Pendidikan Melawan Korupsi [19/08/04]
Korupsi di Indonesia sepertinya bukan lagi bersifat kasus per kasus, tetapi sudah menjadi budaya karena melanda hampir semua orang (dan lembaga) yang mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Iklim korupsi menggelantung pada bangsa Indonesia saat ini. Tanpa menafikan orang-orang yang masih lurus, sepertinya setiap orang ingin memanfaatkan kesempatan untuk berkorupsi.
Hasil studi PERC, Political & Economical Risk Consultancy (2004), yang baru saja dipublikasikan ke masyarakat internasional menunjukkan, Indonesia sebagai negara yang paling korup di Asia. Negara-negara jiran Filipina dengan skor 8,33 di peringkat ke-4, Malaysia dengan skor 7,33 di peringkat ke-6, Thailand dengan skor 7,33 di peringkat ke-7, dan Singapura dengan skor 0,5 di peringkat paling bawah dari 12 negara yang distudi. Dalam hal ini Indonesia menjadi negara yang paling kotor, sementara itu Singapura menjadi negara yang paling bersih. Apabila kita perhatikan pen capaian skornya, dengan skor 9,25 terjadinya praktek korupsi di Indonesia nyaris sempurna.
Terjadinya praktek korupsi di Indonesia memang sudah sangat parah untuk ukuran normal. Bukan di kalangan masyarakat elite saja korupsi itu terjadi, tetapi di masyarakat grass root pun terjadinya praktek korupsi tidak bisa dihindarkan. Praktek korupsi pada masyarakat kelas atas terjadi di bank dan kantor-kantor besar yang penuh dengan uang; sementara itu praktek korupsi pada masyarakat kelas bawah terjadi di kantor-kantor kecil, pasar-pasar tradisional, sampai ke jalan-jalan di luar kota.
Budi Pekerti
Tidak terbantahkan lagi bahwa korupsi sudah menjadi budaya. Masalahnya sekarang, harus dilawan dengan apakah budaya destruktif korupsi itu? Tidak ada cara lain, korupsi harus dilawan dengan pendidikan. Alasannya? Karena kebudayaan (korupsi) dan pendidikan memiliki persamaan; di samping keduanya berjalan secara evolusioner, tidak revolusioner, keduanya juga sama-sama berurusan dengan nilai-nilai positif (positive values) kehidupan.
Dalam konteks melawan budaya korupsi, pendidikan budi pekerti perlu dihidupkan kembali. Implementasinya pendidikan budi pekerti harus dilaksanakan di sekolah-sekolah. Pendidikan budi pekerti yang ditanamkan pada anak didik bukan saja nilai-nilai yang ideal-normatif, tetapi lebih berupa aspek-aspek kehidupan yang terukur (measurable aspects) yang memudahkan diri sendiri dan orang lain untuk mengontrolnya.
Tim Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti (TPPBP) Provinsi DIY pada tahun 1996 telah menemukan aspek-aspek terukur yang terkandung di dalam budi pekerti dari budaya masyarakat. Adapun aspek-aspek yang dimaksud adalah (1) pengabdian, (2) kejujuran, (3) sopan santun, (4) toleransi, (5) kedisiplinan, (6) keikhlasan, (7) tepa selira, (8) empan papan, (9) guyup rukun, (10) gotong royong, serta (11) tata krama. Aspek-aspek inilah yang ditanamkan kepada anak didik untuk dapat dipraktekkan lang-sung di dalam kehidupan sosialnya.
Aspek-aspek budi pekerti yang terukur juga dapat diambil dari agama; misalnya berbuat adil, berbuat kebaikan, berbagi rezki, bersikap lemah lembut, dapat dipercaya, pandai bersyukur, menyambung persahabatan, memberi maaf, sabar, tabah, dan sebagainya.
Pendidikan budi pekerti itu tidak cukup ditanamkan kepada anak didik melalui satu sentra pendidikan saja, misalnya sentra pendidikan formal di sekolah saja. Tetapi diperlukan koordinasi yang produktif di antara sentra-sentra pendidikan yang ada. Pendidikan budi pekerti yang hanya ditanamkan kepada anak didik melalui satu sentra pendidikan saja kurang memberikan hasil yang optimal.
Menurut Teori Tri Sentra Pendidikan, pendidikan itu akan memberikan hasil yang optimal bila terjadi koordinasi yang produktif di antara tiga sentra yang ada; masing-masing adalah sentra pendidikan informal di keluarga, sentra pendidikan nonformal di masyarakat, serta sentra pendidikan formal di sekolah.
Di samping adanya koordinasi antarsentra pendidikan, keteladanan juga diperlukan. Dalam kultur masyarakat yang paternalistik ini diperlukan keteladanan tokoh panutan untuk membangun bangsa.
Keteladanan yang baik dan keteladanan yang mulia sekarang ini makin lama makin sulit ditemukan dari para panutan masyarakat; baik dari para pemimpin (formal leader) seperti pejabat pemerintah, pemimpin organisasi, pengurus partai, dan sebagainya; para penjaga moral (moral figure) seperti kiai, pendeta, guru, dan sebagainya; maupun para idola masyarakat (public figure) seperti penyanyi, artis sinetron, pemain olah raga, dan sebagainya.
Di dalam konsep Trilogi Kepemimpinan, seorang pemimpin harus bisa memberi dan sekaligus menjadi teladan (ing ngarsa sung tuladha) serta mengakomodasi secara konstruktif potensi dan kreativitas anak buah (tut-wuri handayani) ketika dirinya sedang memainkan seni kepemimpinan; di samping harus mampu membangun semangat ketika berada di tengah-tengah rakyat yang dipimpin (ing madya mangun karsa).
Implikasinya di dalam konteks melawan budaya korupsi maka para tokoh panutan harus bersih dari praktek-praktek korupsi agar senantiasa patut diteladani oleh masyarakat, dalam hal ini oleh anak didik.
Aksi Kolektif
Pendidikan budi pekerti di sekolah perlu dukungan masyarakat melalui aksi kolektifnya.Bentuk aksi kolektif masyarakat ini beraneka ragam, misalnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelaku korupsi. Tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, etnis, agama, budaya, dan sebagainya, hendaknya pelaku korupsi diberi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Pada sisi lain, yang tidak terbukti melakukan korupsi dibebaskan dari hukuman dan fitnah. Dengan metoda itu masyarakat telah memberikan dukungan yang konkret dalam pencegahan timbulnya mental korupsi anak bangsa.
Bentuk lain dari aksi kolektif masyarakat adalah menerapkan sistem hadiah dan hukuman (reward and punishment) di dalam kehidupan sosial. Misalnya bagi orang-orang dan/atau lembaga yang berjasa memberantas korupsi atau menutup peluang terjadinya korupsi diberi hadiah sosial, misalnya saja diberi berbagai kemudahan dalam pengurusan kepentingan sosial. Sebaliknya, orang-orang dan/atau lembaga yang melakukan tindak korupsi diberi sanksi sosial yang nyata, misalnya dikucilkan dari kehidupan masyarakat.
Bentuk-bentuk lain dari aksi kolektif masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan karakter masyarakat masing-masing; dan dengan tetap memperhatikan local genius yang ada.
Memang pendidikan, dalam hal ini pendidikan budi pekerti, merupakan metoda yang paling mujarab untuk melawan korupsi. Namun karena sifat evolusionernya maka hasil perlawanan pendidikan terhadap budaya korupsi tidak mungkin dapat dinikmati dalam waktu yang cepat. Mungkin hasilnya baru dapat dipetik belasan atau puluhan tahun ke depan.
Memang untuk mengikis sesuatu yang sudah menjadi budaya, dalam hal ini korupsi, diperlukan waktu yang tidak pendek. Hal itu sudah menjadi risiko bagi bangsa kita yang terpuruk ini! (Ki Supriyoko, Penulis adalah Ketua 3 Majelis Luhur Tamansiswa, dan Ketua Tim Pengembangan Pendidikan Budi Pekerti Provinsi DIY)
Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, 19 Agustus 2004