Pemerintah Jangan Mau Tanggung Utang BLBI

Pemerintah seharusnya tidak mau menanggung bunga utang dan utang dari tersangka korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI dalam APBN. Pasalnya, tak ada amanat UUD yang memerintahkan pemerintah menanggung utang koruptor. Apalagi, bunga utang yang ditanggung APBN yang jumlahnya lebih dari Rp 60 triliun sangat membebani rakyat.

Hal itu dikatakan Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Jihad Melawan Koruptor BLBI Abdul Asri Harahap dalam diskusi bulanan Perhimpunan Jurnalis Indonesia di Jakarta, Rabu (12/9). Diskusi yang bertemakan Posisi Publik Dalam Kasus Megakorupsi BLBI itu juga menghadirkan ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin, ahli hukum Sutito, dan Wakil Bendahara Masyarakat Profesional Madani Lukas Budiono.

BLBI adalah bentuk ketidakadilan yang nyata. Bangsa ini menderita. Tanggungan bunga utangnya saja harus diangsur sampai tahun 2030. Uang sebesar itu seharusnya bisa dipakai untuk membiayai pendidikan dan kesehatan rakyat, ujar Asri.

Sayangnya, menurut Asri, pemerintah tak punya niat baik untuk menyelesaikan kasus BLBI. Apalagi, hampir 10 tahun kasusnya berlalu tanpa kepastian.

Bagi kami dari Pokja Jihad Melawan Koruptor BLBI, yang diharapkan adalah dikembalikannya uang rakyat yang dikorup, ujarnya lagi.

Sutito mengatakan, pemberantasan korupsi tidak bisa dianggap selesai dengan penyelesaian politik. Apalagi, keputusan politik itu belum tertuang dalam bentuk undang-undang. Saatnya, secara hukum pemerintah dan legislatif mendorong penyelesaian kasus BLBI, ujarnya.

Dalam perspektif ketatanegaraan, menurut Irman, penyelesaian kasus BLBI sepenuhnya menjadi tanggung jawab presiden. Jadi, jangan salahkan jaksa agung atau Kepala Polri, sebab mereka pembantu presiden. Pokja Jihad melawan koruptor harus mendesak presiden langsung sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, ujarnya.

Lukas mengatakan, kasus BLBI tampaknya masih banyak menyimpan rahasia dan sengaja dibuat tidak jelas. Padahal, publik harus tahu penggunaan uang rakyat yang jumlahnya ratusan triliun rupiah itu. (mam)

Sumber: Kompas, 13 September 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan