Pemerintah Berkukuh Hapus Hukuman Mati bagi Koruptor

“Pejabat yang tak laporkan kekayaan dianggap melakukan korupsi.”

Pemerintah berkukuh menghapus hukuman mati untuk koruptor dari tata hukum positif di Indonesia. Alasannya, menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, Indonesia sudah ikut meratifikasi konvensi internasional tentang penghapusan hukuman mati bagi pelaku kasus korupsi.

"Kita ini kan hidup dalam dunia internasional. Bangsa ini jangan menjadi bangsa yang kejam. Kita harus punya hati nurani," kata dia sebelum rapat pandangan fraksi-fraksi tentang Rancangan Undang-Undang Imigrasi di gedung DPR kemarin.

Tidak adanya hukuman mati bagi koruptor menjadi sorotan setelah Indonesia Corruption Watch menguliti draf Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Menurut lembaga ini, penghapusan hukuman mati merupakan satu dari sembilan pelemahan agenda pemberantasan korupsi yang ada dalam rancangan tersebut. Dalam undang-undang antikorupsi yang sekarang berlaku dan hendak direvisi, ancaman hukuman mati tercantum pada pasal 2 ayat 2.

“ICW menolak hilangnya ancaman hukuman mati,” kata Koordinator ICW Febri Diansyah di kantornya, Ahad lalu. Dalam urusan ini, mereka tidak mempersoalkan setuju atau tidak tentang hukuman mati. Tapi, dengan menghilangkan hukuman mati berarti telah menurunkan sifat extraordinary kasus tindak pidana korupsi. Meskipun hukuman mati hingga kini belum digunakan, kata dia, “Penghilangan ayat ini bisa menurunkan efek jera pemberantasan korupsi.”

Sikap serupa ditunjukkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, seperti diungkapkan oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj, di Yogyakarta, Senin lalu. Menurut dia, NU melalui Musyawarah Nasional Alim Ulama di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, pada 2002, sudah bersikap bahwa koruptor harus dihukum mati dan para kiai tidak boleh menyalatkan jenazah koruptor.

“Memang orang mati harus disalatkan. Tapi, untuk koruptor, jangan kiai yang menyalatkan,” kata Said Aqil. “Cukup orang-orang sekitarnya saja, satpamnya, penjaga kebunnya, itu lebih dari cukup.”

Selain penghapusan hukuman mati bagi koruptor, menurut ICW, pelemahan agenda pemberantasan korupsi, antara lain, terlihat dari hilangnya pasal tentang kerugian negara, hilangnya ancaman hukuman minimal di sejumlah pasal, penurunan ancaman hukuman minimal menjadi hanya satu tahun, dan melemahnya sanksi untuk mafia hukum, seperti suap untuk aparat penegak hukum. Dengan adanya banyak kelemahan itu, ICW menolak rancangan itu jika tidak ada perubahan yang luar biasa.

Dalam urusan ini, Menteri Patrialis meminta agar masyarakat tidak melihat draf rancangan secara sepotong-sepotong, melainkan mesti membacanya secara menyeluruh sehingga pemahamannya komprehensif. Menurut dia, lewat rancangan itu, pemerintah justru menunjukkan semangatnya untuk memberantas korupsi di Tanah Air. “Jadi, jangan mempunyai pandangan yang pesimistis," ujarnya.

Sekadar contoh, Patrialis melanjutkan, pemerintah akan lebih memerinci perbuatan-perbuatan yang masuk tindak pidana korupsi. Misalnya, pejabat negara yang tidak melaporkan kekayaannya dianggap melakukan korupsi, orang yang tidak bisa mempertanggungjawabkan asal-usul hartanya juga dianggap korupsi. "Itu sudah masuk pada proses pembuktian terbalik," ujarnya. MAHARDIKA SATRIA | PRIBADI WICAKSONO | DWI WIYANA
 
Sumber: Koran Tempo, 1 April 2011

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan