Pencabutan Hak Politik Koruptor
Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menyerahkan terpidana kasus suap gula impor, Irman Gusman, ke penjara Sukamiskin, Bandung, Kamis pekan lalu. Pada 20 Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan sejumlah denda terhadap mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah itu. Hakim juga mencabut hak politik Irman, sehingga Irman tidak bisa dipilih untuk jabatan publik selama tiga tahun setelah menjalani hukuman pidana pokok.
Menurut penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW), dari 576 vonis kasus korupsi pada 2016, hanya ada tujuh vonis yang menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Vonis itu di antaranya dijatuhkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI Djoko Susilo, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Lutfi Hasan Ishaaq, dan mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Dewi Yasin Limpo.
Yang memprihatinkan, menurut penelitian ICW, rata-rata koruptor hanya divonis 2 tahun 2 bulan penjara selama 2016. Pada 2013, rata-rata vonis 2 tahun 11 bulan; pada 2014, 2 tahun 8 bulan; dan 2015, 2 tahun 2 bulan. Dengan rendahnya vonis itu, penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi.
Hak politik adalah salah satu rumpun hak asasi manusia sebagaimana diatur Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Pencabutan hak politik, khususnya hak untuk dipilih sebagai pejabat publik, adalah bentuk dari hukuman karena yang bersangkutan tidak amanah dalam memegang jabatan publik dan agar yang bersangkutan tidak bisa lagi menyalahgunakan wewenangnya.
Dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, pembatasan atau pencabutan hak asasi manusia hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang. Tujuannya, menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 35 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum. Dengan demikian, basis hukum bagi hakim dalam memutuskan pencabutan hak politik telah sah karena ada dasar hukum setara dengan undang-undang, yaitu KUHP.
Tidak ada yang tidak sepakat bahwa pejabat publik yang terbukti melakukan korupsi harus dihukum seberat-beratnya dan dilarang menduduki jabatan publik. Namun definisi dan ukuran jabatan publik juga harus jelas dan terukur. Apakah jabatan publik itu diperoleh melalui mekanisme pemilihan umum, seperti anggota DPR, bupati, gubernur, dan presiden? Ataukah melalui jalur karier, seperti jabatan struktural di pemerintah, hakim, jaksa, dan polisi? Ataukah juga jabatan yang termasuk sebagai jabatan yang diperoleh lewat keputusan politik, seperti jabatan menteri dan pimpinan lembaga negara?
Pasal 25 Kovenan Hak Sipil jelas menyatakan bahwa pencabutan hak politik "hanya" terkait dengan jabatan politik yang diperoleh melalui pemilihan umum, seperti jabatan sebagai anggota parlemen, bupati, gubernur, dan presiden. Tapi pencabutan hak politik tidak bisa dilakukan secara permanen. Harus ada batasan yang jelas seberapa lama hak politik itu dicabut. Ini sesuai dengan Komentar Umum Nomor 24 yang dirumuskan Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa pembatasan hak politik harus jelas dan transparan.
Dalam kasus korupsi mantan anggota DPR, Dewi Yasin Limpo, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memutuskan untuk memulihkan haknya dalam memilih yang dicabut oleh pengadilan sebelumnya dan memperpendek pencabutan hak untuk dipilih dari 12 tahun menjadi 5 tahun. Belajar dari vonis pencabutan hak politik yang berbeda antara satu hakim dan hakim lain serta rendahnya vonis berupa pencabutan hak politik, Mahkamah Agung perlu merumuskan peraturan MA sebagai basis untuk memadukan dan menyelaraskan putusan hakim atas vonis pencabutan hak politik.
Dalam hal pencabutan hak untuk memegang jabatan publik, yang termasuk dalam ranah hak sipil, Pasal 35 ayat 1 KUHP hanya mengatur bahwa hakim bisa mencabut "hak memegang jabatan tertentu". Klasifikasi jabatan tertentu itu harus jelas dan transparan agar tidak multitafsir dalam penerapannya. Pemerintah perlu menerbitkan peraturan untuk mendefinisikan jenis jabatan tertentu itu.
Pencabutan hak politik terhadap koruptor adalah tindakan yang patut didukung supaya memberikan efek jera dalam pemberantasan korupsi di tengah rendahnya vonis kasus korupsi. Namun, agar efektif dan berefek jera, diperlukan instrumen hukum tambahan agar mekanisme pencabutan hak politik terhadap koruptor tetap selaras dengan hak asasi manusia dan menjadi gerakan hukum progresif dalam pemberantasan korupsi.
Mimin Dwi Hartono, Staf Senior Komnas HAM
---------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 14 Maret 2017, dengan judul "PEncabutan Hak Politik Koruptor".