Penegak Hukum Ideal
Irawady Joenoes akhirnya menjadi berita karena sebagai seorang pemimpin Komisi Yudisial, ia tertangkap basah menerima uang haram Rp 600 juta dan 30.000 dollar AS dari rekanan Komisi Yudisial.
Dalam kepemimpinan Komisi Yudisial (KY), Irawady bertugas mengawasi perilaku para hakim sehingga martabat mereka tetap terjaga. Konon selama berpuluh-puluh tahun sebagai jaksa, Irawady dikenal tidak bermasalah. Peristiwa itu tentu menjadi iklan amat buruk bagi bangsa ini yang sedang bergulat dengan korupsi, mafia di sistem peradilan, dan lain-lain.
Adakah yang salah?
Adakah yang salah dengan sistem perekrutan untuk keanggotaan komisi-komisi negara yang justru dibentuk untuk mengatasi penyakit-penyakit hukum itu?
Uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) sudah dilakukan DPR, juga melibatkan publik dan LSM. Rupanya kita harus kembali kepada faktor manusia yang misterius dan kompleks itu. Mengontrol kualitas produk TV dan sepatu jauh lebih gampang daripada menyeleksi manusia untuk suatu jabatan.
Konon, di abad pertama di Baghdad, keadaan para qadi (hakim) jauh lebih kere (kategori di bawah miskin) daripada penegak hukum Indonesia kini. Seorang pencuri yang masuk ke rumah seorang hakim tidak menemukan barang berharga apa pun. Sang hakim yang ketakutan akhirnya melompat dari atap, jatuh dan tewas. Suatu sidang pengadilan juga harus ditunda hanya karena sang hakim tidak dapat hadir. Pasalnya, sang hakim hanya punya sorban dan jubah satu setel dan itu harus dipakai bergantian dengan saudaranya.
Beberapa contoh itu memberi ilham kepada kita untuk mencoba menemukan standar baru, yang mampu menjaring manusia-manusia kere, tetapi dengan kualitas dan prestasi kerja yang mengilat. Itulah barangkali pekerjaan rumah yang dihadapi bangsa ini dan yang cukup sulit untuk dikerjakan.
Masalah harta
Cara seleksi baru itu berhasil menjaring orang-orang yang sudah tidak doyan (suka) harta dunia. Selain itu, mereka juga hanya berpikir tentang bagaimana nanti akhirnya mati dengan baik (khusnul khotimah). Tidak ada agenda keinginan lain yang masih perlu dikerjakan, apalagi mengumpulkan harta. Jika mereka diserahi pekerjaan, yang dipikirkan hanya bagaimana pekerjaan dapat diselesaikan dengan jujur dan berhasil baik untuk masyarakat. Bagi mereka, pekerjaan adalah amanah, tidak ada hubungan dengan mencari kekayaan.
Dalam komunitas Jawa yang saya ketahui, misalnya, banyak berseliweran ujaran-ujaran yang mencerminkan kaidah kehidupan lama yang bertolak belakang dengan zaman modern sekarang, seperti dipertontonkan di TV. Di telinga manusia modern, kaidah-kaidah itu kedengaran amat norak, kuno, dan tidak ngetren. Namun, justru kaidah-kaidah itulah yang amat diperlukan untuk keluar dari krisis sekarang ini. Kaidah kehidupan itu adalah seperti disebarkan Ajaran Soerjomentaraman (dari Ki Ageng Soerjomentaram, 1892-1962), antara lain soegih tanpa bandha (kaya tanpa harta), ilmu kanthong bolong (ilmu saku berlubang, ilmunya orang yang tidak suka mengumpulkan harta). Mereka ini kira-kira berfilsafat Saya hidup di dunia ini, tetapi kerajaan saya bukan dari dunia ini.
Manusia penegak hukum
Apabila yang ingin ditembak adalah manusia-manusia yang berkualitas seperti itu, DPR dan tim psikolognya harus bekerja keras untuk menerjemahkan ke dalam modul-modul tes psikologi. Dan dapat diramalkan, yang akan terjaring adalah orang-orang yang sudah berusia sekitar tujuh puluh, sudah pensiun, tidak memikul beban dunia, anak-anak sudah mentas, dan seterusnya. Ini memiliki problem sendiri karena energi mereka sudah jauh berkurang. Kalaupun perekrutan dapat menjaring kaum muda dengan kualitas seperti itu, Indonesia dipastikan akan memiliki masa depan amat cerah.
Tulisan ini dibuat untuk mengajak kita semua berpikir dan merenungkan betapa sulitnya menemukan suatu Indonesia yang ideal, yang orang-orangnya bekerja secara jujur, beramanah, mengutamakan kepentingan masyarakat, dan tidak mempan didera iming-iming gemerlap dunia.
Mencari manusia-manusia penegak hukum yang ideal dan luar biasa, itulah intinya.
Satjipto Rahardjo Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Tulisan ini disalin dari Kompas, 9 Oktober 2007