Pencalonan Pilkada 2018 Transaksional: Penegakan Hukum Pemilu Mutlak Dilakukan

Foto: VOA Indonesia
Foto: VOA Indonesia

Partai politik lagi-lagi digoyang isu tak sedap. Memberlakukan uang pangkal dalam pencalonan pemilu adalah salah satu yang menjadi polemik saat ini.

Pencalonan pemilu, khususnya pemilu kepala daerah (pilkada), ditengarai kerap diawali serah terima imbalan atau yang biasa disebut mahar politik. Fenomena ini tidak hanya santer terdengar dari kasak-kusuk publik melainkan pengakuan sejumlah bakal kandidat kepala daerah pada Pilkada serentak 2015 hingga 2018 yang gagal mendapat tiket pencalonan dari partai politik.  

Kasus terbaru muncul pada tahap pencalonan Pilkada 2018. Terdapat sejumlah pihak yang mengaku dimintai mahar oleh partai politik, seperti Jhon Krisli di Palangkaraya, Dedi Mulyadi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat, Brigjen (Pol) Siswandi di Cirebon, dan La Nyalla M. Mattalitti di Pilgub Jawa Timur. Mayoritas pengakuan diungkapkan oleh kandidat yang gagal mendapat dukungan partai. Pengakuan ini membuat perhelatan pilkada serentak di 171 daerah tersebut memanas bahkan sejak tahap pencalonan.

Kasus La Nyalla adalah salah satu yang paling kontroversial. Ia mengaku dimintai uang puluhan Milyar rupiah oleh salah satu partai politik apabila ingin dicalonkan dalam bursa Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018. La Nyalla bahkan menyebut telah mengeluarkan uang sebesar Rp 5,9 miliar dan cek senilai Rp 70 miliar. Uang dan cek tersebut diserahkan kepada Ketua DPD Gerindra Jawa Timur Supriyanto dan cek akan bisa dicairkan apabila surat rekomendasi Partai Gerindra untuknya terbit.

Tidak hanya dalam Pilkada, imbalan pencalonan juga disebut-sebut diberlakukan dalam pemilu legislatif. Dugaan-dugaan tersebut bahkan sudah santer dan menjadi polemik saat ini. Melihat fenomena itu, perlu diingatkan kembali bahwa saat ini UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu telah melarang pemberian dan penerimaan imbalan dalam proses pencalonan antara partai politik dan bakal kandidat.

Konsekuensi Hukum

Larangan dan sanksi dalam Pasal 47 UU Pilkada yang telah diterapkan sejak Pilkada serentak 2015 pun belum mampu membongkar praktik jual-beli dukungan tersebut. Padahal, ancaman sanksi tergolong berat, baik bagi partai politik selaku penerima dan bakal calon selaku pemberi.

Apabila terbukti dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, penetapan sebagai pasangan calon dibatalkan. Partai politik bahkan terancam tidak bisa mengikuti pilkada periode selanjutnya. Progresifnya, ketentuan tersebut tidak melihat apakah pemberi imbalan jadi dicalonkan atau tidak oleh partai politik.

Sanksi bagi partai politik apabila menerima imbalan pada proses pencalonan pemilu:

Partai Politik atau gabungan Partai Politik yang bersangkutan dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama .

Sanksi bagi partai politik dan calon yang dicalonkan apabila partai politik dan calon tersebut terbukti transaksi imbalan pada proses pencalonan:

Penetapan sebagai calon, calon terpilih, atau sebagai Gubernur, Bupati, atau Walikota dibatalkan

Diatur dalam:

·       Pasal 47 ayat 2 dan Pasal 187b UU Pilkada

·       Pasal 228 ayat 2 dan Pasal 242 UU Pemilu

Diatur dalam:

·       Pasal 47 ayat 5 dan Pasal 187b UU Pilkada

Penegakan hukum terhadap salah satu praktik politik uang ini adalah bagian dari rezim pidana pemilu. Pasal 187b UU No. 10 Tahun 2016 mengatur anggota partai politik atau anggota gabungan partai politik, yang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gunernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dipidana penjara 72 bulan dan denda 300 juta.

Artinya, peran penegak hukum lain seperti Kepolisian dan Kejaksaan di dalam Sentra Gakumdu haruslah dilakukan secara maksimal. Pendekatan penyelidikan dan upaya-upaya penegaka  hukum yang dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan haruslah dimaksimalkan untuk memberantas praktik mahar politik.

Dari sisi regulasi, ancaman sanksi tergolong berat namun belum mampu menjadi warning menakutkan karena walau telah menjadi polemik sejak muncul pengakuan beruntuh bakal kandidat yang gagal maju dalam Pilkada 2015, tidak ada pengusutan lebih jauh dari pengawas pemilu. La Nyalla bukan orang pertama yang mengaku dimintai imbalan oleh partai sejak larangan dan sanksi tersebut berlaku.

Pada 2015, sedikitnya terdapat empat bakal calon kepala daerah mengaku dimintai imbalan oleh partai politik. Mereka adalah Bakal Calon Bupati Simalungun Kabel Saragih, Bakal Calon Bupati Toba Samosir Asmadi Lubis, Bakal Calon Bupati Kabupaten Manggarai Sebastian Salang, dan Bakal Calon Bupati Sidoarjo Utsman Ikhsan. Sebastian Salang dan Kabel Saragih bahkan mengaku mundur dari pencalonan akibat dimintai uang oleh partai politik.

Berikut sejumlah pihak yang mengaku dimintai imbalan berupa uang oleh partai politik dalam bursa pencalonan Pilkada 2018 yang dihimpun ICW dari berbagai sumber:

Pemilu

Kasus

Sikap Bawaslu/ Panwaslu

Pilkada Jawa Timur

La Nyalla M. Mattalitti mengaku dimintai uang oleh partai politik agar dicalonkan dalam Pilgub Jawa Timur 2018.

Memanggil La Nyalla untuk klarifikasi namun yang bersangkutan tidak hadir

Pilkada Palangka Raya

Ketua DPRD Kota Waringin Timur Jhon Krisli-Maryono menyebutkan ada keharusan membayar dana besar untuk mendapat rekomendasi pencalonan partai di Pilkada Palangka Raya 2018.

Meminta pihak yang menyebutkan ada mahar untuk melapor ke Panwaslu

Pilkada Jawa Barat

Dedi Mulyadi mengaku diminta menyerahkan imbalan untuk partai sebesar Rp 10 Miliar (Berita sebelum yang bersangkutan resmi dicalonkan oleh Partai Golkar dan Demokrat)

-

Pilkada Cirebon

Brigjen (Pol) Siswandi-Euis Fetty Fatayati mengaku gagal dicalonkan oleh partai politik dalam Pilkada. Cirebon 2018 karena tidak dapat memenuhi imbalan yang diminta partai.

Pilkada 2018

Konflik internal oleh Partai Hanura saat ini salah satunya disebut dikarenakan permintaan mahar oleh elit partai kepada calon kepala daerah.

Sikap Bawaslu

Adanya larangan pemberian imbalan pada proses pencalonan dan pengakuan dari beberapa pihak seharusnya menjadi pintu masuk bagi Bawaslu untuk membongkar praktik transaksional pencalonan negatif ini. Sebagai pengawas dan penegak hukum pemilu, Bawaslu merupakan pihak yang sangat berkewajiban menjaga pemilu dari setiap potensi pelanggaran yang menciderai integritas pemilu.

Langkah Bawaslu Jawa Timur yang memanggil La Nyalla untuk klarifikasi adanya transaksi pencalonan patut diapresiasi. Sebab, Bawaslu pada dasarnya tidak harus menunggu adanya laporan. Bawaslu dapat memulai dengan menjadikan pengakuan bakal kandidat sebagai temuan yang perlu segera ditindaklanjuti. Terlebih lagi, pengakuan kandidat telah menjadi polemik dan perdebatan publik yang dapat berdampak pada semakin tercederainya integritas pemilu.

Pemanggilan tersebut seharusnya didasarkan atas temuan dugaan pelanggaran Pasal 47 ayat 1 UU Pilkada. Tidak hanya La Nyalla, Bawaslu perlu memanggil semua pihak yang diduga terlibat, baik saksi, penerima, bahkan pimpinan partai politik bersangkutan. Jika pihak yang dipanggil menolak hadir, Bawaslu dapat meminta bantuan kepolisian apabila pihak-pihak yang dipanggil mangkir atau menolak hadir.

Oleh karena itu, dalam rangka mendorong penegakan hukum pemilu dan penyelenggaraan pilkada bersih, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) merekomendasikan:

  1. Bawaslu menjadikan kasus dugaan adanya transaksi imbalan pencalonan yang diungkap sejumlah pihak sebagai temuan Bawaslu dengan dugaan pelanggaran pasal 47 ayat 1 dan 4 UU Pilkada.
  2. Bawaslu Jawa Timur untuk melanjutkan upaya pengusutan dugaan pelanggaran Pasal 47 ayat 1 UU Pilkada pada Pilkada Jawa Timur 2018.
  3. La Nyalla Mattalitti dan pihak terkait lain untuk kooperatif terhadap upaya penegakan hukum pemilu yang dilakukan Bawaslu Jawa Timur.
  4. Bawaslu RI membuka posko pelaporan dugaan transaksi imbalan pencalonan dengan menjamin kerahasiaan pelapor. Sebab, diduga terdapat banyak bakal kandidat yang dimintai imbalan oleh partai politik. Laporan tersebut dapat menjadi informasi awal bagi Bawaslu untuk memastikan apakah pencalonan dalam Pilkada 2018 bersih imbalan atau tidak.
  5. Mendorong Kepolisian, Kejaksaan, sebagai bagian dari forum sentragakumdu untuk berperan maksimal dalam menegakkan hukum terhadap dugaan pelanggaran praktik mahar politik.

Jakarta, 16 Januari 2018

Indonesia Corruption Watch

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan

 

Tags