Pemilihan Kepala Daerah dan Deforestasi

Deforestasi di negara hutan tropis menyumbangkan emisi hampir seperlima dari keseluruhan emisi gas rumah kaca (GRK) dunia, sehingga menjadi salah satu penyebab berbagai bencana iklim dan mengancam punahnya ciptaan Tuhan. Salah satu sumber emisi karbon dari kegiatan deforestasi dunia adalah di kawasan hutan dan lahan gambut Indonesia, yang menurut statistik Kementerian Kehutanan mengalami laju perusakan antara 1,1 juta dan 2 juta ha per tahun dalam dua dekade terakhir. Besarnya laju deforestasi yang mencapai luas dua kali Pulau Bali setiap tahun menjadi sumber utama emisi GRK Indonesia.

Faktor utama emisi dari deforestasi adalah 1) kebakaran hutan dan lahan gambut, 2) konversi hutan dan gambut menjadi lahan perkebunan, pertambangan, dan tata guna lahan yang lain, serta 3) degradasi hutan akibat pencurian kayu dan pengelolaan kegiatan pembalakan kayu (HPH) yang buruk. Upaya mengeringkan lahan gambut untuk diolah sebagai lahan pertanian menyebabkan lepasnya emisi karbon dalam jumlah besar. Di dalam lapisan gambut banyak tersimpan gas karbon. Ketika lahan gambut mengering, lahan tersebut menjadi rentan terbakar, seperti pada saat terjadi kebakaran hutan pada 1997 dan 1998, di mana emisi karbon yang dihasilkannya berkali lipat dari emisi semua pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di Indonesia. Karena itu, laju deforestasi di Indonesia sering kali menjadi perdebatan dunia karena kontribusi emisinya yang signifikan.

Studi terbaru London School of Economics (LSE, Januari 2011) yang berjudul "The Political Economy of Deforestation in the Tropics" menunjukkan keterkaitan erat antara politik ekonomi dan laju deforestasi di Indonesia. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah kawasan administrasi pemerintahan (pemekaran wilayah) kabupaten di beberapa provinsi dengan kawasan hutan yang luas memicu percepatan laju deforestasi. Analisis data satelit membuktikan bahwa dua tahun menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada), pembalakan liar di kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung meningkat tajam. Sedangkan untuk hutan konversi, pembalakan meningkat tajam setahun sebelum dan sesudah pilkada berlangsung.

Pemekaran wilayah sebagai akibat dari otonomi daerah merupakan hal yang tidak dapat terelakkan. Peraturan-peraturan otonomi daerah yang secara efektif diberlakukan sejak 2001 telah meningkat secara dramatis hampir di seluruh sektor pemerintahan. Secara teori, desentralisasi merupakan pengejawantahan demokrasi pada tingkat lokal. Kebijakan ini dilakukan untuk mengusung proses pengambilan keputusan yang dapat dikendalikan oleh masyarakat penerima manfaat kegiatan pembangunan itu sendiri. Agar upaya melakukan desentralisasi pemerintahan berhasil, diperlukan tata kelola pemerintahan yang baik serta sistem politik dan kontrol sosial yang kuat di daerah. Dalam kurun 11 tahun (1998-2009), jumlah pemekaran wilayah meningkat secara drastis. Jumlah kabupaten tercatat meningkat tajam dari 291 menjadi 498 kabupaten.

Dampak dari pemekaran wilayah di tingkat kabupaten dan provinsi teramati secara ilmiah dalam studi citra satelit yang dilakukan London School of Economics (LSE). Pemekaran wilayah dan pilkada secara langsung di tingkat kabupaten dan kota madya memicu politik rente yang meningkatkan laju deforestasi. Pengamatan citra satelit menunjukkan perubahan tutupan hutan selama 8 tahun berturut-turut, di mana teramati peningkatan pembalakan liar di kawasan hutan konservasi serta hutan lindung menjelang dan pada tahun dilangsungkannya pilkada.

Data tutupan hutan tahunan 2000-2008 dengan menggunakan satelit MODIS dapat menunjukkan peningkatan deforestasi sejalan dengan peningkatan jumlah distrik yang mengalami proses pemekaran. Secara keseluruhan kenaikan deforestasi rata-rata adalah 7,8 persen pada setiap penambahan distrik. Kenaikan drastis pembukaan lahan (deforestasi) di area hutan konservasi dan lindung saat pilkada mencapai 29 persen pada masa dua tahun sebelum pemilihan dan meningkat menjadi 42 persen setahun sebelum pemilihan. Kenaikan deforestasi meningkat tajam pada hutan konversi, yaitu 40 persen, saat berlangsungnya pilkada dan 57 persen pada kurun satu tahun setelah pilkada berlangsung.

Banyak orang berpendapat bahwa penyelenggaraan pilkada membebani anggaran pendapatan dan belanja daerah, tapi pada prakteknya sering ditemukan para calon yang bersaing di pilkada harus mengeluarkan dana dari koceknya sendiri untuk memperoleh dukungan partai politik sebagai calon dan ketika melakukan kampanye. Tidaklah mengherankan bila para kontestan pilkada menjanjikan pemberian konsesi pengelolaan hutan, kebun sawit, atau pertambangan kepada sumber pendanaan mereka sebagai pembayaran utang terhadap dana yang digunakan untuk memenangi pilkada. Meningkatnya laju perusakan hutan akibat pembiayaan kegiatan pemenangan pilkada sudah menjadi rahasia umum, meskipun baru pertama kali diangkat secara ilmiah oleh LSE.

Dalam rangka menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen dengan biaya sendiri, atau hingga 41 persen bila ada dukungan internasional, perlu dilakukan penurunan emisi melalui pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan, termasuk di lahan gambut. Fakta menunjukkan bahwa deforestasi merupakan sumber emisi yang paling besar di Indonesia, sehingga yang diperlukan adalah kesungguhan upaya untuk mengurangi faktor yang memicu deforestasi.

Untuk mencegah utang kampanye pilkada, diperlukan perbaikan Undang-Undang Pemilihan Umum yang membatasi kegiatan kampanye para kontestan dengan tetap menjamin prinsip keterbukaan dan keadilan dalam sebuah pemilihan umum. Bila setiap calon diberi waktu kampanye yang sama tanpa harus membayar, baik di media cetak maupun elektronik, pilkada pada masa depan memberikan keadilan kesempatan untuk dikenal oleh para pemilih terlepas dari kemampuan keuangan calon yang bersangkutan.

UU Pemilu perlu memperbaiki aturan main pilkada, sehingga para calon yang berkualitas dan jujur dapat bersaing dengan calon-calon yang kaya atau yang nekat membuat komitmen utang dengan menggadaikan kekayaan alam daerahnya kepada para sponsor pendanaan mereka. Upaya reformasi pilkada adalah bagian dari upaya mengurangi emisi karbon Indonesia yang bersumber dari sektor kehutanan dan lahan gambut.

Pembiayaan air time atau space di media elektronik dan cetak dapat dianggarkan dalam pembiayaan pilkada di APBN dan APBD. Para kontestan perlu dilarang untuk membuat billboard dan atribut kampanye yang mahal serta surat suara bisa dibuat hitam-putih sehingga biaya pilkada tidak membengkak. Pilkada adalah kegiatan demokrasi untuk memilih kepala daerah yang berkualitas dan jujur, bukan untuk mengukuhkan dominasi kelompok elite dan kaya di daerah maupun pusat.

Keberhasilan meningkatkan kualitas demokrasi dapat sekaligus memberi dampak positif pada peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam. Menggelar pilkada adalah sebuah konsensus nasional, sehingga proses penguatan demokrasi ini perlu dilanjutkan dengan melakukan perbaikan tata cara pilkada. Hal yang perlu dicegah adalah kembalinya pengelolaan sumber daya alam yang dibagi-bagi oleh penguasa kepada para kroni. Mari kita wujudkan demokrasi yang adil sembari meningkatkan kesejahteraan melalui pembangunan berkelanjutan.
 
D. Agus Purnomo, STAF KHUSUS PRESIDEN BIDANG PERUBAHAN IKLIM
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 8 Maret 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan