Pembersihan Semu dan Bau Busuk Polri
Dalam rapat kabinet terbatas sesaat setelah mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, sepulang dari lawatan ke mancanegara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar Kepala Kepolisian RI Sutanto membongkar kasus indikasi penyelewengan fiskal.
Dalam rapat kabinet terbatas sesaat setelah mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, sepulang dari lawatan ke mancanegara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan agar Kepala Kepolisian RI Sutanto membongkar kasus indikasi penyelewengan fiskal.
Berita lain tentang kepolisian masih terkait dengan upaya penegakan hukum kasus impor gula ilegal oleh Nurdin Halid. Pengadilan Negeri Jakarta Utara baru saja menolak dakwaan jaksa dalam kasus Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia itu. Pihak Markas Besar Kepolisian RI menyatakan bahwa mereka tak mau disalahkan dan, seirama dengan pernyataan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, mereka meminta kasus itu disidik ulang.
Publik bangsa ini memang berharap agar jajaran Polri bisa menjalankan tugas dengan baik, sekaligus secara perlahan dapat memulihkan kembali citranya yang selama ini merosot akibat ulah oknum-oknum yang ada di dalamnya. Harapan besar itu terlebih muncul saat Presiden mengangkat Sutanto sebagai Kepala Polri menggantikan Da'i Bachtiar beberapa bulan lalu.
Apalagi saat itu, beberapa hari setelah Sutanto dilantik, pihak Mabes Polri mengumumkan adanya temuan sejumlah petinggi (jenderal) polisi yang memiliki rekening dengan jumlah yang aneh karena jauh melampaui batas normal yang seharusnya.
Namun, ternyata kasus yang sempat menghebohkan itu hingga kini bukannya semakin terungkap, malah sebaliknya kian meredup, seolah-olah ditenggelamkan bersama larutnya waktu. Soalnya, tak pernah terdengar lagi apa langkah yang diambil Polri untuk mengusut kasus rekening-rekening aneh itu, dan para oknum yang dicurigai pun masih demikian bebas menghirup udara segar, menjalankan tugas seperti biasa. Bahkan yang kemudian terungkap adalah kasus mafia perbankan (kasus pembobolan Bank BNI senilai Rp 1,7 triliun) yang diduga melibatkan mantan Kepala Bagian Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Suyitno Landung.
Tidak jelas memang apakah petinggi Polri yang menjadi pemilik rekening yang aneh-aneh itu termasuk oknum yang diduga terlibat dalam pembobolan Bank BNI ini. Namun, yang pasti, kasus-kasus yang belum terungkap dengan adanya indikasi oknum Polri terlibat, sekali lagi, cenderung redup atau tak dimunculkan lagi. Ini menunjukkan bahwa tidak tertutup kemungkinan dibungkusnya kasus-kasus di intern Polri itu dengan berbagai cara. Padahal bau busuk yang sangat menyengat itu sudah tercium bahkan merebak secara memuakkan.
Yang hendak dikatakan di sini adalah upaya jajaran Polri mengungkap, membongkar, dan menyidik kasus-kasus di luar Polri memang harus diberi apresiasi. Namun, hal itu tidak harus mengabaikan kasus-kasus di intern Polri sendiri. Soalnya, hal itu akan sangat kontradiktif dengan upaya membangun citra polisi. Mengapa?
Pertama, pihak Polri harus terlebih dulu memberikan contoh bahwa mereka benar-benar penegak hukum dan pemberantas korupsi yang bisa menjadi teladan dengan pembersihan internal. Tanpa itu, apalagi sudah secara telanjang dipublikasikan adanya oknum polisi yang diindikasikan terlibat di dalamnya, sulit dipercaya bahwa jajaran kepolisian akan sungguh-sungguh mewujudkannya seperti yang diharapkan publik terhadap Sutanto. Sebaliknya, tak akan sedikit pihak yang cenderung berkesimpulan bahwa Polri di bawah Sutanto pun hanya melakukan propaganda, lip service, jauh dari perwujudannya.
Kedua, jajaran Polri di bawah Sutanto, ketika hanya sibuk mengungkap kasus-kasus di luar Polri, bisa secara langsung menciptakan pembiaran terhadap tindakan Polri secara internal. Polri hanya sibuk mengangkat citra keluar dan itu pun bersifat pilih kasih, politis, dan semu. Sementara itu, secara internal, oknum polisi tetap akan melakukan operasinya sebagaimana tradisi sebelumnya.
Kecenderungan seperti itu memang tak bisa dihindari atau tak perlu disangkal oleh pihak kepolisian di bawah Sutanto sekalipun. Berbagai kasus di daerah yang dilaporkan kepada saya atau Dewan Perwakilan Daerah dengan data yang meyakinkan merupakan salah satu buktinya. Data yang sebagian sudah diteruskan juga ke Mabes Polri itu menunjukkan bahwa jajaran kepolisian masih terus menikmati kebebasan untuk melakukan apa saja tanpa bisa dipersoalkan oleh masyarakat. Dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang sudah dan tengah berlangsung di berbagai daerah di Indonesia sejak Juni lalu, muncul banyak kecurigaan bahwa jajaran kepolisian setempat benar-benar dimanfaatkan atau memanfaatkan untuk memperoleh keuntungan materi. Caranya antara lain dengan berpihak atau melindungi praktek kotor dan menyimpang dari pasangan calon kepala daerah tertentu (biasanya terhadap pasangan yang sedang menjabat). Berbagai kritik diabaikan, bahkan dihadapi dengan cara-cara kekerasan oleh pihak kepolisian setempat.
Demikian juga kegiatan seperti pembalakan liar, perjudian gelap, prostitusi liar dan terselubung, pengurusan surat izin mengemudi dengan jalan pintas, dan pemalakan atas pengemudi kendaraan bermotor dengan alasan tilang yang hanya diselesaikan dengan transaksi terbuka di pinggir jalan. Selain itu, banyak lagi kegiatan ilegal yang di-back-up kuat dan/atau dilakukan langsung oleh oknum-oknum kepolisian. Mereka bahkan boleh dikatakan sangat merajalela di berbagai daerah di Indonesia ini. Apalagi di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan media massa dan tanpa kelompok masyarakat yang kritis dan memantau kinerja pengelola pemerintahan.
Kerap kali semakin telanjang kesewenang-wenangan oknum polisi dalam menjalankan tugas, termasuk terlibat dalam melakukan penyiksaan terhadap rakyat. Laporan yang disampaikan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia akhir-akhir ini ke DPR dan DPD, misalnya, menunjukkan begitu vulgarnya tindakan kepolisian setempat yang melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap rakyat (kasus di Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan). Mereka juga membiarkan aparat pemerintah daerah melakukan penyiksaan terhadap rakyat miskin yang mencari nafkah di dalam kebun tradisionalnya sendiri (kasus di Kontu, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara).
Melakukan pengawasan terhadap jajaran kepolisian memang tidak hanya sangat sulit, tapi juga sangat berbahaya. Soalnya, pertama, kepolisian merupakan instansi penyidik yang orang-orangnya sudah tahu sama tahu sekaligus sudah berkonspirasi dengan berbagai pihak yang menjadi sasaran penyidikan. Sementara itu, di tengah rendahnya pendapatan resmi, terbuka peluang untuk melakukan tindakan penyimpangan, melakukan pelanggaran hukum, atau terlibat dalam konspirasi koruptif. Maka sudah pastilah akan ada kesulitan mendasar: siapa mau menyidik dan menghukum siapa. Sebab, kalau itu secara jujur dilakukan, bukan mustahil hanya akan ditemukan sejumlah kecil aparat kepolisian yang terbebas dari tindakan dan praktek yang berbau busuk itu.
Kedua, bagi mereka yang mengusik, termasuk barangkali sebagian jurnalis yang berupaya mengungkap dengan jujur praktek-praktek kotor itu, bukan mustahil keselamatan jiwa dan keluarganya akan terancam. Dan lagi-lagi, kalau itu dilakukan, kembali akan sulit untuk membuktikan siapa oknum pelaku yang sesungguhnya. Sebab, pastilah hal itu dilakukan dengan cara-cara invisible hands. Kita berharap Kepala Polri Sutanto dapat mengendalikan itu semua. Tepatnya, kita sangat berharap Kepala Polri tidak membiarkan bau busuk dari dalam lingkungannya sendiri, harus berani melakukan terobosan nyata dari dalam dirinya sendiri.
La Ode Ida, Sosiolog dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 20 Desember 2005