Pemilu, Korupsi dan Hutan

Pemilihan Umum 2009 sudah sangat dekat, tinggal hitungan hari.  Banyak hal terus menjadi perdebatan. Namun, sebagian besar wilayah pembicaraan agaknya tidak akan terlalu jauh dari soal partai politik, kampanye, audit dana partai, dan slogan perubahan.Tanpa mengurangi arti dan tingkat kepentingan poin-poin tersebut, agaknya banyak pihak lupa tentang satu sisi sederhana dibalik adminitrasi dan pencetakan Surat Suara oleh KPU.

Dalam salah satu dinding (wall) program jejaring dunia maya facebook tertulis “800 juta lembar surat suara se-Indonesia. Berapa juta pohon yang ditebang hanya untuk memilih orang yang sebagiannya akan menjadi maling?” Status, ide atau pernyaan seseorang yang sesungguhnya ditujukan untuk publik di website yang sangat familiar ini tentu sedikit menggelitik, bahkan hampir-hampir menyiratkan pesimisme terhadap hal yang paling tekhnis pada penyelenggaraan pemilu.

Namun, sesungguhnya pernyataan tersebut sedang bicara tentang dua hal yang sangat prinsip. Pertama, Pohon yang berkorelasi pada hutan, deforestasi atau mungkin bahkan ancaman ekologis. Dan, Kedua, Maling. Poin ini agaknya punya relevansi dengan istilah Korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPR, kader partai politik dan bahkan calon anggota legisaltif.

Sadar ataupun tidak, pencetakan surat suara dan kebutuhan administratif lainnya yang menggunakan kertas, tisu termasuk listrik akan berimplikasi serius terhadap ekologi kita. Secara sederhana, penghitungan tentang beban lingkungan hidup dan hutan terhadap pencetakan suarat suara cukup mengejutkan.

Dari data KPU terlihat kebutuhan Surat Suara adalah sekitar 800 juta lembar, tidak termasuk yang rusak dan dibakar. Menurut aturan KPU ukuran surat suara 54x84 cm, dan jenis kertas harus baik HVS 80 gr (Peraturan KPU No.34/2008).

Untuk membuat 800 juta surat suara berapa batang pohon yang ditebang? Mengacu pada penghitungan Rainforest Informations Center (RIC), kira-kira 10 sampai 17 pohon dibutuhkan untuk menghasilkan 1 ton kertas ukuran koran, atau sekitar 7.000 lembar. Maka, untuk kebutuhan surat suara, diperkirakan kita butuh lebih dari 1 juta pohon. Perhitungan ini belum termasuk kertas, kain dan plastik yang digunakan sebagai bahan poster, kartu nama, baliho dan pernak-pernik kampanye lainnya di seluruh Indonesia. Tentu saja hal ini akan sengat berpengaruh langsung ataupun tidak terhadap laju deforestasi hutan Indonesia.

Sementara kita tahu, dalam 50 tahun terakhir, menurut data Lembaga Tunas Hijau, lebih dari 60 miliar pohon di Indonesia ditebang dan dibakar. Demikian juga dengan laju deforestasi hutan Indonesia yang mencapai angka 9,4 juta hektar dari 2000-2005 (FAO, 2007).

Korupsi Legislatif
Poin kedua yang disinggung adalah soal “Maling”. Kurang lebih mengingatkan publik pada fenomena dua tahun terakhir ini. Sejumlah anggota legislatif yang dipilih pada Pemilu 2004 ternyata Koruptor, atau minimal sudah tertangkap tangan oleh KPK saat menerima Suap. Ada sejumlah nama dari berbagai partai politik yang sudah diproses KPK. Sebut saja, Abdul Hadi Djamal, Anthoni Zeidra Abidin, Hamka Yandhu, Noor Adenan Razak, Bulyan Royan, Al Amien Nasution, Sarjan Taher, Yusuf Emir Faisal dan Saleh Djasit.

Tiga diantara delapan tersebut merupakan anggota dewan pada periode 1999-2004, dan sisanya duduk di DPR periode saat ini. Sebagian besar lainnya bahkan diduga terkait dalam beberapa kasus korupsi yang juga ditangani KPK.

Di tingkat daerah pun kurang lebih sama. Dari 1421 terdakwa kasus korupsi yang terpantau Indonesia Corruption Watch pada tahun 2005-2008, sekitar 400 orang teridentifikasi sebagai kader partai politik yang duduk di kursi DPRD. Apakah hal yang sama akan terulang di Pemilu 2009?

Suap dan rekayasa anggaran adalah modus umum yang hampir selalu berhubungan dan kait mengkait dengan pemenuhan kepentingan kelompok bisnis. Biasanya terkait dengan proyek-proyek pembangunan dan pengadaan barang; kebijakan ahli fungsi status hutan; dan bahkan upaya menghambat penyelesaian proses hukum seperti BLBI. Masalahnya, sebagian besar proyek yang dikorupsi terkait dengan pemenuhan hak-hak mendasar rakyat Indonesia dan sebagiannya lagi terkait dengan degradasi Lingkungan Hidup dan Hutan.

Kasus Aliran Dana Bank Indonesia, misalnya. Fakta persidangan pengadilan tipikor jelas mengungkapkan adanya “persekongkolan” dan penggunaan dana publik (BI/YLPPI) untuk kepentingan gratifikasi terhadap sejumlah anggota DPR, oknum kejaksaan dan bahkan advokat tertentu. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menyelesaikan kasus BLBI secara politis dan diseminasi amandemen undang-undang Bank Indonesia.

Demikian juga dengan kasus yang terkait dengan Alih fungsi hutan lindung di Bintan, Tanjung api-api, dimana terdapat aliran uang terhadap anggota DPR untuk memuluskan kebijakan  dan pemberian konsensi tertentu. Baru-baru ini, anggaran dana stimulus pun tidak luput dari jarahan kelompok koruptif di DPR.

Kelakuan wakil rakyat yang sangat buruk tersebut tentu saja sangat menyakitkan publik. Padahal, mereka adalah orang yang dipilih rakyat pada pemilihan umum. Setiap kursi DPR rata-rata butuh 210 ribu suara. Di titik inilah, praktek korupsi legislatif adalah wujud pengkhianatan terhadap kepercayaan yang diberikan ratusan ribu rakyat yang memilih mereka.

Pada pemilu 2009, seharusnya rakyat mempunyai kekuatan untuk mengganti rezim dan orang-orang korup tersebut. Hak untuk memilih adalah kekuataan yang diberikan konstitusi untuk mengawasi secara periodik kinerja para wakil rakyat. Tentu kita tidak ingin, Senayan dihuni sekelompok koruptor dan politisi busuk.

Sehingga, agaknya ajakan sederhana untuk memilih orang-orang yang bersih dan berkomitmen dengan pemberantasan korupsi tetap harus didengungkan. Pemilu 2009 yang akan dilakukan beberapa hari lagi harusnya menjadi momentum bagi masyarakat pemilih untuk menyingkirkan orang-orang dan Partai Politik yang hanya mencari keuntungan dibalik legitimasi rakyat.

Oleh: FEBRI DIANSYAH, Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW

Tulisan ini disalin dari Koran Seputar Indonesia, 2 April 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan