bersama dalam penyelamatan sda juga memiliki fungsi pencegahan bukan hanya penindakan. Dalam hal ini KPK memiliki tugas  memonitor, supervisi, dan koordinasi yang telah dimulai tahun ini, kepada 34 provinisi.  "Kita dorong perbaikan di pusat kelembagaan dan tata laksana operasional serta teknisnya seperti seperti mengurus perizininan,” katanya.

Beberapa langkah perbaikan yang dilakukan ialah melakukan pendataan surat ijin yang selama ini masih berada ‘di tangan-tangan tersembunyi'. Menyamakan data-data  terkait di sektor hutan, laut, dan tambang  antara milik pemda tingkat II (bupati dan gubernur) dengan pemerintah pusat.

"10 Juni 2015 ini semua data akan masuk untuk melengkapi data yang kita minta dari daerah. Kita terus lakukan rekonsiliasi untuk mendapatkan data terupdate," ujarnya.

Selain kolom permasalahan ijin, lanjut Dian, KPK juga menambahkan kolom permasalahan setiap daftar ijin seperti keterlambatan membayar pajak, PNBP, tumpang tindih fungsi hutan, jaminan pasca tambang, dan lainya. Nantinya dari data-data tersebut akan dilakukan pembersihan data, termasuk menindaklanjuti ijin-ijin  yang didalamnya melanggar administrasi dan menimbulkan pidana.

"Kita sudah lakukan perbaikan dengan mengembalikan uang negara sebesar Rp 10 triliun dari mencabut izin 87 perusahaan tambang bermasalah di 13 provinsi," kata Dian.

Motif permasalahan dalam sda memiliki kemiripan satu sama lain. Dalam hal ini permainan pemberian ijin menjadi masalah utama baik tambang, perkebunan, hutan, dan perikanan. Selain itu tidak memuhi pelaporan, tidak membayar kewajiban pajak kepada negara yang terus menerus dibiarkan.

"Masalah di perijininan paling banyak. Pelaku sering mengatakan sudah bayar, masa royalti bayar lagi. Ini menandakan ada pungutan liar di tingkat bupati maupun gubernur sampai di pusat," paparnya.

Dian menegaskan, dalam implementasi gerakan penyelamatan sda yang dicetuskan Maret lalu, tindak lanjut pertama akan dilakukan gerakan penyelemayan sda di 10 kota di Indonesia.

Pertama, telah dilakukan eksekusi lahan hutan register 40 di Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara di Kota Medan. Lahan 4000 hektar yang telah disita oleh negara sejak tahun 2007 lalu, belum berhasil dieksekusi karena masih ditemukan banyak kegiatan masyarakat disana. "Kita lakukan eksekusi tanpa harus membuat masyarakat sekitar marah karena lahan tersebut tersita oleh negara," tegasnya.

Oleh karena itu kedepan tindak lanjut dalam perbaikan sda harus dilakukan perbaikan sistem agar tidak ada modus (pihak yang) terus-menerus melakukan kesalahan. Transparasi dan keterbukaan informasi menjadi sangat penting untuk diberitahukan kepada publik. Pemerintah baik pusat dan daerah harus dapat membuka seluas-luasnya informasi misalnya terkait daftar nama perusahaan, daftar perusahaan yang telah dicabut, nama kepemilikan, peta lokasi, dan jenis pajak-pajak yang dibayarkan. Jika informasi tersebut sangat tertutup maka tidak heran terjadi banyak potensi korupsi di dalamnya.


Lipsus V

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan