Pencantuman NPWP Penyumbang Pemilu

Berdasar permintaan Ditjen Pajak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mewajibkan agar peyumbang parpol bernilai di atas Rp 20 juta mencantumkan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Pro-kontra pun bermunculan. Yang mendukung (terutama ICW dan PPATK) berpendapat bahwa pencantuman NPWP akan menjamin transparansi dan mencegah pencucian uang (money laundering).

Di lain pihak, yang menolak menyatakan bahwa kewajiban mencantumkan NPWP tersebut melanggar UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Sebenarnya, apa potensi pajak atas kegiatan pemilu yang diselenggarakan tahun depan?

Kewajiban NPWP

Penyumbang parpol di atas Rp 20 juta wajib mencantumkan NPWP karena telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak, yaitu memiliki penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp 15,8 juta/tahun.

Kalaupun yang menyumbang tersebut adalah pegawai, kewajiban ber-NPWP itu harus segera direalisasikan (ada atau tidaknya keputusan KPU tersebut!). Sebab, sesuai UU No 36/2008 disebutkan, mulai 1 Januari 2009, pegawai yang tidak memiliki NPWP akan dikenai pajak penghasilan (PPh) pasal 21 20 persen lebih tinggi dari PPh yang seharusnya. Bagi pengusaha, keuntungan memiliki NPWP semakin bertambah karena adanya pembebasan fiskal luar negeri (FLN).

Dari sisi Ditjen Pajak, ada dua keuntungan yang diperoleh atas kewajiban mencantumkan NPWP bagi penyumbang parpol. Yaitu, adanya penyumbang yang belum memiliki NPWP akan menambah jumlah wajib pajak terdaftar. Dan, bagi penyumbang yang telah ber-NPWP, itu dapat digunakan sebagai data pembanding atas kewajiban perpajakannya selama ini.

Menurut saya, yang mungkin sangat dikhawatirkan para penyumbang atau (mungkin) parpol, pencantuman NPWP serta tentunya besaran sumbangan tersebut akan dijadikan data pembanding atas kewajiban perpajakannya selama ini.

Ditengarai, selama ini terdapat sangat banyak peyumbang fiktif, sehingga prinsip akuntabilitas dan tranparansi dalam pengelolaan dana parpol tidak mungkin terlaksana. Kalaupun yang dilaporkan ke KPU hanya rekening resmi, sangat sulit mendeteksi dana yang masuk melalui rekening yang tidak resmi atau dengan cara ''penyetoran'' dana secara tunai. KPU bahkan sudah menyiapkan biaya cukup besar untuk audit laporan dana parpol itu, yaitu Rp 863,5 miliar.

Di sinilah pencantuman NPWP bisa membantu. Dengan mencantumkan NPWP secara benar, otomatis identitas penyumbang tersebut bisa diketahui (nama, alamat, pekerjaan, dan pembayaran pajaknya selama ini).

Alhasil, diyakini semua dana yang ada bisa ditelusuri asalnya sekaligus mencegah praktik pencucian uang yang selama ini sangat dikhawatirkan. Pencantuman NPWP tersebut juga mengeliminasi bias yang disebabkan adanya sumbangan melalui rekening tidak resmi dan tunai. Asalkan, auditor yang bekerja memiliki seluruh daftar penyumbang dan NPWP-nya.

Pajak Besar

Akibat dampak finansial global, diprediksi 2009 kondisi perekonomian makro Indonesia belum menggembirakan. Tentu hal itu akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan pajak. Ditambah, adanya kebijakan perpajakan yang bersifat akomodatif, sehingga potential loss juga signifikan.

Di tengah usaha pengalian potensi penerimaan pajak pada 2009, Ditjen Pajak juga dihadapkan pada adanya pemilu legislatif dan presiden -yang secara langsung atau tak langsung- memengaruhi kondisi perekonomian Indonesia.

Pesta demokrasi ini juga berbiaya besar. Selain biaya penyelenggaran pemilu mencapai Rp 21,8 miliar, ada dana masuk (dari penyumbang) dan dana keluar (kampanye) yang luar biasa besar. Sebagai pembanding, pada pilpres 2004, dana kampanye keseluruhan capres mencapai Rp 291 miliar. Angka tersebut tentu akan naik signifikan pada 2009.

Melihat dana yang mengalir dibanding dana kampanye presiden terpilih AS Barack Obama yang USD 605 juta atau Rp 605 miliar, pemilu Indonesia juga diprediksi menyaingi dana kampanye Obama tersebut.

Biaya penyelenggaraan pemilu akan mempunyai potensi pajak PPh pasal 21, PPh pasal 23, dan PPN dalam negeri. Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah agar pemotong dan pemungut pajak bisa secara benar melakukan kewajibannya.

Karena dana tersebut bersumber dari APBN, bendaharawan pemerintah harus menjadi prioritas dalam pengawasan dan konsultasi pada kantor pelayanan pajak. Dana yang dikeluarkan peserta pemilu (parpol) untuk kampanye sangat besar. Berkaca pada salah satu parpol peserta pemilu yang mengangarkan Rp 500 miliar, bisa dibayangkan total dana yang mengalir untuk keseluruhan peserta pemilu nanti.

Dari segi pengeluaran parpol, sebagian besar dana akan terserap untuk iklan, pembuatan kaus dan bendera, serta keperluan konsumtif lainnya. Untuk iklan, bisa dipastikan parpol akan menyewa konsultan. Itu merupakan potensi PPh pasal 23 atas jasa konsultan. Untuk pemesanan kaus dan bendera, parpol akan dikenai PPN DN oleh perusahaan pembuat kaus dan bordir tersebut. Untuk keperluan pengadaan barang sembako, setidaknya ada potensi PPN DN yang harus dipungut penjual atau pengecer.

Kalau menggunakan asumsi rata-rata dana kampanye parpol Rp 250 miliar, dari 24 peserta Pemilu 2009 tersedia dana Rp 6 triliun. Diperkirakan, 60 persen dana tersebut akan dikeluarkan untuk iklan (elektronik maupun media massa). Jadi, pajak atas jasa konsultan saja sudah mencapai Rp 216 miliar. Sisa dana tersebut akan habis untuk pembelian kaus, spanduk, bendera, dan sembako yang bisa diperkirakan PPN-nya mencapai Rp 240 miliar. Total jenderal potensi pajak yang sudah ada sekitar Rp 456 miliar!

Melihat potensi pajak yang signifikan, Ditjen Pajak harus memastikan setiap parpol peserta Pemilu 2009 memiliki NPWP dan berstatus PKP. Dengan memiliki NPWP, kewajiban perpajakannya akan terlaksana dengan baik seperti pemotongan atas jasa konsultan. Dan bila telah berstatus PKP, mekanisme PPN akan berjalan.

Chandra Budi, staf Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan

 

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 16 Desember 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan