Pemerintah Keluarkan Dokumen Sah untuk Kayu Curian; Operasi Hutan Lestari II di Papua

Sungguh tidak masuk akal, kayu curian dalam jumlah besar demikian mudah lolos dari Papua ke luar negeri. Padahal kapal Angkatan Laut dan Polisi Airud, tidak pernah berhenti berpatroli sepanjang perairan Papua.

Setiap hari ratusan kapal tongkang dan ponton (pengangkut kayu) ke luar dari wilayah pembabatan hutan meliputi Kaimana, Fakfak, Bintuni, Sorong, Waegio, Manokwari, Teluk Wondama, Nabire, Sarmi, dan Jayapura. Wilayah ini tersebar dari Kepala Burung hingga Jayapura.

Jumlah kayu yang diangkut bisa mencapai 67 juta meter kubik per tahun karena di pedalaman pembabatan kayu menggunakan sedikitnya 500 buldoser dan alat berat lainnya.

Taruhlah harganya Rp3 miliar, total nilainya Rp1,5 triliun. Lalu siapa yang memasok alat-alat itu? Tidak mungkin masyarakat sekitar. Dan, kita bisa pastikan, keberadaan alat-alat berat di pedalaman tentu melibatkan aparat keamanan dan pemerintah setempat, papar Menteri Kehutanan MS Kaban.

Sebagian besar cukong kayu yang beroperasi ternyata berasal dari Malaysia. Selain mengekspor kayu-kayu curian itu ke negaranya, mereka juga memasok ke Cina, Afrika, dan Singapura.

Ketika Operasi Hutan Lestari II digelar 10 hari lalu, sebagian telah kabur ke luar negeri, namun belasan lainnya masih bertahan di Jakarta. Mereka berada di tempat aman atas jaminan perlindungan bekingnya.

Menurut hasil pemeriksaan penyidik, kayu dalam jumlah besar bisa lolos ke luar negeri, karena mendapatkan dokumen legal dari aparat Bea Cukai di daerah. Modusnya dengan cara memanipulasi data kayu yang akan diekspor. Jika yang diekspor kayu gergajian, isi dokumen dicantumkan kayu bantalan rel kereta api.

Setelah mengendus modus ini, pemerintah melarang ekspor kayu gergajian disusul peraturan serupa terhadap kayu bantalan rel kereta api pada 29 September 2004. Namun, melalui modus yang sama, kayu gergajian tetap dapat keluar dari wilayah Indonesia dengan mengubah dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB).

Seorang pengusaha di Kalimantan Barat yang rutin mengekspor kayu ke luar negeri mengaku bentuk barang yang akan diekspornya sudah sesuai dengan pesanan mitranya, yaitu kayu gergajian dengan ketebalan dan panjang tertentu.

Agar barang dapat diekspor secara legal maka dalam dokumen disebutkan sebagai kayu jadi, seperti furniture atau lain sebagainya, yang diizinkan pemerintah.

Sebenarnya tidak ada yang namanya kayu selundupan. Hampir semua kayu yang keluar dari Indonesia menggunakan dokumen legal sesuai ketentuan. Jika dikatakan kayu tersebut selundupan, penyelundupnya adalah Bea Cukai, bukan kami-kami ini, tegasnya.

Ia menyebutkan, di Kalimantan Barat, pusat keluarnya kayu ke luar negeri, berada di Nanga Badau, Kapuas Hulu. Di Nanga Badau terdapat Direktorat Bea Cukai. Kalau memang kayu gergajian yang dikirim itu masuk kategori kejahatan, ia mempertanyakan, mengapa aparat Bea Cukai setempat tidak mencegah.

Selain itu, menurutnya, pihak Bea Cukai juga bisa diajak kerja sama untuk memanipulasi volume kayu. Jika kayu yang diekspor berjumlah 1.000 meter kubik, maka dalam dokumen dicantumkan 800 meter kubik.

Hal inilah antara lain yang menyebabkan perbedaan data ekspor kayu dari Indonesia ke Cina, dengan kayu yang diterima Cina dari Indonesia. Data ekspor kayu Indonesia ke Cina tercatat 20.500 meter kubik pada 2000. Setahun kemudian meningkat menjadi 121.000 dan pada 2002 naik lagi menjadi 336.000 meter kubik.

Namun, data yang dimiliki pemerintah Cina sangat berbeda yakni 931.000 meter kubik pada 2000, 1,4 juta meter kubik (2001), dan 1,2 juta meter kubik pada 2002. Manipulasi data dari pihak Indonesia ini juga bisa ditemui di Singapura dan Malaysia.

Menurut eksportir yang keberatan namanya disebutkan itu, mafia kayu di Indonesia adalah orang pemerintah sendiri. Jika pemerintah ingin memberantas mafia kayu, maka tertibkan dulu aparatnya.

Dalam bisnis kayu, aparat yang terlibat berasal dari pemda setempat, aparat keamanan, baik polisi maupun TNI, Dephut, dan Bea Cukai. Jadi, percuma memburu para cukong, sebab mereka beroperasi karena jaminan aparat pemerintah sendiri, lanjutnya.

Dalam kasus ini, aparat Dephut terlibat dalam penerbitan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Pihak Bea Cukai tidak akan mengizinkan ekspor kayu jika tidak dilengkapi SKSHH. Berbeda halnya sebelum pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Bea Cukai dapat mengeluarkan dokumen ekspor meski kayu tersebut tidak dilengkapi SKSHH.

Jika pemerintah hanya mengejar para pengusaha kayu dan tidak menertibkan aparatnya, ia memastikan, Operasi Hutan Lestari II hanya menghambur-hamburkan uang.

Melalui kesempatan yang selalu diciptakan aparat pemerintah, jelasnya, tetap akan lahir pengusaha atau cukong-cukong baru yang beroperasi karena jaminan beking. Apa tim dari Jakarta itu akan terus bertahan? Lagi pula, apa mereka juga kebal terhadap suap? tanyanya.

Kepala Unit Penangkalan dan Pencegahan (P2) Direktorat Bea Cukai Hansen Hutagalung seketika membantah tudingan eksportir tersebut. Selama ini, kata dia, penyelundupan kayu ke luar negeri sering kali memakai modus perdagangan antarpulau.

Dengan begitu, jelasnya, pihak Bea Cukai tidak ada sangkut-pautnya.

Urusan perdagangan antarpulau hanya membutuhkan otorisasi pihak Syahbandar setempat. Yaitu untuk pengurusan Surat Izin Berlayar (SIB) sebagai kelengkapan syarat tujuan berlayar.

Kita baru terlibat kalau mereka minta dokumen ekspor, sementara mereka (penyelundup) kan pakai jalur antarpulau, tandasnya.(CR-43/Rdn/Yes/Adi/X-10)

Sumber: Media Indonesia, 16 Maret 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan