Penangkal Korupsi yang Belum Digunakan
Salah satu akar masalah yang menyuburkan korupsi adalah ketertutupan lembaga negara atas informasi yang seharusnya menjadi hak publik. Dengan ketertutupan itu, mekanisme pengambilan kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dilakukan secara eksklusif tanpa melibatkan kontrol dan pengawasan masyarakat.
Rezim ketertutupan dan kerahasiaan menjadi ladang luas bagi pejabat publik untuk melakukan korupsi dan malapraktik birokrasi.
Meskipun genderang tuntutan atas keterbukaan sudah ditabuh, hingga kini belum ada produk hukum yang memayungi proses transparansi lembaga negara. Kevakuman hukum inilah yang membuat korupsi pun jalan terus.
Draf Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP) yang prosesnya bergulir sejak tahun 2001 sudah sampai tahap persiapan untuk pembahasan tahap II di DPR. Presiden Yudhoyono sudah mengeluarkan Amanat Presiden sebagai respons terhadap draf yang diserahkan DPR kepada pemerintah pada September lalu. Pada pembahasan tahap II ini bukan tak mungkin akan terjadi dinamika baru. Tarikan politis terhadap bakal undang-undang pro keterbukaan ini memang tinggi.
Penangkal korupsi
Jaminan hukum atas hak memperoleh informasi dan transparansi merupakan alat kontrol menekan upaya penyelewengan kekuasaan dalam bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme. UU KMIP diharapkan mampu mengubah budaya birokrasi yang tertutup menjadi administrasi publik yang lebih terbuka dan transparan.
Hasil survei Transparansi Internasional (TI) 2005 mencatat indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tahun ini 2,2 poin atau meningkat sebesar 0,2 poin dibandingkan tahun 2004. Meskipun demikian, posisi Indonesia tetap berada di peringkat sepuluh kelompok negara terkorup.
Mencermati survei TI dari tahun ke tahun, Indonesia seharusnya bisa belajar dari negara yang memiliki IPK tinggi. Negara yang terbukti mampu menekan korupsi adalah mereka yang memberikan jaminan hukum kepada masyarakatnya untuk secara aktif mengontrol aktivitas negara. Sepuluh negara yang berada di peringkat paling bersih tahun ini, kecuali Singapura, adalah mereka yang sudah memiliki UU KMIP. Swedia bahkan memiliki konstitusi (UU Kebebasan Pers) yang sudah berlaku sejak abad ke-18 yang secara spesifik mengatur hak untuk memperoleh informasi yang dikelola pemerintah. Sebaliknya, negara yang tidak (belum) memiliki perundangan yang mengatur KMIP cenderung memiliki tingkat korupsi yang tinggi.
Contohnya Finlandia, setelah negara ini menerapkan UU KMIP tahun 1999, nilai IPK-nya meningkat secara signifikan. Empat tahun sebelum menerapkan UU KMIP (1996), Finlandia mengukir indeks 9,05 poin. IPKnya terus merangkak naik hingga mencapai poin 9,8 pada survei TI tahun 1999. Pada tahun berikutnya negara ini menempati posisi teratas dengan IPK sempurna, yakni 10 poin. Pada tahun berikutnya, meskipun sempat sedikit mengalami penurunan, posisinya tetap jauh lebih baik dibandingkan ketika belum menerapkan UU KMIP (Grafik).
Dengan adanya kepastian hukum, proses pengambilan keputusan dan penggunaan anggaran negara yang sepihak dari pejabat publik dengan sendirinya bisa direduksi. Lembaga publik dan pejabat pemerintah bisa dikontrol setiap saat.
Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah produk hukum yang mengatur hak masyarakat atas informasi publik. Bahkan, UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya (Pasal 28F). Namun, aturan dasar tersebut tidak menjelaskan secara rinci jenis informasi yang boleh dan tidak boleh diakses.
Desakan agar dibuat ketentuan hukum yang mengatur kebebasan memperoleh informasi publik mulai gencar digaungkan saat Abdurrahman Wahid menjabat Presiden. Saat itu (30/8/ 2000) Indonesian Center for Enviromental Law menyerahkan Rancangan Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi. Beberapa bulan berikutnya (9/2/2001) 17 organisasi yang tergabung dalam Koalisi untuk Kebebasan Informasi juga menyampaikan konsep RUU KMIP kepada Badan Legislatif DPR.
Namun, hingga kini tidak ada perkembangan proses pembahasan draf RUU tersebut. Saat Yudhoyono menduduki kursi presiden dan gencar menjual komitmen dalam program kerjanya untuk memberantas korupsi, tuntutan legalisasi hak mengakses informasi publik kembali mencuat.
Pemerintah sendiri masih menyimpan kegamangan. Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan Djalil dalam Rapat Kerja Komisi I DPR (21/9) sempat mengutarakan kekhawatirannya jika RUU KMIP disahkan. Undang-undang ini mengandung konsekuensi birokrasi yang sangat kuat. Padahal, menurut Koordinator Lobi Koalisi Memperoleh Informasi Agus Sudibyo, tanpa UU KMIP perilaku korupsi akan lebih buruk dan kerugian negara dan masyarakat akan lebih besar.
Daerah lebih maju
Kesadaran pemerintah daerah di Indonesia atas keterbukaan informasi dan transparansi lembaga publik ternyata selangkah lebih maju dibandingkan dengan pemerintah pusat. Beberapa pemerintah daerah menyodok pemerintah pusat dengan peraturan daerah tentang transparansi dan partisipasi publik yang di dalamnya juga mengatur kebebasan masyarakat untuk mengakses informasi publik.
Perda tentang transparansi dan informasi tersebut sudah merangkum pasal progresif. Di sana sudah menjelaskan cukup rinci tentang jenis informasi yang bisa diakses publik serta informasi yang wajib diberikan setiap saat oleh lembaga publik. Bahkan, tercantum pula sanksi yang bisa dijatuhkan apabila ada pihak yang menyalahi aturan itu. Peraturan yang ditetapkan dalam Perda Kebebasan Informasi Kota Gorontalo menegaskan, pejabat yang sengaja menutup-nutupi informasi mengenai kegiatan pengelolaan Kota Gorontalo dapat dikenai hukuman enam bulan penjara atau denda Rp 5 juta.
Contoh lainnya adalah Kabupaten Solok. Kesadaran pemerintah daerah ditambah dorongan elemen masyarakat serta adanya fasilitas dari Bank Dunia dan UNDP membuat proses pembuatan perda transparansi berjalan mulus. Perda Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan dan Partisipasi Masyarakat Kabupaten Solok mengatur secara jelas dan rinci mekanisme akses informasi publik. Misalnya, bab empat perda tersebut yang mengatur informasi yang wajib diketahui masyarakat, secara jelas disebutkan aspek informasi kebijakan publik yang menjadi hak masyarakat (Pasal 5 Ayat 2).
Yang menarik untuk dipertanyakan adalah bagaimana jika ternyata perda yang sudah terbit lebih dahulu itu lebih progresif dibandingkan dengan RUU KMIP. Advisor Partnership for Governance Reform in Indonesia Mas Ahmad Santosa mengusulkan agar ada klausul dalam RUU KMIP yang menjamin bahwa jika perda transparansi lebih progresif dari RUU itu, diperbolehkan dan harus dianggap tak bertentangan.