Pemilu Mahal dan Investasi Korupsi

BERDASAR analisis para pengamat politik, ekonom dan pakar pemasaran menyimpulkan bahwa Pemilu 2009 ini adalah pemilu termahal dalam sejarah di Indonesia. Perkiraan kasar dana kampanye untuk anggota DPR mencapai Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar, DPRD provinsi (Rp 700 juta-Rp 1 miliar), serta DPR kabupaten dan kota (Rp 400 juta-Rp 500 juta).

Pertanyaannya, apakah pemilu yang begitu mahal ini akan bisa melahirkan spirit perubahan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik setelah pemilu? Atau justru akan menjadi embrio (investasi) korupsi politik pada masa mendatang?

Kalau pertanyaan pertama bisa dijawab dengan tegas bahwa pemilu akan mendorong percepatan terciptanya pemerintahan yang bersih dan baik, mahalnya pemilu dianggap ongkos wajar yang akan membawa harapan lebih baik bagi masa depan bangsa.

Namun, bila pertanyaan kedua yang menjadi jawaban, yakni pemilu hanya menjadi investasi korupsi pada masa depan, mahalnya pemilu akan membuat bangsa ini semakin sengsara. Korupsi politik yang hingga kini menjadi penyakit akut tidak semakin sembuh, tapi semakin mengkhawatirkan dan semakin lebar sebarannya. Inilah hal yang harus kita cermati bersama agar semangat melaksanakan Pemilu 2009 tidak melenceng dari roh dan cita-citanya.

Pemilu bukanlah jual beli suara pemilih dan perebutan kursi DPR. Lebih jauh, pemilu merupakan mekanisme seleksi pemimpin-pemimpin bangsa yang akan mendapat mandatori dari rakyat. Dengan prime seperti itu, diharapkan dari pemilu ke pemilu akan mampu meningkatkan terpilihnya para wakil rakyat, baik secara kualitas keilmuan maupun moralitasnya.

Investasi Korupsi
Bila dikalkulasi secara matematis, dana yang dikeluarkan para caleg dengan besaran gaji resmi yang akan diterima bila sudah duduk di gedung wakil rakyat tidaklah menguntungkan. Orang bilang ora cucuk (tidak memadai).

Untuk caleg DPR, dana kampanye yang dikeluarkan Rp 1,5 miliar-Rp 2 miliar, DPRD provinsi (Rp 700 juta-Rp 1 miliar), serta DPR kabupaten dan kota (Rp 500 juta-Rp 600 juta). Sedangkan gaji resmi dewan selama lima tahun adalah DPR Rp 30 juta x 12 x 5 = Rp 1,8 miliar. DPRD provinsi Rp 15 juta x 12 x 5 = Rp 900 juta. DPRD kabupaten/kota Rp 9 juta x 12 x 5 = Rp 540 juta. Itu belum dipotong pajak dan potongan dari partai politik yang biasanya berkisar 15-25 persen.

Dengan hitungan kasar seperti itu, sebenarnya apa yang mau dicari oleh para caleg saat terpilih nanti? Kalau mencari profit, besaran gaji resminya tidaklah terlalu ideal. Kalau murni ingin memperjuangkan nasib rakyat, rasanya pada zaman yang serba materialistis ini, sulit ditemukan manusia yang mau mengeluarkan dana begitu besar hanya demi untuk cita-cita yang mulia tersebut.

Dalam konteks inilah patut diduga, jangan-jangan para caleg yang beberapa pekan lalu bertarung mati-matian di medan kampanye pemilu itu tidak pernah menghitung gaji resmi yang akan diterima. Mereka lebih membidik tumpukan uang di luar gaji resmi. Bila demikian adanya, jabatan yang diemban nanti tidak bisa mengurangi kecenderungan penyalahgunaan wewenang yang ada saat ini. Yang terjadi mungkin malah lebih ngeri.

Beberapa pertemuan dengan para caleg saat sosialisasi pengawasan dan pentingnya pelaporan dana kampanye di Jawa Tengah, beberapa pekan sebelum pemilu 9 April dilaksanakan, saat penulis memaparkan data-data tersebut, ternyata ada respons lain yang diajukan.

Mereka menjawab, meskipun gaji resminya kecil, kenyataannya para anggota dewan bisa membeli mobil mewah, rumah bagus, dan banyak yang bisa membuka bisnis yang hal itu sulit dikerjakan sebelum mereka menjadi anggota dewan.

Fakta perubahan dan peningkatan taraf hidup para anggota dewan setelah menjabat 5-10 tahun itulah yang menjadi inspirasi mereka. Mereka tergiur pada realitas bahwa seseorang yang sudah menjadi anggota dewan akan mampu mengerjakan banyak hal dan akan mendatangkan uang. Penulis takut kalau sampai beberapa kasus yang diuraikan tersebut menjadi motivasi dan spirit sebagian besar para caleg, termasuk yang sekarang hampir pasti terpilih.

Kekhawatiran ini sebenarnya tidak terlalu mengada-ada. Saat ini kita melihat dengan mata kepala sendiri, untuk mendapat kursi dewan, cara yang ditempuh para caleg sudah tidak rasional. Mereka berani jor-joran memasang iklan di media cetak maupun elektronik, memasang baliho, gambar, stiker, pamflet, serta atribut kampanye lainnya secara besar-besaran. Dana dalam bentuk sumbangan kepada masyarakat pun terus mengalir demi mendulang suara pemilih.

Bagi yang memiliki uang, mungkin tidak terlalu susah mencari dana. Lalu, bagaimana dengan mereka yang belum memiliki cukup uang? Bisa saja mereka mengutang atau mencari sponsor. Untuk yang terakhir, akan sangat berbahaya karena mereka yang bermodal uang dari sponsor dan dalam jumlah besar tidak mungkin gratis. Pasti ada kompensasi-kompensasi dan mereka akan membayar lewat kebijakan-kebijakan politik yang lebih menguntungkan sponsor.

Karena itu, tidak menutup kemungkinan gedung dewan nanti dipenuhi calo-calo kebijakan. Mereka duduk di kursi dewan hanya untuk menjalankan instruksi-instruksi sponsor. Dengan demikian, mahalnya dana kampanye, baik yang dari modal sendiri apalagi yang dari sponsor, akan sangat membuka peluang bagi terjadinya investasi korupsi pada masa depan.

Para pemodal besar tidak perlu membikin partai untuk memenangkan pertarungan di DPR, tapi lebih taktis lewat membeli para wakil rakyat. Inilah kekhawatiran kita atas mahalnya dana kampanye pemilu kali ini.

Jabir Alfaruqi, koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 1 Mei 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan