Pemerintah Didesak Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi
Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Transparency International Indonesia (TII) mendesak pemerintah untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Korupsi. Lambatnya pemerintah meratifikasi konvensi itu justru menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hal itu menunjukan pemerintah kurang serius dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, kata Deputi Direktur Eksekutif TII Rezki Wibowo, dalam jumpa pers soal pernyataan sikap TII dan ICW atas ratifikasi Konvensi Anti Korupsi di Kantor TII, Jakarta, Senin (12/12).
Menurutnya, konsekuensi dari penandatanganan konvensi itu memang tidak mudah. Rezki menyatakan dibutuhkan kepemimpinan yang kuat (strong leadership) dari Presiden. Dengan meratifikasi konvensi ini, artinya memperlihatkan bahwa pemerintah punya keinginan yang kuat untuk memberantas korupsi, tandasnya.
Konvensi Anti Korupsi (United Nation Convention Against Corruption) disahkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di Merida, Meksiko pada 9 Desember 2003, bertepatan Hari Anti Korupsi sedunia. Konvensi ini sekarang sudah ditandatangani oleh 39 negara. Pada 14 Desember 2005 mendatang, Konvensi ini akan diberlakukan.
Tercatat ada lima prinsip dalam konvensi ini. Pertama, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam peraturan nasional dengan melibatkan berbagai unsur termasuk partisipasi masyarakat. Kedua, membangun badan independen yang menjalankan dan mengawasi kebijakan anti korupsi.
Ketiga, lakukan perbaikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi. Keempat, setiap anggota yang turut dalam konvensi meningkatkan integritas, membentuk sistem pengadaan yang bersih, melakukan pencegahan korupsi, dan melibatkan masyarakat dalam memberantas korupsi.
Prinsip terakhir adalah negara peserta konvensi harus mencegah pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi, perlindungan saksi, dan lain-lain.
Dari aturan dalam konvensi tersebut, menurut Rezki, cukup menjamin bahwa tindakan korupsi dapat dikepung dari berbagai aspek kehidupan negara dan kemasyarakatan. Dalam konvensi tersebut, Indonesia ikut menandatanganinya di New York pada 18 Desember 2003. Hanya, sampai sekarang, Indonesia belum meratifikasinya dalam wujud Undang-undang.
Sementara itu, Koordinator Bidang Informasi Publik ICW Adnan Topan Husodo mengatakan, sebagai negara terkorup di Asia, Indonesia sudah dipandang di mata dunia sebagai negara yang tidak aman untuk investasi.
Dengan meratifikasi konvensi ini, menurut adnan, ada empat keuntungan yang didapat Indonesia. Pertama, negara ini dinilai serius memberantas korupsi. Kedua, strategi pemberantasan korupsi di negara ini masih berdasar pola sendiri, bukan konvensi internasional. Keuntungan lainnya adalah Indonesia bisa mendapatkan bantuan internasional untuk memberantas korupsi.
Keuntungan lainnya adalah bisa melakukan kerjasama dengan negara-negara lain yang sudah meratifikasi konvensi ini. Strategi, orientasi, dan target antar aparat saat ini berbeda dalam memberantas korupsi. Bila ada koordinasi, kasus yang menimpa Khairiansyah Salman tak terjadi. Di KPK, Khairiansyah jadi whistle blower, di Kejakgung, dia jadi tersangka. Karena itu, MoU KPK dengan Kejakgung sedikit bisa membantu, kata Adnan.
Di samping meratifikasi konvensi itu, pemerintah menurutnya juga harus melakukan penyesuaian peraturan perundangan yang sudah ada dengan prinsip konvensi. Pemerintah juga didesak membentuk peraturan perundangan yang baru untuk mendukung prinsip-prinsip konvensi tersebut. (KL/OL-06)
Penulis: Agustinus
Sumber: Media Indonesia Online, 12 Desember 2005
---------------------
Konvensi Anti-Korupsi Belum Diratifikasi, Bukti Tidak Adanya Strong Leadership