Penayangan Wajah Koruptor di Televisi

Keinginan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh agar para koruptor yang telah divonis bersalah oleh pengadilan bisa ditayangkan televisi dan dikemas seperti acara infotainment patut disikapi positif oleh berbagai kalangan yang sepakat dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.

Penayangan koruptor di televisi diharapkan memberikan dampak psikologis bagi pelaku korupsi yang lain agar segera menghentikan perbuatannya. Hal demikian pun menjadi pelajaran kolektif bagi masyarakat bahwa perbuatan korupsi merupakan perbuatan yang tercela secara moral, sosial, hukum, dan politik.

Namun, wacana penayangan koruptor di televisi juga ditentang segelintir pengacara yang selama ini dikenal sebagai devil's advocate, pengacara yang gemar membela kepentingan pelaku korupsi dengan kepentingan memperoleh fulus yang besar. Bagi mereka, penayangan koruptor di televisi melanggar etika kemanusiaan dan mengabaikan asas hukum yang berlaku. Benarkah penayangan wajah--bahkan asal-usul, rekam jejak, dan perilaku keseharian--koruptor di televisi tidak etis dan melanggar asas hukum?

Ada asumsi yang bisa dimajukan ketika membahas persoalan etika moral-hukum-sosial-politik penayangan wajah koruptor di televisi. Secara moral, penayangan wajah koruptor di televisi justru memiliki legitimasi yang kuat karena televisi merupakan ajang pendidikan publik. Penayangan wajah koruptor di televisi akan memberikan pelajaran moral bagi publik bahwa perbuatan koruptor amoral dan lebih tidak bermoral dibanding pelacur-penjudi-penzina dan sebagainya.

Secara sosial, penayangan wajah koruptor di televisi menjadi instrumen pencegahan perilaku menular korupsi di kalangan masyarakat. Ia menjadi alat sosiologis yang menjelaskan kepada publik bahwa korupsi merugikan kepentingan orang banyak. Secara etika hukum, penayangan koruptor absah karena telah melalui putusan peradilan. Penayangan koruptor justru akan memperkuat legitimasi hukum agar masyarakat menghargai putusan peradilan. Secara politik, penayangan koruptor di televisi merupakan sarana pendidikan politik kepada publik bahwa korupsi merupakan salah satu bentuk perbuatan yang tidak beradab dan merugikan kepentingan negara.

Penayangan wajah koruptor di televisi lebih baik bukan dalam bentuk news atau hot news, melainkan dalam kemasan rubrikasi yang menarik-menghibur dan sekaligus mendidik, seperti mengungkap motivasi koruptor ketika melakukan korupsi, latar belakang penyebab praktek korupsi, misalnya kelemahan sistem kerja pengawasan korupsi, metode korupsi, dan dampak perbuatan korupsi bagi kepentingan publik.

Penayangan koruptor secara rekreatif bisa dilakukan dalam dimensi penarasian yang tekstual dan kontekstual dalam balutan dramatologi penceritaan yang membuat publik tertarik menyimak acara tersebut. Penayangan koruptor jangan sampai mirip sinetron fiksi yang penuh ilusi dan magis, tapi dibuat semenarik mungkin agar publik bisa memahami apa yang dinamai korupsi.

Kemasan acara penayangan koruptor di televisi bisa pula menggunakan pendekatan psiko-sosiologis media, dengan mengoptimalkan sumber informasi seputar korupsi dan metode pencegahan korupsi. Wajah koruptor sebagai testimoni, sedangkan pola penayangan diarahkan pada muatan edukasi publik. Rubrik penayangan wajah koruptor menjelaskan bagaimana korupsi terjadi, metode korupsi, dan metode pemberantasan-pencegahan, serta mendorong motivasi publik untuk aktif dalam monitoring berkelanjutan kasus-kasus korupsi di tingkat lokal dan nasional.

Untuk mengoptimalkan penayangan koruptor di televisi, alangkah bijaknya apabila penyelenggara--stasiun televisi dan Kejaksaan Agung serta Komisi Pemberantasan Korupsi--melakukan riset berkelanjutan, untuk menampung aspirasi publik terhadap sekuel acara penayangan koruptor di TV, agar terus terjaga daya kritisnya dan benar-benar dinikmati oleh masyarakat pemirsa.

Trisno Y., periset Lembaga Mitra Parlemen

Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 11 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan