Pemeriksaan Korupsi Anggota DPR Tak Perlu Izin Presiden

Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi PAN Patrialis Akbar mengatakan bahwa pemeriksaan atas dugaan korupsi yang dilakukan terhadap sejumlah anggota DPR dan DPRD tak perlu izin presiden. UU Nomor 23 Tahun 2003 mengenai Susunan dan Kedudukan Anggota DPR, DPRD, dan DPD sudah mengatur khusus dugaan keterlibatan tindak pidana korupsi dan terorisme, Kejaksaan Agung maupun kepolisian berhak memeriksa langsung tanpa izin presiden.

Kejaksaan maupun kepolisian pun, kata dia, idealnya bisa langsung memeriksa para kepala daerah maupun anggota Dewan selama memiliki bukti awal. Seharusnya, siapa pun yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dan terorisme tak terkecuali presiden harus segera diperiksa tanpa perlu izin. Pasalnya, dua kejahatan itu merupakan kejahatan berbahaya, kata dia kepada Tempo melalui telepon kemarin.

Sayangnya, Undang-Undang Susduk ini dimentahkan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini justru mensyaratkan izin presiden agar bisa memeriksa para kepala daerah. Akibatnya, aparat hukum harus menunggu izin presiden untuk memeriksa anggota Dewan dan kepala daerah demi menjaga keadilan.

Undang-Undang Pemerintah Daerah memang mempersulit kejaksaan agung memberantas korupsi. Padahal UU yang dulu (UU Otoda) tidak begitu, kata Patrialis.

Jika semua pihak memiliki semangat dan komitmen yang sama soal pemberantasan korupsi dan menjadikan sebagai musuh nomor satu, kata dia, Badan Legislasi DPR harus segera merevisi UU Pemda itu. Sebagai bentuk pertanggungjawabannya terhadap legislasi, ya mengubah UU Pemda, kata dia.

Sementara itu, juru bicara Kejaksaan Agung R.J. Soehandoyo menilai wajar perlunya izin dari presiden, asalkan proses administrasinya cepat. Meskipun hal itu terasa berbelit juga, karena Jaksa Agung, misalnya, harus memberikan lampiran yang berisi penjelasan untuk memeriksa seorang pejabat dengan berbagai alasannya.

Beruntung, saat ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dinilai tak terlalu lama dalam mengeluarkan izin pemeriksaan. Presiden juga tidak masalah kok untuk mempercepatnya. Kami pun tak mengalami kesulitan untuk mendapatkan izin itu, kata Soehandoyo.

Karena itu, selama UU Pemda masih berlaku sebagai hukum positif, aturan itu harus dipatuhi semua pihak. Dia menjelaskan, beberapa undang-undang memang mengatur tentang tata cara pemanggilan pejabat. Pensyaratan izin presiden dianggapnya hal yang wajar asalkan proses administrasi bisa cepat.

Pensyaratan izin presiden dalam pemeriksaan anggota DPR, kepala daerah, atau pejabat negara lainnya, kata dia, juga tidak bertentangan dengan asas kesetaraan hukum seperti disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebab, perlakuan khusus juga dimintakan oleh kalangan pers, seperti keinginan menjadikan UU Pers sebagai lex specialist. Demikian pula, kata dia, para pejabat juga menuntut hal serupa.

Juru bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng menyatakan bahwa Presiden Yudhoyono sama sekali tak merasa terganggu atas banyaknya permintaan dari Jaksa Agung dan Kepala Polri agar mengeluarkan surat izin pemeriksaan terhadap anggota DPR/DPRD atau kepala daerah.

Presiden, kata dia, justru punya komitmen untuk mempercepat proses pemberian izin agar bebas dari kepentingan politik. Hasilnya, hingga saat ini Presiden telah mengeluarkan 37 izin pemeriksaan terhadap para kepala daerah dan anggota DPRD/DPR.

Karena itu, soal kemungkinan penghapusan persyaratan izin presiden ia menyerahkannya kepada putusan politis di DPR. Apalagi dua undang-undang yang mengatur pemeriksaan terhadap para pejabat itu merupakan undang-undang baru yang baru ditetapkan tahun lalu. Sebab itu, usulan untuk merevisi undang-undang itu terpulang pada kemauan Dewan. Presiden sendiri, katanya, akan mematuhi dua undang-undang itu. Prinsipnya, setiap orang tidak ada yang kebal hukum jadi dipercepat prosesnya saja, kata Andi. istiqomatul hayati

Sumber: Koran Tempo, 28 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan