Pemisahan Aset; Fatwa MA Bisa Hambat Pemberantasan Korupsi
Badan Pemeriksa Keuangan menilai fatwa Mahkamah Agung tentang pemisahan aset negara (BUMN) dengan aset perusahaan milik negara bisa menghambat upaya BPK menjalankan peran melakukan audit keuangan negara. Apalagi jika fatwa itu dijadikan dasar bagi revisi Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.
Jika BPK tidak bisa lagi mengaudit penyimpangan keuangan negara, artinya juga mengurangi upaya BPK memberantas korupsi. Sebab, kalau ada kerugian di aset perusahaan milik negara, BPK tidak bisa lagi menyatakannya sebagai tindak pidana korupsi, tetapi perdata, ujar juru bicara BPK Baharuddin Aritonang di Jakarta, Senin (2/10), menanggapi adanya fatwa MA tentang pemisahan aset negara dengan aset perusahaan milik negara dan telah ditandatanganinya revisi PP No 14/2005.
Oleh karena itu, BPK akan mempertanyakan tujuan fatwa itu dalam pertemuannya dengan MA pada Kamis, 12 Oktober. Bahkan, BPK juga tengah mengkaji kemungkinan meminta uji materi (judicial review) atas fatwa itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Baharuddin, fatwa MA dan revisi PP No 14/2005 itu bertentangan dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam kedua UU itu, yang termasuk uang negara termasuk juga uang atau aset negara yang dipisahkan. Bagaimana fatwa MA bisa membatalkan dua UU itu? katanya.
Fatwa merupakan pendapat atau pertimbangan dari MA. Dalam UU No 14/1985 tentang MA, masalah fatwa sama sekali tidak diatur. Namun, dalam Pasal 37 UU MA disebutkan bahwa MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, diminta maupun tidak.
Akan tetapi, Baharuddin mengakui, MK juga tidak bisa melakukan pengujian atas fatwa MA. Sesuai dengan Pasal 1 UU No 24/2003, wewenang MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran partai politik, perselisihan hasil pemilu, dan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat dalam menilai presiden dan wakil presiden melanggar hukum atau melakukan kesalahan atau perbuatan tercela. (har)
Sumber: Kompas, 4 Oktober 2006