Pemerintahan Sudah 84 Hari, tapi Belum Ada Upaya Luar Biasa untuk Berantas Korupsi

Memasuki hari ke-84 pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, belum ada upaya-upaya luar biasa untuk pemberantasan korupsi. Meski dicanangkan berkali-kali bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus ditangani secara luar biasa, aparat penegak hukum tetap biasa-biasa saja.

Buktinya terpidana korupsi Sudjiono Timan masih bisa kabur ke luar negeri ketika Kejaksaan Agung akan mengeksekusi, kata anggota Komisi II DPR Trimedya Panjaitan di Jakarta, Selasa (11/1). Kejaksaan Agung telah memburu sejumlah terpidana korupsi yang kabur, namun publik belum tahu hasilnya.

Melihat belum adanya upaya ekstra untuk memberantas korupsi, niatan Presiden Yudhoyono menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Percepatan Pemberantasan Korupsi menjadi tidak punya landasan moral lagi. Kalau publik menyaksikan bahwa telah ada upaya luar biasa untuk memburu koruptor dan terkendala dengan UU, mungkin bisa dimengerti kalau Presiden menerbitkan perpu, ujarnya.

Kritik terhadap substansi Perpu Percepatan Pemberantasan Korupsi juga datang dari Binsar Gultom, hakim di Pengadilan Negeri Medan, dan anggota Komisi III DPR Benny K Harman dari Fraksi Partai Demokrat secara terpisah, Jumat lalu. Keduanya meyakini problem terbesar pemberantasan korupsi adalah pada aparat penegak hukumnya, bukan undang-undangnya.

Benny menyoroti terobosan yang akan diintrodusir perpu, yakni meniadakan peradilan banding untuk kasus korupsi. Benny meminta presiden melihat praktik dalam Pengadilan Niaga yang juga tidak mengenal peradilan banding. Apakah itu menyelesaikan masalah. Persoalannya bukan pada birokrasi peradilan, tetapi pelaksananya, katanya

Kekhawatiran serupa disampaikan Kamal Firdaus, praktisi hukum di Yogyakarta. Ia mengkhawatirkan peniadaan peradilan banding hanya akan memperbesar korupsi dalam penanganan kasus korupsi di peradilan pertama dan Mahkamah Agung.

Hal lain yang dikhawatirkan Benny dan juga Antonius Sujata, Ketua Komisi Ombudsman Nasional, adalah kekacauan sistem hukum acara dalam peradilan. Sebab, UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masih mengenal peradilan banding.

Soal penahanan

Perpu, sebagaimana dikatakan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, juga akan mengatur penahanan tersangka sejak disidik hingga terbitnya putusan MA. Latar belakangnya adalah banyaknya terpidana korupsi yang kabur ketika akan dieksekusi.

Binsar Gultom mempertanyakan implementasi dari aturan itu. Jika seseorang baru berstatus tersangka korupsi di tingkat pro yustisia, tersangka tak dapat dipaksakan secara membabi buta harus ditahan hingga keluarnya putusan MA. Bagaimana jika pengadilan pertama menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah, apakah terdakwanya mesti tetap ditahan hingga keluarnya putusan MA, katanya. Kalau hal seperti itu terjadi, maka itu jelas merupakan penyalahgunaan kekuasaan sekaligus pelanggaran asas normatif hukum, yakni asas praduga tak bersalah. Fungsi pengadilan bukan hanya menghukum terdakwa, tetapi juga mencari kebenaran dan keadilan, katanya.

Binsar memahami adanya kegemasan masyarakat ketika menyaksikan kegagalan penegak hukum dalam mengeksekusi terpidana. Namun, menurut dia, solusinya bukan dengan menerbitkan perpu. Solusi terbaik adalah mewajibkan hakim di tingkat pertama dan tingkat banding yang menyatakan terdakwa bersalah dan dihukum, harus memerintahkan agar terdakwa segera ditahan bagi yang tidak ditahan atau tetap dalam tahanan bagi yang ditahan.

Sedang mengenai sejumlah terpidana korupsi yang kabur, Benny meminta penjelasan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang pernah mengemukakan akan membentuk tim pemburu koruptor yang kabur. Jaksa Agung perlu memberi penjelasan sejauh mana hasil perburuan itu. (bdm)

Sumber: Kompas, 12 Januari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan