Penataan Bisnis Militer Sebaiknya untuk Kesejahteraan Prajurit

Penataan bisnis militer yang ingin dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen Pertahanan, seharusnya diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit. Cara itu bisa mendorong meningkatkan profesionalisme militer di masa depan. Itu sebabnya, militer harus menghentikan ketertarikannya pada bisnis dan mengubahnya dengan profesionalisme di bidang pertahanan negara.

Demikian antara lain pandangan pengamat bisnis militer Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Yahya Muhaimin, dan pengamat militer CSIS, Rizal Sukma, yang dihubungi secara terpisah di Jakarta, Selasa (15/3). Kepada mereka ditanyakan tentang rencana penataan bisnis militer oleh pemerintah.

Militer itu jika berbisnis, sulit untuk bertindak fair dengan tidak menggunakan kemampuan dan pengaruhnya dalam melakukan persaingan bisnis, ujar Yahya.

Patrimonial
Menurut Yahya, kuatnya nilai patrimonial di Indonesia juga menjadi alasan lain dari pemisahan bisnis dari militer. Pasalnya, masyarakat menganggap militer memiliki otoritas untuk mengatur masyarakat. Karena itu, ketika berbisnis, militer sering kali memakai otoritasnya untuk menekan lawan bisnisnya.

Persoalannya kemudian, menurut Yahya, siapa atau lembaga apa yang akan diserahkan wewenang untuk mengelola bisnis militer. Selain itu, hasil pengelolaan bisnis militer itu akan digunakan untuk apa. Jika yang diserahi itu model BUMN yang tidak dikelola secara profesional, maka tetap tidak akan menghasilkan perubahan, ujarnya.

Terlepas dari seperti apa yang menjadi model pengelolaan bisnis militer, menurut Rizal, persoalan yang paling penting adalah transparansi dan akuntabilitas. Selain itu, selama jumlahnya belum mencapai 3,5 persen dari produk domestik kotor (GDP), maka hasil pengelolaan bisnis militer ini harus dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan prajurit. Selain itu, hasilnya harus dimasukkan dalam mekanisme anggaran negara. Meskipun, bisa disebutkan secara khusus untuk budget kesejahteraan prajurit. Mungkin, dalam lima sampai sepuluh tahun pertama setelah bisnis militer itu diambil alih, maka hasilnya dikumpulkan dalam mekanisme APBN, ujarnya.

Alasan lain, Rizal memperkirakan, hasil bisnis militer hanya berkisar Rp 50-60 miliar. Itu sebabnya, hasil dari bisnis-bisnis militer ini sebaiknya hanya dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan. Sedangkan untuk pembiayaan peralatan militer, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhi kebutuhannya, ujarnya. (MAM)

Sumber: Kompas, 16 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan