Pendidikan Hukum Kita

Korupsi merupakan masalah kronis di negara kita. Walau naik sedikit, indeks persepsi korupsi Indonesia masih rendah. Dari semua lembaga negara dan pemerintahan, lembaga peradilan masih dianggap kurang baik menangani korupsi ini.
 
Judicial corruption masih menjadi persoalan berat. Setiap kali ada kasus korupsi yang melibatkan hakim, jaksa, dan advokat, masyarakat lalu bertanya, apa tidak jera dengan hukuman yang berat? Apakah tidak ada pengaruhnya upaya reformasi peradilan selama ini?
 
Pada berita terakhir yang menyangkut seorang pejabat Mahkamah Agung (MA) dan pengacara beberapa waktu lalu, wartawan bertanya, mengapa kasus seperti itu selalu berulang.
 
Saya menjawab, MA telah berusaha memperbarui peradilan, memperbaiki rekrutmen calon hakim, mengawasi, dan menjatuhkan sanksi. Di luar itu masih ada pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial yang bertugas menjaga martabat hakim. Masih ada lagi Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertugas tidak saja menindak, tetapi juga mencegah. Belum lagi pengawasan dari masyarakat yang kian meningkat.
 
Mengapa masih terjadi? 
Mengapa kasus demi kasus judicial corruption masih terjadi? Marsudi Triatmojo dari UGM menyatakan, "Banyaknya aparat penegak hukum di Indonesia tidak bermoral karena pengajaran ilmu hukum di hampir semua perguruan tinggi (PT) di Indonesia belum lengkap, yakni kurangnya soal keterampilan dan nilai-nilai" (5/3/2016).
 
Masalah ini penting didalami, sebab korupsi sektor peradilan menyebabkan rendahnya kepercayaan dan penghormatan terhadap hukum di negara kita. Kenaikan indeks persepsi korupsi pun bergerak sangat lamban.
 
Padahal, sudah banyak yang dilakukan. Ketika sektor peradilan tidak bisa dipercaya lagi, pemberantasan korupsi di sektor lainnya menjadi makin sulit diatasi. Itu sebabnya, indeks persepsi korupsi kita masih di bawah dibandingkan negara ASEAN lain, seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
 
Benarkah perguruan tinggi hukum di Indonesia mesti bertanggung jawab atas masih meruyaknya judicial corruption?
 
Tentu saja jawabnya sudah semestinya pendidikan tinggi hukum merespons hal ini. Bagaimanapun, setiap insan yang berprofesi di bidang hukum, seperti advokat, jaksa, dan hakim ataupun pegawai/pejabat di bidang  peradilan, terlahir dari pendidikan tinggi hukum.  Fakultas hukumlah yang mengandung dan melahirkan calon penegak hukum dan profesi hukum.
 
Memang setelah lulus mereka berada di berbagai lingkungan profesi serta aktivitas yang mungkin bisa memengaruhi perilaku. Akan tetapi, proses selama pendidikan di pendidikan tinggi hukum tentu merupakan faktor penting untuk melahirkan sarjana hukum yang memiliki kredibilitas, selain kapasitas dan memiliki mental anti korupsi.
 
Lalu, benarkah, pendidikan tinggi hukum abai dalam mendidik mahasiswa hukum agar menguasai knowledge, skill, dan values? Ketiga hal ini memang mesti dikuasai mahasiswa hukum sebelum mereka lulus dan berprofesi hukum.
 
Di semua fakultas hukum, pendidikan untuk menguasai pengetahuan hukum diberikan, mulai dari pengantar ilmu hukum, pengantar hukum Indonesia, hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum perdata, hukum pidana, hukum Islam, dan sebagainya. Semua materi tersebut merupakan bekal yang dari sisi pengetahuan sangat penting.
 
Bekal mahasiswa
Di luar penguasaan pengetahuan, mahasiswa juga dibekali dengan keterampilan yang mumpuni agar siap ketika terjun praktik di berbagai bidang, khususnya bidang atau profesi hukum.
 
Semua fakultas hukum semestinya mengajarkan skill atau keterampilan hukum ini melalui berbagai mata kuliah, seperti praktik hukum (di FHUI diberikan sejak 1969) yang diperkuat dengan lembaga konsultasi/bantuan hukum.
 
Kini praktik hukum ini diberikan di semua fakultas hukum di Indonesia dan tergolong pendidikan dan latihan kemahiran hukum. Selain praktik hukum ada praktik diplomasi, perancangan peraturan negara, pilihan penyelesaian sengketa, penyusunan kontrak dagang, dan sebagainya.
 
Kini, bahkan klinik hukum menjadi mata kuliah di beberapa fakultas hukum. Ini menjadi kelahiran kembali pendidikan hukum klinis yang sebetulnya telah lama ada di Indonesia, tetapi kini terintegrasi dalam kurikulum di beberapa fakultas hukum. Melalui klinik hukum mahasiswa sekaligus mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sehingga lebih siap berpraktik setelah lulus, dan saat yang sama tetap menjunjung nilai-nilai, khususnya bisa memiliki perspektif social justice yang kuat.
 
Apakah pendidikan tinggi hukum membekali para mahasiswanya dengan nilai-nilai kebenaran dan etika profesi? Ini yang seharusnya diberikan. Tanpa ini mereka tidak siap untuk terjun ke profesi hukum yang penuh godaan.  Seluruh fakultas hukum telah mengajarkan filsafat hukum sebelum mereka lulus. Melalui filsafat semestinya mahasiswa mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Kata filsafat (philosophia-Yunani kuno) bermakna "orang yang cinta pada kebijaksanaan". Kata Pythagoras, "Saya hanya pencinta dan pencari kebijaksanaan."
 
Sejak 10 tahun lalu, fakultas hukum di Indonesia juga telah memberikan mata kuliah baru, yaitu tanggung jawab profesi yang kemudian menjadi etika dan tanggung jawab profesi. Etika berkenaan dengan perilaku yang benar dan baik, pengetahuan tentang moral dan bagaimana mewujudkannya.
 
Jadi, jika semua hal itu telah diberikan, mengapa judicial corruption masih terjadi dan melibatkan mereka yang telah dididik di pendidikan tinggi hukum? Jawabnya banyak faktor, seperti lingkungan profesi yang menjadi faktor kriminogen, atau sebab lainnya. Yang jelas, dunia pendidikan tinggi hukum juga patut melihat ke dalam, benarkah pembekalan pengetahuan, keterampilan, dan nilai telah diberikan dengan benar dan dengan metode yang tepat pula?
 
Topo Santoso, Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 April 2016, di halaman 6 dengan judul "Pendidikan Hukum Kita".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan