Penangguhan Harus Disetujui Jaksa Agung

Para jaksa di daerah tak bisa lagi bebas mengubah status dan pengalihan penahanan tersangka. Sebab, kini ada aturan setiap penangguhan dan pengalihan jenis penahanan tersangka, termasuk kasus korupsi, harus dilaporkan dulu kepada jaksa agung untuk mendapat persetujuan.

Aturan itu tertuang dalam surat edaran (SE) bernomor 005/A/JA/09/2006 yang ditandatangani pada 7 September 2006. SE itu memuat tiga poin penting. Pertama, setiap penangguhan penahanan terhadap tersangka (vide pasal 31 ayat 1 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), wajib dilaporkan untuk mendapat persetujuan jaksa agung.

Kedua, setiap pengalihan jenis penahanan satu ke jenis penahanan lain terhadap tersangka (vide pasal 23 ayat 1 UU No 8 Tahun 1981) juga wajib dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan jaksa agung. Kecuali, pengalihan jenis penahanan kota atau rumah menjadi tahanan rutan (rumah tahanan, Red), kata Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam SE-nya.

Menurut jaksa agung, ketentuan itu berlaku untuk semua kasus yang ditangani jaksa, baik sebagai penyidik maupun penuntut umum alias JPU. Kebijakan tersebut didasarkan pasal 2 ayat 3 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan.

Wakil Jaksa Agung Basrief Arief mengakui, SE tersebut merupakan revisi ketentuan serupa yang dikeluarkan pada Februari 2006. Kami merevisi karena ada permintaan DPR, jelas Basrief.

Dikritik DPR
Aturan baru tentang perubahan dan penangguhan status tahanan tersangka itu mendapat sorotan DPR. Gayus Lumbuun, anggota Komisi III, mengatakan, SE memandulkan kemandirian kejaksaan. Selain itu, ketentuan tersebut menimbulkan permasalahan birokrasi baru dalam penanganan kasus, khususnya yang ditangani kejaksaan di daerah.

Gayus memberi contoh sebuah kasus di Papua yang tersangkanya sakit keras sehingga perlu penahanannya ditangguhkan. Mengacu pada ketentuan itu, jaksa setempat harus melapor dulu dan menunggu persetujuan jaksa agung untuk mengalihkan penahanannya. Ini jelas menimbulkan birokrasi yang memunculkan permasalahan baru, jelas anggota FPDIP itu.

Selain itu, lanjut Gayus, ketentuan tersebut bertentangan dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Dalam KUHAP, penangguhan dan pengalihan penahanan tersangka tidak harus disetujui jaksa agung, tetapi didasarkan perundang-undangan.

Menurut dia, kalangan anggota DPR dalam raker mempertanyakan SE, tetapi jaksa agung mengabaikannya. Alasan jaksa agung, pengaturan penangguhan dan pengalihan penahanan merupakan permasalahan internal kejaksaan. Dia berpegang pada ketentuan yang menyebutkan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan