Pemerintah Bisa Sita Uang Tommy dari BNP Paribas
Pemerintah bisa menyita uang Tommy Soeharto yang sudah dicairkan dari Banque Nationale de Paris (BNP) Paribas cabang London sebesar Rp 90 miliar ke rekening pemerintah. Kejaksaan Agung bisa langsung menyita uang itu karena milik negara, kata guru besar hukum keuangan negara Universitas Indonesia, Arifin P. Soeria Atmadja, dalam diskusi di kantor Indonesia Corruption Watch di Jakarta kemarin.
Menurut Arifin, berdasarkan Undang-Undang Keuangan Negara, uang berasal dari mana pun yang masuk ke rekening milik pemerintah otomatis jadi milik pemerintah. Pemerintah punya hak menarik uang itu kembali, ujarnya. Jika uang pemerintah keluar tanpa prosedur semestinya, itu digolongkan kerugian negara.
Guru besar ekonomi Universitas Indonesia, Ahmad Syakhroza, sependapat dengan Arifin. Menurut Ahmad, pemerintah masih memiliki hak atas uang tersebut. Contohnya, kalau motor saya hilang, saya tetap punya hak atas motor itu, walau motornya sudah tidak kelihatan, ujarnya.
Baik Arifin maupun Ahmad mengatakan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yang harus bertanggung jawab atas proses pencairan dana tersebut. Menteri, kata Arifin, bisa dikenai sanksi mengganti kerugian negara sejumlah uang yang dikeluarkan. Itu sesuai dengan Pasal 35 Undang-Undang Keuangan Negara, ujar Arifin.
Pada 2004 Tommy Soeharto melakukan pencairan dana di BNP Paribas cabang London sebanyak Rp 90 miliar melalui firma hukum Ihza & Ihza. Pencairan ini dijamin oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan menyebutkan bahwa uang Tommy itu berkategori halal.
Selain jaminan, Departemen Hukum dan HAM sendiri memfasilitasi dengan memperbolehkan dana Tommy dari BNP Paribas mampir dan menggelontor lewat rekening pemerintah di Bank Negara Indonesia.
Direktur Perdata Kejaksaan Agung Yoseph Suardi Sabda mengakui adanya aturan hukum tersebut. Tapi saya tidak ditugasi untuk melakukan itu, ujarnya.
Sementara itu, Koordinator ICW Teten Masduki menyatakan kasus pencairan dana Tommy ini sudah memenuhi unsur pidana korupsi, yakni adanya penyalahgunaan wewenang, adanya pihak yang diuntungkan, dan adanya unsur kerugian negara. Presiden harus mengambil tindakan terhadap mereka yang melanggar wewenangnya, tuturnya. TITO SIANIPAR
Sumber: Koran Tempo, 13 April 2007