Pemerintah Akan Teliti Dana Koruptor yang Belum Disetor
Departemen Keuangan telah membentuk tim verifikasi dana pengganti dari terpidana korupsi yang diterima Kejaksaan Agung dan diduga belum disetor ke kas negara. Tim ini sudah mulai bekerja. Kejaksaan Agung menyatakan siap bekerja sama, kata Hekinus Manao, Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Departemen Keuangan, kemarin.
Menurut Hekinus, tim verifikasi ini juga akan meminta penjelasan kepada Kejaksaan Agung menyangkut prosedur pencatatan dana penerimaan aliran dana tersebut. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2005 yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jumlah dana pengganti yang tercatat dalam rekening Kejaksaan Agung Rp 6,9 triliun.
Dari jumlah itu, menurut Hekinus, tak semuanya dilaporkan ke BPK. Juga ada dana yang belum disetor ke negara, yang diperkirakan mencapai Rp 3,9 triliun. Dana pengganti dari para koruptor yang sudah diterima Departemen Keuangan, kata Hekinus, adalah setoran pada 2006 dan semester pertama 2007.
Pada 2006, menurut Hekinus, Departemen Keuangan mencatat laporan penerimaan dana pengganti dari pihak Kejaksaan Agung Rp 19,88 miliar. Pada semester pertama 2007, tercatat Rp 2,37 miliar. Sejauh ini kami hanya menerima pencatatan transaksi saja. Sedangkan keterangan penyetornya belum ada, katanya.
Koordinator Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mesti memanggil Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk menjelaskan masalah ini.
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur uang pengganti harus disetorkan dalam waktu satu bulan sejak majelis hakim memvonis terpidana korupsi. Jika tidak sanggup membayar, aset-asetnya bisa disita, katanya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan uang pengganti tidak boleh disimpan, bahkan dipakai, oleh kejaksaan. Harus langsung disetor, katanya. Kami sudah menginstruksikan kepada Kejaksaan Agung supaya segera menyetor.
Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin menegaskan tidak ada uang pengganti yang disimpan kejaksaan. Jika ada jaksa yang sengaja menyimpan dan membungakannya, akan dipecat, katanya. Kalau sampai korupsi, kami ajukan ke pengadilan.
Muchtar mengatakan jaksa menemui beberapa masalah ketika menagih dana pengganti. Misalnya terpidana yang sudah tidak mampu lagi membayar. Dia menunjuk contoh terpidana kasus korupsi Bank Duta, Dicky Iskandardinata, senilai Rp 811 miliar. Selain itu, ada terpidana yang kabur, seperti Sujiono Timan dan Bambang Sutrisno. Itu semua terakumulasi, katanya. ANTON APRIANTO | RINI KUSTIANI
Sumber: Koran Tempo, 27 Agustus 2007
---------------
Uang Pengganti
Tak Mungkin Dibungakan Kejagung
Ahli hukum pidana Andi Hamzah di Jakarta, Minggu (26/8), menegaskan, sebaiknya masyarakat menunggu hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sehingga masalah uang pengganti menjadi lebih jelas. Itu karena tidak mungkin Kejaksaan Agung berani membungakan uang tersebut.
Soal uang pengganti memang sulit. Tetapi, kalau Jaksa Agung berjanji akan transparan, saya yakin itu akan dilakukannya, kata guru besar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Jakarta, itu.
Andi yakin, Kejagung tak berani membungakan uang yang diperoleh dari terpidana perkara korupsi, sesuai putusan pengadilan. Tak ada yang berani membungakan, apalagi didepositokan. Itu kan harus atas nama orang, bukan instansi, katanya.
Andi yang menjadi jaksa pada tahun 1954-1993 mengungkapkan, kejaksaan negeri (kejari) selalu langsung menyetorkan uang denda ke kejaksaan tinggi melalui kantor pos, satu hari setelah menerima uang itu. Setelah itu, laporan uang denda akan diberikan setiap bulan.
Uang denda diterima Kejari kalau putusan sudah berkekuatan hukum tetap. Uang pengganti pasti juga melalui prosedur yang sama. Jaksa tidak mungkin punya rekening sendiri, katanya.
Kelemahan kejaksaan
Secara terpisah, mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh di Jakarta mengakui, perbedaan data uang pengganti kasus korupsi merupakan salah satu kelemahan di kejaksaan. Masalah itu sudah dituntaskan pada Rapat Koordinasi Kejaksaan Se-Indonesia di Bandung, Desember 2006.
Waktu saya menjabat Jaksa Agung, saya sudah periksa. Saat rakor itu kan ada komisi, termasuk Komisi Uang Pengganti. Persoalan perbedaan data sudah tuntas, kata Abdul Rahman Saleh kepada Kompas, Minggu.
Cara penanganannya, kata Abdul Rahman, adalah dengan memisahkan secara tegas antara data uang pengganti yang perkaranya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dan yang berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999. Berdasarkan UU No 31/1999, tidak ada alasan untuk tak membayar uang pengganti bagi terpidana. Pilihannya membayar atau masuk penjara sebagai penggantinya.
Abdul Rahman mengakui, saat itu terungkap adanya perbedaan data uang pengganti yang ditangani kejaksaan. Perbedaan itu terjadi karena catatan uang pengganti ini terus berjalan, selalu bertambah setiap ada terpidana yang membayar dan tiap kali ada putusan baru, ujarnya.
Menurut Abdul Rahman, kemungkinan beda perhitungan juga terjadi apabila ada dua pihak yang menyetorkan uang pengganti, yakni melalui jaksa dan langsung oleh terpidana. Bisa jadi uang pengganti yang disetorkan langsung oleh terpidana itu tidak tercatat di kejaksaan.
Abdul Rahman menegaskan, ia tahu persis tak ada yang berani mengorupsi uang pengganti di kejaksaan. Sebagai jaksa agung, ia digantikan Hendarman Supandji pada Mei 2007.
Disampaikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman, 13 Agustus 2007, keseluruhan uang pengganti yang ditangani kejaksaan Rp 10,704 triliun dan 5.500 dollar AS. Dari jumlah itu, Rp 2,568 triliun sudah dibayar terpidana, Rp 1,114 triliun dijalani dengan penjara, dan Rp 78,530 miliar dilimpahkan ke Bagian Perdata dan Tata Usaha Negara. Belum tertagih Rp 6,969 triliun dan 5.500 dollar AS.
Depkeu juga terbuka
Guru besar hukum pidana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji, menyarankan, tak hanya Kejagung yang membuka diri. Departemen Keuangan juga disarankan untuk transparan, membuka data uang pengganti yang selama ini dikatakan Kejaksaan Agung sudah disetorkan.
Menurut Indriyanto, keterbukaan dari pihak yang berhubungan dengan uang pengganti perkara korupsi ini sebagai bentuk akuntabilitas publik.
Kejaksaan dan Depkeu dapat mencocokkan uang pengganti yang sudah dibayar dengan jumlah yang belum tertagih. Pencocokan menggunakan bukti setor dan bukti terima, kata Indriyanto. Perhitungan uang yang disetorkan ke negara mungkin saja berbeda sebab ada kesalahan pengelompokan. (SIE/IDR)
Sumber: Kompas, 27 Agustus 2007
---------
Depkeu Juga Harus Terbuka
Soal Beda Data Uang Pengganti Korupsi
Usul Wapres Jusuf Kalla soal perlunya mengaudit setoran uang pengganti di Kejaksaan Agung (Kejagung) harus didukung. Sebab, usul tersebut merupakan salah satu mekanisme untuk membangun transparansi terkait dengan penerimaan dan penyetoran uang pengganti hasil korupsi.
Saya kira, idealisme Wapres itu untuk transparansi. Apa pun bentuknya, audit memang harus didukung, tegas pengamat hukum Indriyanto Senoadji saat dihubungi kemarin (26/8).
Meski demikian, kata dia, tanpa diminta pun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebenarnya rutin mengaudit seluruh keuangan di kejaksaan. Dia meragukan hasil audit kelak bisa mengungkap penyalahgunaan terkait dengan uang pengganti.
Indriyanto menduga, perbedaan data di BPK dan Departemen Keuangan (Depkeu) lebih dipicu adanya ketidaksamaan pemahaman mekanisme penyetoran uang pengganti serta uang sitaan kasus korupsi. Depkeu, misalnya, membeberkan data berbeda. Tapi, mereka tidak menyebut di mana letak dan penyebab perbedaan itu. Depkeu seharusnya juga fair dengan membeber penyebabnya, jangan hanya menyebut angka berbeda, ujar anggota tim pakar pidana menteri hukum dan HAM tersebut.
Karena itu, jelas dia, berbarengan dengan audit di kejaksaan, antarlembaga pemerintahan harus punya satu pemahaman terkait dengan definisi uang pengganti serta uang sitaan.
Indriyanto mengungkapkan, perbedaan definisi uang pengganti dan uang sitaan sering menimbulkan polemik. Apalagi, keduanya punya muara setoran yang sama, yakni ke kas negara. Uang pengganti itu berbeda dari uang sitaan, jelas guru besar pidana Universitas Krisnadwipayana tersebut.
Dia lantas membeberkan perbedaan tersebut. Uang pengganti baru disetor jika putusan perkara korupsi telah berkekuatan tetap alias inkracht. Sementara itu, uang sitaan disita aparat kejaksaan sebelum berkekuatan hukum tetap. Selama menunggu putusan inkracht, sesuai perundang-undangan, uang pengganti dititipkan di kejaksaan tanpa bunga.
Uang pengganti tidak dapat dititipkan, tapi langsung disetor ke kas negara. Itu berbeda dari uang sitaan. Nah, saya khawatir ada pemahaman bahwa uang pengganti dititipkan di kejaksaan, ungkapnya.
Belum lagi perbedaan mekanisme penyetoran uang pengganti versi UU No 3 Tahun 1971 dan UU No 31 Tahun 1999, keduanya UU Korupsi. Pada UU No 3/1971, uang pengganti tak otomatis disetorkan ke kas negara, tapi harus didahului upaya kejaksaan menggugat perdata terpidana. Kalaupun tidak (digugat), kejaksaan hanya mencatat. Bagaimana setorannya, itu urusan belakangan, kata Indriyanto.
Berdasar No 31/1999, kejaksaan bisa mengeksekusi aset terpidana, mengingat ada batasan penyetoran uang pengganti maksimal sebulan sejak putusan inkracht.
Di tempat terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) A.H. Ketaren mendukung audit uang pengganti pada kejaksaan. Kalau untuk transparansi, mengapa tidak, ujarnya saat dihubungi terpisah.
Meski demikian, sejak didirikan dua tahun lalu, Komjak belum pernah menerima pengaduan masyarakat terkait dengan penyalahgunaan penyetoran uang pengganti di kejaksaan. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 27 Agustus 2007