Penanganan Korupsi di Kepolisian

Rumus pemberantasan korupsi, menurut Arya Maheka (Komisi Pemberantasan Korupsi), adalah pencegahan, penindakan, dan peran masyarakat.

Kata kuncinya supremasi hukum. Tapi penegakan hukum di negeri ini selalu tidak konsisten. Penegakan hukum sebatas makeup politik yang selalu berubah seiring dengan pergantian pemerintah dan kekuasaan. Salah satu institusi, penjaga gawang penegakan hukum yang setiap hari selalu berlumuran darah kotor perilaku korupsi, adalah kepolisian. Praktek korupsi di institusi ini sangat jelas, rutin, dan terbuka. Karena itu, perlu ada upaya mengatasi--paling tidak meminimalisasi.

Setiap hari tidak sedikit masyarakat yang menyaksikan transaksi perilaku korupsi dalam institusi ini. Tapi semua diam. Masyarakat, yang menurut rumus pemberantasan korupsi Arya Maheka, memiliki peran sangat penting dan strategis, ternyata tidak mampu memainkan perannya dalam praktek kehidupan riil. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Paling tidak ada tiga hal yang bisa menjelaskan fenomena ini. Pertama, ada kemungkinan masyarakat takut berhadapan dengan mereka karena trauma dengan praktek politiknya selama rezim pemerintah otoriter Orde Baru yang sangat seram dan menindas. Kedua, bisa jadi masyarakat yang menyaksikan praktek korupsi oleh institusi ini memang merupakan bagian dari mata rantai perilaku korupsi itu. Ketiga, bisa pula masyarakat kurang memiliki sense pada perilaku korupsi, meski sangat merugikan kehidupan berbangsa. Karena itu, perilaku korupsi dalam institusi ini menjadi kian tumbuh subur dan kronis.

Pola korupsi yang acap kali terjadi dalam institusi ini adalah pembuatan surat izin mengemudi; tilang bagi kendaraan, baik mobil maupun sepeda motor, yang melanggar lalu lintas; dan segala jenis pelanggaran lainnya. Perilaku korupsi juga terjadi dalam proses perpanjangan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor dan pengurusan surat-surat lainnya yang melibatkan institusi ini. Ada kesan institusi ini memiliki proyek tahanan dan sebagainya yang kondisinya sangat memilukan.

Saya kira semua masyarakat pernah berurusan dengan institusi kepolisian. Tapi yang amat terasa terutama dalam dunia bisnis, hal-hal yang menyangkut kendaraan bermotor. Telah menjadi rahasia umum, setiap orang yang hendak membuat SIM selalu dan pasti mengalami kesulitan. Tes kemampuan berkendaraan dan ujian tertulisnya dipersulit serta tidak transparan, tingkat kelulusannya pun sangat minim sehingga mendorong seseorang mencari jalan belakang (korupsi) meskipun harganya lebih mahal. Dalam konteks inilah perilaku korupsi di institusi ini berjalan dari tahun ke tahun hingga kini. Ironis bukan, ternyata perilaku korupsi tumbuh subur di ketiak institusi penegak hukum sendiri.

Untuk memperpanjang BPKB pun banyak masyarakat yang mengalami kesulitan. Prosesnya relatif lama, karena dalam sistem pelayanannya terdapat virus korupsi. Salah satu penghambatnya adalah biro jasa yang kongkalikong dengan institusi terkait. Seseorang bisa menunggu berjam-jam, bahkan seharian di depan loket tanpa dilayani karena petugas loket mengerjakan berkas milik para calo dengan kedok biro jasa itu. Jumlahnya disinyalir sangat banyak sehingga berkas perorangan selalu dikesampingkan. Pertanyaannya, mengapa mereka cenderung lebih mengerjakan perpanjangan BPKB yang diajukan biro jasa atau calo? Adakah korupsi di balik semua ini?

Bahkan di ruang terbuka, seperti di jalan raya, tidak sedikit aparat institusi ini yang memeras warga negara dengan menilang para pengendara kendaraan bermotor. Ironisnya, sanksi yang diberikan justru berada di luar jalur hukum. Biasanya mereka meminta pengendara membayar sejumlah uang agar tidak ditilang dan masyarakat pun menuruti permintaannya sebagai jalan pintas karena malas berurusan dengan mereka.

Korupsi yang sangat terang-terangan juga terjadi di ruang tahanan. Tentu saja yang banyak mengetahui dan merasakan hanyalah mereka yang pernah ditahan atau ada keluarga yang dipenjara. Hal inilah yang pernah dikeluhkan seorang kawan ketika menjenguk keluarganya di salah satu ruang tahanan di institusi ini di Jakarta. Menurut dia, untuk bisa masuk, bertemu dengan keluarganya, mereka harus membayar Rp 10 ribu atau Rp 15-20 ribu setiap orang. Belum lagi kalau ingin diperlakukan istimewa, tentu bayarnya amat mahal.

Seperti telah penulis jelaskan bahwa rumus pemberantasan korupsi menuntut supremasi hukum dan peran masyarakat, maka untuk meminimalisasi perilaku korupsi dalam institusi kepolisian ini menuntut kerja ekstrakeras. Salah satunya adalah reformasi birokrasi pembelian kendaraan bermotor. Seseorang yang hendak membeli kendaraan mesti memiliki SIM, yang prosesnya menjadi satu paket dengan pembelian kendaraan itu. Sementara itu, perpanjangan BPKB mesti bisa diproses melalui layanan perbankan. Dengan demikian, akan terjadi pengurangan transaksi korupsi di jalan-jalan, karena semua pengendara memiliki SIM dan perpanjangan BPKB bisa dilakukan tanpa harus berhadapan dengan institusi korup.

Tentu saja peran serta masyarakat di balik semua ini memiliki arti yang sangat penting. Tanpa kontrol sosial masyarakat dan kesediaan birokrasi di kepolisian untuk diawasi, mustahil misi ini bisa dilakukan. Saya kira, karena ini menyangkut institusi kepolisian yang secara politik sangat krusial, sebaiknya Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi bisa melakukan intervensi.

Mohammad Yasin Kara, ANGGOTA DPR DARI FRAKSI PARTAI AMANAT NASIONAL

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 23 Agustus 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan