Penanggulangan Korupsi dan Kolusi; Represif, Preventif, dan Pre-emptif [17/06/04]

Bagaimana pemahaman tentang pemberantasan korupsi di Indonesia, di masa akhir orde baru? Berikut ini adalah makalah Awaloedin Djamin yang pernah dimuat di Kompas, 29 April 1998...

Adalah sangat menyegarkan pernyataan politik para Menteri Kabinet Pembangunan VII tentang tekad untuk memberantas korupsi dan kolusi, yang memang telah memprihatinkan bangsa Indonesia. GBHN berkali-kali mengamanatkan agar aparatur pemerintah bersih, cakap dan berwibawa dengan menghapuskan korupsi dan penyalahgunaan jabatan.
Berbagai survei di luar negeri selalu memberikan tingkat tertinggi bagi Indonesia di bidang korupsi. Pakar-pakar Indonesia, bahkan pejabat pemerintah telah pula menyatakan, bahwa korupsi telah merugikan negara 30-50 persen dan telah mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Aparat pengawasan yang berlapis-lapis, dari Inspektorat Jendral Departemen, BPKP, Irjenbang, Bepeka dan Wakil Presiden sendiri (sampai Kabinet Pembangunan VI) serta penggalakkan pengawasan melekat, nyatanya tidak mampu menghadapi praktek korupsi dan kolusi selama ini.

Karena itu tekad Menperindag untuk menindak jajarannya yang menerima uang siluman, tekad Menteri Kehakiman untuk menghapus mafia peradilan, dan Jaksa Agung yang telah memiliki konsep serta aparat yang terlatih khusus untuk memberantas korupsi dan kolusi sangat memberi harapan.

Banyak yang tidak percaya ucapan almarhum Bung Hatta di tahun 70-an yang mengatakan, bahwa korupsi sudah membudaya di Indonesia. Korupsi telah merajalela dari kelas kakap sampai ke kelas teri (petit corruption).

Keberhasilan pelaksanaan kesepakatan RI-IMF untuk mengatasi krisis moneter tergantung dari keberhasilan Indonesia menanggulangi korupsi dan kolusi.

Korupsi dan kolusi
Definisi korupsi dan kolusi ada beraneka ragam, tergantung dari segi mana kita melihatnya. Yang jelas, korupsi dan kolusi adalah crime (kejahatan) atau perilaku menyimpang yang juga dikenal dengan istilah white collar crime. Perilaku manusia diatur oleh empat norma, yaitu norma agama, norma moral, norma sosial dan norma hukum. Yang ideal adalah manusia yang taat pada semua norma-norma tersebut, manusia yang demikian tidak akan berbuat jahat karena takut akan sanksi-sanksi yang melekat pada norma-norma tersebut. Norma agama sanksinya di akhirat. Norma moral, bila dilanggar, hati sanubari yang bersangkutan yang merasa bersalah. Norma sosial, sanksinya adalah dari masyarakat sendiri, dikucilkan, tidak dihormati dan sebagainya. Hanya norma hukum yang sanksinya ditentukan oleh negara.

Di Indonesia, telah timbul status sosial baru, di samping status sosial lama, seperti jabatan di pemerintahan, gelar kesarjanaan, gelar kebangsawanan atau kedudukan sosial lainnya.

Status sosial baru itu, adalah kekayaan, apalagi yang dipamerkan dengan gaya hidup mewah. Orang kaya telah menjadi terhormat terlepas dari mana asal usul kekayaan itu halal atau tidak halal.

Hukum mengatur korupsi dan kolusi dalam peraturan perundang-undangan. Penegak hukum hanya menjangkau korupsi sepanjang diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Orang yang korupsi tapi tidak takut sanksi agama, moralnya tidak merasa telah melakukan kejahatan dan tidak perduli pandangan masyarakat, hanya dapat dijerat dengan norma hukum.

Sebenarnya, sejak dahulu ahli-ahli kriminologi, psikologi dan lain-lain telah mencoba menjawab kenapa seseorang berbuat jahat (Why do people commit crime). Bermacam-macam teori telah lahir untuk menjawabnya. Ada teori yang berdasarkan pola keturunan, ada yang mengatakan karena bentuk fisik (physical appearance), ada pula pada umur. Yang terbanyak adalah teori yang menganggap lingkunganlah yang paling mempengaruhi kenapa seseorang berbuat jahat, termasuk korupsi dan kolusi. Pepatah kuno Belanda mengatakan gelegenheid maakt de dief, (kesempatan yang membuat seseorang menjadi maling). Siswa kepolisian diajarkan, bahwa Niat (N) dan Kesempatan (K) yang memungkinkan seseorang berbuat jahat. Kriminolog ada yang berpendapat bahwa kemiskinan merupakan sebab utama seseorang berbuat jahat.

Seperti juga dengan kejahatan lain, korupsi pun sudah ada sejak dahulu kala. Bedanya dengan abad teknologi modern sekarang, seseorang dapat dalam sekejap memerintah komputer untuk memindahkan berjuta-juta dollar, dan secara elektronis dapat memalsu aset dan penerimaan. Sutherland, pakar kriminologi, mengatakan bahwa korupsi dan kolusi dilakukan oleh orang-orang yang menduduki status sosial yang tinggi karena jabatan dan kekuasaannya. Karena itu, Senator Paul Douglas di Amerika Serikat, dalam bukunya Ethics in Government menyatakan bahwa di samping pencurian, penggelapan dan pemalsuan, korupsi sering terjadi pada jabatan-jabatan yang action laden, yaitu:

1. Jabatan-jabatan yang berkaitan dengan penerimaan negara (revenue earning units), karena dapat kolusi misalnya dengan pembayar pajak, bea cukai, bantuan luar negeri dan lain-lain.
2. The big spenders di mana instansi memiliki proyek-proyek yang besar biayanya, karena dapat kolusi mengenai komisi, sehingga biaya proyek menjadi lebih tinggi dari semestinya.

3. Wewenang perizinan dalam arti luas (termasuk wewenang pemberian lisensi, kredit, wewenang hakim dalam peradilan, wewenang dalam pemilihan pejabat dan anggota legislatif, kenaikan pangkat dan lain-lain).

Merugikan rakyat
Di Amerika Serikat yang sudah terdapat transparansi dan akuntabilitas yang mantap, korupsi di bidang bisnis saja telah merugikan negara sampai 30 milyar dollar AS.

Korupsi di negara yang sedang berkembang sangat mempengaruhi pembangunan nasional dan yang dirugikan adalah rakyat banyak, jadi beda dengan kejahatan tradisional yang korbannya orang per orang.

Korupsi dan kolusi di Indonesia telah membawa akibat pada pembangunan, termasuk krisis moneter dewasa ini, namun kasus yang diketahui sangat terbatas sekali. Dark number korupsi dan kolusi jauh lebih besar dari dark number kejahatan tradisional.

Karena itu penanggulangan korupsi dan kolusi, sama halnya dengan kejahatan pada umumnya harus sekaligus dilakukan di bidang represif, preventif dan pre-emptif, sebab to prevent is better than to cure.

Akan lebih melegakan masyarakat bila di samping Menteri Kehakiman, Jaksa Agung dan Menperindag, juga lain-lain menteri, gubernur dan bupati menyatakan akan menghapus korupsi di bidang masing-masing, termasuk kemungkinan kolusi dengan pihak swasta di berbagai bidang. Memang, pemberantasan korupsi dan kolusi harus dimulai dari atas, sebab dalam budaya panutan bila guru kencing berdiri, murid akan kencing berlari.

Bila hukum tidak dapat menjangkau koruptor, maka moral pejabat, hati sanubarinya hendaknya berdetak, bahwa yang diterimanya di luar gaji dan tunjangan, baik berupa uang, barang, jasa ataupun janji imbalan di kemudian hari, sebenarnya adalah korupsi yang merugikan negara dan rakyat. Ini termasuk pre-emptif.

Preventif, di samping pengawasan yang efektif aparat fungsional juga oleh DPR, media massa dan perguruan tinggi. Untuk itu perlu ada transparansi dalam persyaratan, prosedur, wewenang serta pertanggungjawaban pejabat, baik perizinan, pengeluaran negara dan lain-lain. Juga gaji dan kesejahteraan pejabat dan pegawai negeri perlu diperhatikan.

Represif, menindak dan menghukum koruptor kelas kakap, akan mempunyai efek preventif bagi koruptor potensial.

Masyarakat menunggu realisasi dari pernyataan para menteri dan Jaksa Agung dalam pemberantasan korupsi dan kolusi ini, khususnya di bidang represif. Di samping itu penataan bidang preventif dan pre-emptif kiranya segera dipersiapkan oleh Menko Wasbang/ PAN, yang dalam Kabinet Pembangunan VII bertugas di bidang ini. Penataan ini memerlukan koordinasi dengan instansi terkait serta pemanfaatan keahlian para pakar berbagai disiplin.

Bila ini benar-benar terlaksana, maka lima tahun mendatang, korupsi dan kolusi akan dapat ditekan serendah mungkin di Indonesia, dan seperti diharapkan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita, bila badai krisis moneter berlalu, pertumbuhan pembangunan kita akan lebih tinggi dari sebelumnya, karena aparat pemerintah sudah lebih bersih.(Awaloedin Djamin, Dekan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta. )

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan