Penebangan Liar Tak Cuma Masalah Penegakan Hukum
Hari-hari ini berita tentang ikhtiar pemerintah memberantas penebangan liar (illegal logging) sedang ramai. Aparat hukum tengah memeriksa dan mengejar orang-orang yang disangka melanggar hukum.
Ikhtiar meretas jaringan penebangan liar amat ideal karena dilatarbelakangi beberapa hal prinsip, yakni menegakkan hukum dan, tidak kalah pentingnya, menyelamatkan hutan Indonesia dari berbagai tindakan ilegal. Ikhtiar ini, sebagai catatan, sudah lama mewarnai gerakan penegak hukum, yakni sejak kasus penebangan liar merebak sekian dasawarsa silam, tetapi tidak pernah memberi hasil optimal.
Mengapa tidak optimal? Sebab, memberantas penebangan liar bukan persoalan mudah. Identik dengan mengurai benang kusut. Hal itu merupakan isu yang sangat kompleks karena terlalu banyak faktor yang terkait satu sama lain, yang harus dipecahkan secara simultan dan tidak secara parsial. Di antara isu sentral itu ialah aspek lapangan kerja, kinerja aparatur di lapangan, serta kemiskinan di kalangan sebagian masyarakat yang berdomisili di dalam dan di dekat kawasan hutan.
Belum lama ini, selaku anggota lembaga swadaya masyarakat, saya pergi ke hutan dan bertemu dengan rakyat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan. Saya bertanya, Apakah kalian bersedia menghentikan penebangan liar? Secara spontan mereka menjawab, Baik, Pak, mulai besok saya tidak menebang lagi. Tetapi, tolong Pak, besok beri kami makan dan atau pekerjaan.
Seorang bupati yang ada di samping saya tersentak diam, tidak dapat menjanjikan apa- apa karena beliau tidak mampu memberi makan atau pekerjaan kepada seluruh rakyatnya. Tidak ada proyek atau investor yang menaruh modal di daerahnya. Diam berarti merestui rakyatnya terus menebang apabila ada cukong kayu yang datang memberi pekerjaan.
Penegakan hukum merupakan hal penting dan mutlak dilakukan. Hukum selalu dicerminkan hitam dan putih, benar dan salah. Hukum tidak mengenal warna abu-abu. Dengan demikian, para pelakunya harus ditangkap, terutama cukong- cukong besar dan aparatur yang diduga terlibat.
Namun, seperti biasa, banyak yang bersikap skeptis. Apakah dengan ditangkapnya cukong- cukong kelas kakap dan ditertibkannya aparatur negara, persoalan penebangan liar dapat hilang atau berhenti? Mungkin ya untuk sementara waktu. Namun, seperti dikemukakan di awal tulisan ini, manakala masalah rakyat lapar dan pengangguran tidak diatasi, semua upaya itu akan menemui jalan buntu.
DI luar aspek-aspek tersebut, terdapat beberapa faktor yang mesti memperoleh perhatian, dalam konteks mengurangi seminimal mungkin tindakan perusakan hutan.
Pertama, sampai hari ini, meskipun terdapat Undang- Undang tentang Otonomi Daerah maupun Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) tentang pengakuan hak masyarakat adat, masalah pembagian hak, dan kewenangan masih menjadi konflik antara pemerintah pusat dan daerah serta antara pemerintah dan masyarakat adat.
Adanya konflik di lapangan menjadikan tanggung jawab terhadap keamanan dan kelestarian hutan tidak jelas dan dijadikan peluang oleh pemilik modal untuk dimanfaatkan, baik secara legal (aspal) maupun ilegal.
Konflik hak dan kewenangan ini perlu segera diselesaikan secara tuntas apabila ingin memberantas penebangan liar, agar jelas siapa yang berhak dan berwenang sekaligus bertanggung jawab terhadap pengurusan produksi kayu di hutan alam.
Kedua, kebijakan alokasi dan target produksi. Pengelolaan hutan lestari akan tercapai apabila yang dipanen hanya pertumbuhan (riap)-nya. Namun, sampai sekarang di antara sekian banyak ahli belum ada kesamaan cara menghitungnya.
Hasil pengukuran riap untuk seluruh tipe hutan alam di Indonesia, sampai umur masak tebang, belum diumumkan secara terbuka. Masalah ini perlu diselesaikan karena akan menjadi dasar menetapkan berapa jumlah kayu yang boleh dipanen setiap tahun oleh setiap unit manajemen (unit HPH).
Penetapan jatah produksi yang masih dipersoalkan akurasinya dan ditetapkan secara nasional, tanpa menarik dari hasil kruising tiap petak yang akan ditebang, menjadi sumber perdagangan alokasi produksi.
Unit manajemen yang masih memiliki potensi besar, tetapi mendapat alokasi kecil-bahkan jauh di bawah titik impas layak berproduksi secara ekonomis-membiarkan kawasan hutannya ditebang pihak ketiga dan kemudian membelinya.
Perilaku seperti ini-terpaksa dilakukan karena alokasi-disebut illegal logging yang dilakukan pemegang konsesi.
Ketiga, kapasitas dan restrukturisasi industri. Masalah ini sudah menjadi program utama pemerintah dari lima program prioritas yang pernah diumumkan kepada publik. Namun, sampai saat ini hasilnya belum pernah diumumkan, mana yang ditutup, dikurangi kapasitas produksinya, dan didenda karena pelanggaran.
Hal yang dipersoalkan pemerhati kehutanan ialah tentang adanya industri besar penyerap kayu bulat jutaan meter kubik tetap beroperasi walaupun pemerintah dan publik mengetahui bahwa sebagian besar (70-80 persen) kayu yang masuk tidak jelas asal-usulnya. Kayu yang tidak jelas asal-usulnya sama artinya dengan kayu ilegal.
Praktik penebangan liar masih terus berlangsung sampai hari ini. Walaupun industri tersebut tidak secara langsung melakukannya, tetapi jelas sebagai penadah tebangan liar.
Keempat, batas kawasan hutan. Sebagian besar kawasan hutan produksi di luar Jawa pernah dilakukan pemancangan dan penataan batas walaupun hasilnya masih menjadi persoalan antara pemerintah dan masyarakat adat. Selain belum diakui masyarakat, tapal batasnya pun sebagian besar sudah hilang.
Ibarat rumah dengan halaman besar tanpa pagar, menjadi pemicu keluarnya izin-izin hak pemanfaatan kayu di hutan produksi yang tidak terkendali. Pemegang izin dapat menebang pohon di mana dan kapan saja.
Izinnya legal dari kacamata pemerintah daerah, tetapi ilegal dari sudut pandang pemerintah pusat karena pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari yang mewajibkan menebang menurut waktu dan tempat tidak ditaati.
Aspek kelima, kebijakan biarkan hutan bernapas. Pengusahaan hutan yang terhenti kegiatannya karena dicabut haknya, atau digantung statusnya dan tidak ada yang mengelola-istilah lain kawasan hutan tidak bertuan, tidak ada yang menjaga dan tidak ada yang bertanggung jawab-menjadi kawasan hutan yang terbuka untuk siapa saja yang mau menebang sesuka hati.
Apabila kebijakan ini dibiarkan, penebangan liar akan terus marak. Tidak hanya pohon besar yang hilang, pohon kecil pun asal laku di pasaran juga habis.
Keenam, aspek aparatur negara. Ada yang menyatakan sangat rendahnya gaji aparatur pemerintah sering kali jadi alasan melalaikan kewajiban dan tanggung jawabnya. Ini benar, tetapi tidak bisa menjadi alasan melalaikan tugas. Ada aspek yang seharusnya memperoleh perhatian.
Pada wilayah-wilayah yang rawan terhadap penyelundupan kayu dan penebangan liar, sebaiknya tour of duty dan/atau tour of area dipercepat frekuensinya. Jika perlu tidak lebih dari satu tahun mereka bertugas di tempat yang sama. Tentu hal ini tidak boleh mengurangi penegakan hukum dan disiplin kepegawaian.
BEBERAPA faktor inilah yang menjadi penyebab maraknya penebangan liar. Tentu masih banyak faktor yang belum diungkapkan. Namun, faktor yang kiranya perlu digarisbawahi dalam menangani penebangan liar adalah penegakan hukum, penyediaan lapangan kerja, dan pemberian insentif bagi mereka yang bekerja sesuai dengan peraturan.
Khusus tentang penyediaan lapangan kerja yang masih terbuka secara luas di sektor kehutanan adalah pembangunan hutan tanaman (industri), baik yang dilaksanakan perusahaan maupun rakyat di atas lahan yang jelas lokasi dan batas-batasnya.
Untuk mendorong bangkitnya kembali minat investor dan rakyat membangun hutan tanaman, perlu ada kepastian hukum yang melindungi usahanya untuk dapat memanen, kebijakan pemerintah yang konsisten untuk jangka panjang-jangan sampai setiap ganti kabinet ganti kebijakan-dan adanya lembaga keuangan khusus (seperti bank syariah) yang menyediakan dana pinjaman dengan bunga khusus atau tanpa bunga tetapi dengan sistem bagi hasil (pemerintah melalui BUMN ikut memiliki HTI).
Kebijakan ekonomi, perpajakan dan insentif khusus, bagi pembangunan di sektor kehutanan sangat perlu karena sektor ini memiliki karakteristik yang tidak sama dengan sektor lain. Kekhususannya antara lain berjangka panjang, risiko tinggi, bersentuhan dengan banyak aspek kehidupan bangsa seperti dengan konservasi sumber daya alam, lingkungan, sosial ekonomi masyarakat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan, serta potensinya yang besar untuk menyimpan keanekaragaman hayati yang berada di hutan alam.(Djamaludin Suryohadikusumo Mantan Menteri Kehutanan)
Tulisan ini diambil dari Kompas, 28 Februari 2005