Pemerintah Inggris dan Uni Eropa perlu waspadai Perusahaan asal Indonesia yang lakukan penggelapan pajak, korupsi dan pencucian uang pada sektor kehutanan dan perkebunan

Pernyataan Pers
 
Chatham House sebuah lembaga think tank independen bidang hubungan internasional yang terkemuka di Inggris mengadakan Workshop "Kejahatan Keuangan di Sektor Kehutanan – pada hari Senin 24 Februari 2014 , di London, United Kingdom.  Workshop ini merupakan forum dialog antara pihak Indonesia, United Kingdom dan sejumlah pulau di wilayah teritori Inggris (the British Overseas Territories) seperti the British Virgin Islands, Jersey dan Guernsey.
 
Pertemuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang aspek-aspek internasional dari kejahatan keuangan yang dilakukan terkait dengan sektor kehutanan Indonesia. Tujuan lainnya adalah untuk meningkatkan hubungan antara pihak berwenang di Indonesia, Inggris dan British Virgin Islands, Jersey dan Guernsey untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan kerjasama internasional dalam menangani masalah ini, dan untuk mengidentifikasi alat-alat yang mungkin yang lebih lanjut dapat memfasilitasi kerja sama tersebut.
 
Lokakarya ini dihadiri hingga 40 perwakilan dari Indonesia dan Intelijen Keuangan Inggris (FIU), Departemen Keuangan Inggris dan Departemen Pembangunan Internasional (DFID), Intelijen Keuangan British Virgin Islands, Jersey dan Guernsey dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah terlibat dalam masalah ini. Para undangan adalah mereka dengan keahlian khusus dalam penyelidikan pencucian uang, penggelapan pajak dan arus keuangan.
 
Dalam pertemuan tersebut, Pemerintah Indonesia mengirimkan delegasi yang diketuai oleh Yunus Husein, mantan Ketua PPATK dan saat ini tenaga ahli di UKP4. Rombongan pemerintah terdiri dari UKP4, Kejaksaan Agung, PPATK, Direktorat Pajak, dan Kementrian Luar Negeri/Kedutaan Besar RI di Inggris. Selain perwakilan pemerintah, dari Indonesia juga hadir dari perwakilan masyarakat sipil antara lain Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Indonesia Legal Resource Center (ILRC), The Ecological Justice, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Metta Dharmasaputra (Jurnalis).
 
Salah satu bahasan yang didiskusikan dalam pertemuan di Chatham House tersebut adalah skandal pajak  dari Asian Agri Group.  Sebagaimana diketahui Skandal Pajak Asian Agri saat ini merupakan skandal perpajakan terbesar di Indonesia. Pada tanggal 18 Desember 2012, Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan No. 2239 K/PID.SUS/2012) menghukum Suwir Laut, selaku Tax Manager Asian Agri Group dengan hukuman pidana 2 tahun dengan percobaan 3 tahun dan mengharuskan korporasi AAG membayar denda Rp. 2,52 Triliun. Pada Februari 2014 lalu Asian Agri Group pada akhirnya menyatakan sanggup membayar denda pajak senilai Rp 2,5 triliun namun dilakukan secara mencicil.
 
Dalam pandangan perwakilan Masyarakat Sipil yang hadir di London,  skandal pajak Asian Agri Group menunjukkan dengan jelas bahwa terdapat hubungan yang erat antara penghancuran hutan dan habitat alami dengan korupsi, tax evasion, dan money laundering kebijakan di beberapa negara tax haven seperti British Virgin Island, Cayman Island, Bermuda, Mauritius, dan yang lainnya. Indikasi money laundering misalnya, sudah lebih dari 10 tahun terakhir dilakukan oleh perusahaan besar seperti Asian Agri Group maupun sejumlah perusahaan lain yang memiliki shell company atau paper company di negara-negara tax haven seperti British Virgin Islands dan Cayman Islands.
 
Dalam konteks ini, menjadi penting juga bagi pemerintah Inggris maupun Uni Eropa untuk melihat hubungan antara penghancuran hutan dan habitat alami dengan tax evasion, korupsi dan money laundering pada sektor kehutanan dan perkebunan dengan proses perundingan antara Uni Eropa dengan Indonesia mengenai tata kelola dan perdagangan sector kehutanan (FLEGT) antara Uni Eropa dengan Indonesia maupun dengan upaya Uni Eropa untuk mengubah atau memperketat undang-undang anti money laundering yang baru.
 
Pada tataran Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT) kami melihat bahwa proses Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) membahayakan kehidupan masyarakat Indonesia dan iklim, karena verifikasi kayu masih didasarkan pada legalitas dalam artian sekedar pemenuhan syarat administrasif kehutanan. Belum didasarkan pada pengakuan hak masyarakat dan ambang batas maksimum daya dukung lingkungan di Indonesia terhadap kehidupan rakyat dan stabilitas iklim. Bahkan perundingan mengenai hal ini tidak mempersyaratkan hal-hal yang berkaitan dengan tax evasion, korupsi dan money laundering pada sector kehutanan dan perkebunan, sebagaimana yang terjadi pada perusahan-perusahaan besar seperti Asian Agri.
 
Pada tataran proses perubahan undang-undang anti money laundering di Uni Eropa,  kami menilai penting menjadikan kasus Asian Agri sebagai pertimbangan untuk lebih mengenakan persyaratan ketat untuk mencegah arus money laundering sektor kehutanan dari Indonesia. Proses ini bisa dilakukan dengan menerapkan prinsip Know Your Customer (KYC) yang ketat dan publikasi yang terbuka dan dini mengenai beneficial ownership atas perusahaan-perusahaan sektor kehutanan dan perkebunan yang masuk ke dalam system perbankan maupun pasar Uni Eropa.
 
Oleh karena itu kami menilai penting bagi pemerintah Inggris dan Uni Eropa untuk melakukan beberapa hal sebagai berikut:
  1. Tahapan implementasi FLEGT/SVLK perlu mempersyaratkan prinsip bebas dari praktek tax evasion, korupsi dan money laundering, dan bebas dari praktek penghancuran sumber-sumber kehidupan masyarakat di kawasan hutan.
  2. Proses revisi undang-undang anti money laundering Uni Eropa perlu memasukkan prinsip Know Your Customer (KYC) yang ketat dan publikasi terbuka dan dini mengenai beneficial ownership atas perusahaan-perusahaan sektor kehutanan dan perkebunan yang masuk ke dalam sistem perbankan maupun pasar Uni Eropa.
London, 24 Februari 2014
 
Zenzi Suhadi (Wahana Lingkungan Hidup)
Rio Ismail (The Ecological Justice)
Uli Parulian (Indonesia Legal Resource Center)
Emerson Yuntho (Indonesia Corruption Watch)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan