Pencucian Uang dan Daftar Hitam FATF

Keluarnya Indonesia dari daftar hitam Financial Action Task Force (FATF) sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang tidak berarti sudah tidak ada masalah dalam pemberantasan pencucian uang.

Secara politis dan untuk menjaga hubungan internasional (terutama perekonomian), hal ini mungkin penting untuk mendorong masuknya investasi asing. Namun, tidak demikian bagi kepastian adanya penegakan hukum terdapat kejahatan pencucian uang.

Keluarnya Indonesia dari daftar hitam itu bukan karena FATF telah melihat bahwa Indonesia sudah baik dalam penegakan hukum terhadap kejahatan ini, tapi tampaknya lebih karena langkah lobi pemerintah ke beberapa negara yang disegani dalam komitmennya untuk masalah ini.

Apabila mengingat persyaratan dari FATF pada Oktober 2004, yang tetap memasukkan Indonesia ke daftar hitam karena FATF masih meragukan kesungguhan Indonesia, terutama belum melihat implementasi dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, agak mengherankan kalau beberapa hari lalu dalam sidang FATF Indonesia bisa keluar dari daftar itu, karena belum teruji kekuatan undang-undang ini dalam proses persidangan.

Tadinya diharapkan penyelesaian kasus bobolnya BNI Kebayoran Baru bisa menjadi uji coba implementasi undang-undang ini, tapi ternyata dari media terbetik kabar bahwa dakwaan jaksa terhadap pencucian uang dibuat alternatif, padahal seharusnya kumulatif. Dakwaan alternatif pada perkara pencucian uang tidak mungkin karena tidak mungkin ada pencucian uang kalau tidak ada kejahatan utamanya (predicate offense) seperti korupsi, kasus narkotik, penyelundupan, dan penebangan liar.

Kejahatan pencucian uang adalah proses yang dilakukan untuk mengubah hasil kejahatan dengan berbagai cara seperti melalui transfer, hibah, atau dibelanjakan, agar hasil kejahatan tersebut seolah-olah bukan dari kejahatan. Jadi, dalam perkara pencucian uang ada dua kejahatan, yaitu kejahatan utama dan pencucian uang itu sendiri. Dengan demikian, dakwaannya harus berganda, bukan berlapis.

Kesalahan menyusun dakwaan ini menjadi fatal. Artinya, kalau kejahatan primer sudah terbukti, tidak mungkin lagi dibuktikan dakwaan sekunder; atau sebaliknya, kalau dakwaan primer tidak terbukti, tidak mungkin dibuktikan pencucian uangnya; karena ada pencucian uang harus dari hasil kejahatan, atau tidak mungkin ada pencucian uang kalau tidak ada kejahatan utamanya (korupsi, penyelundupan, dan lain-lain).

Ini hanya salah satu bukti bahwa dalam penegakan hukum terhadap pencucian uang masih ada masalah, masih ada kendala. Masalah lain yang mungkin menjadi kendala adalah kualitas undang-undang itu sendiri, yang di sana-sini masih banyak kelemahan, yang akan menyulitkan jaksa dalam pembuktian. Demikian juga bagi hakim, misalnya dalam pasal 35 tentang pembalikan beban pembuktian. Pasal ini tidak jelas (walaupun dalam penjelasan dikatakan jelas). Tidak dijelaskan bagaimana kalau terdakwa tidak bisa membuktikan, apakah dianggap terbukti dan hartanya disita atau bagaimana.

Kelemahan lain berkaitan dengan rumusan tidak pidana tentang kewajiban pelaporan atas transaksi Rp 500 juta ke atas oleh penyedia jasa keuangan. Bagaimana kalau dilakukan pemecahan transaksi untuk menghindari kewajiban pelaporan tersebut? Ketentuan ini melekat pada pasal 13 ayat 1 huruf b. Sebagai rumusan tindak pidana, hal ini berbahaya karena bisa saja dinyatakan tidak lex certa (asas penting dari hukum pidana bahwa undang-undang harus tegas dan jelas).

Masih ada beberapa hal yang seharusnya dirumuskan dengan cermat, karena masih adanya celah akan memberatkan untuk tercapainya pemberantasan pencucian uang. Undang-undang sebaiknya diamendemen lagi. Tidak perlu malu untuk itu. Namun, amendemen juga bukan berarti penyelesaian perkara ini beres.

Masih ada langkah lain yang harus dioptimalkan, misalnya profesionalitas penegak hukum dalam perkara ini perlu ditingkatkan. Mereka harus paham betul bagaimana pola-pola pencucian uang dengan segala modusnya yang akan semakin canggih. Mengingat bagi Indonesia kejahatan pencucian uang masih baru, sosialisasi terhadap semua kalangan masih sangat dibutuhkan, termasuk bagi masyarakat. Sebab, kalaupun pencucian uang tidak merugikan langsung masyarakat, partisipasi masyarakat sangat diperlukan, misalnya dalam hal know your customers. Sosialisasi juga penting bagi penyedia jasa keuangan, baik bank maupun nonbank, terutama dalam hal kewajiban pelaporan atas transaksi yang mencurigakan.

Dari berbagai hal yang harus dibenahi tadi, terdapat hal yang cukup menggembirakan, yaitu peran dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) cukup baik. Hanya, mungkin akan lebih baik diberikan kewenangan lebih luas, misalnya diperbolehkan melakukan penyelidikan lanjutan.

Bagaimanapun, peran aktif PPATK sebagai garda terdepan sangat signifikan untuk mengungkapkan perkara pencucian uang yang kecenderungannya meningkat bersamaan dengan banyaknya dugaan kejahatan bermotivasi keuntungan yang begitu tinggi di Indonesia. Sebut saja korupsi di negara ini yang masih dalam peringkat tinggi, penebangan liar, penyelundupan, dan kejahatan ekonomi lain yang sangat merugikan negara, yang seharusnya diselesaikan dengan menggunakan undang-undang antipencucian uang, selain dengan ketentuan undang-undang tentang kejahatan utamanya. Kejahatan-kejahatan itu sulit dibuktikan, maka tindakan antipencucian uang harus dikedepankan untuk mengungkap semuanya.

Maka, dengan keluarnya Indonesia dari daftar hitam FATF. janganlah kita berpuas diri. Masih banyak masalah yang harus dibenahi kalau ingin benar-benar memberantas pencucian uang. Terakhir, sebagai kunci keberhasilan, tentunya kemauan politik pemerintah harus kuat dengan didukung oleh mentalitas aparat yang bersih dan profesional. (Yenti Garnasih, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 18 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan